webnovel

01

Tha;

Ya, namaku itu saja. Tiga huruf. Tetapi jika kamu ingin sekali tahu namaku, sebenarnya ada nama lengkapku. Namun ibuku tidak mau menuliskannya di akta kelahiranku. Kata ibu supaya nama belakangku itu dipakai oleh jodohku yang entah siapa ibuku tidak tahu. Sekarang aku sudah dewasa, mendengar ucapan ibuku begitu aku segera berharap jodohku adalah orang yang cantik, salihah dan pintar. Oh siapa pun kamu, segeralah perkenalkan dirimu padaku.

Wiy;

Panggil saja aku: Wiy. Nama lengkapku: Wiyyah. Ibuku bilang bahwa namaku tidaklah sempurna. Namaku adalah nama akhir dari nama seseorang. Yang membuatku makin penasaran adalah kata ibu ia seorang lelaki. Kutanya pada ibu siapa nama lelaki itu, ibu tidak mau memberitahuku. Ibuku hanya bilang bahwa artinya ialah; bagian dalam, interior, batin, pemikiran, suara hati dan niat. Itu juga bila sudah lengkap. Aku masih heran kenapa ibu memberiku nama yang setengah, terpotong dan tidak ada artinya. Aku tanyakan pada kakekku, kakek bilang: namaku tidak ada dalam kamus besar bahasa indonesia. Namaku diambil dari bahasa arab. Hum, hingga akhirnya aku tahu siapa nama laki-laki itu. Namanya Tha. Nama macam apakah itu? Tha? Sungguh tidak punya makna! Namaku demikian pula. Duh, Ibu! Duhai kamu yang bernama, Tha, boleh kutahu siapa dirimu?

Tha;

Ibuku bilang, nama belakangku itu; Wiyyah. Boleh kupanggil: Wiy, saja dirimu?

Wiy;

Boleh saja. Seperti kataku tadi, panggil saja aku: Wiy. Bisakah kamu jelaskan padaku, Tha, bagaimana kamu bisa bertemu denganku?

Tha;

Semestinya aku yang bertanya bagaimana kamu bisa menemukanku? Karena yang lebih tua dari kita adalah kamu, kamu yang duluan dilahirkan. Semestinya kamu dulu yang mencari tahu dan ingin bertemu denganku.

Wiy;

Kamu benar, Tha. Aku lebih tua dua tahun darimu. Aku juga dulunya mengira bahwa kamu lah yang duluan dilahirkan ibumu, lalu mencariku. Ah tetapi itu tidak penting. Yang menemukanku denganmu adalah ibumu dan ibuku. Ibu kita bertemu dalam sebuah tabligh akbar dan shalawat bersama khusus ibu-ibu. Mereka kenalan, bersahabat, dan menceritakan kita. Kenapa ibu kita bisa bersahabat? Itu jugalah karena kebaikan ibumu, Tha. Ibuku lupa membawa buku shalawatnya dan ibumu meminjamkan buku shalawatnya pada ibuku. Sebab ibumu sudah hafal. Ibuku baru hijrah waktu itu. Singkat cerita, mereka pun saling bertukar kenalan keluarga hingga terkumpullah jadi satu kalimat nama kita: Thawiyyah.

Tha;

Ya aku percaya, Wiy. Ibuku juga bilang begitu. Tambah percayanya aku adalah kamu masuk dalam harapanku selama ini.

Wiy;

Apa yang kamu harapkan dariku, Tha?

Tha;

Kamu cantik, shalihah dan sepertinya kamu pintar, Wiy.

Wiy;

Aamiin. Terima kasih, Tha.

Tha;

Sama-sama, Wiy.

Lambat laun, Tha dan Wiy pun sudah akrab, sering bersama, cinta pun tumbuh. Saling mencintai. Tetapi malah keduanya makin lama bukannya segera menikah, malah sering bertingkah, lalu gundah.

Tha;

Oh ya, Wiy, kamu dari kampung mana?

Wiy;

Aku dari kampung seberang, Tha. Tidak jauh dari kampungmu. Nama kampungku, Sepakat. Usah beritahu aku nama kampungmu, Tha. Aku sudah tahu sejak dulu.

Tha;

Oh ya?

Wiy;

Hum um, Ya, Tha. Kamu dari kampung Segenap, kan? Nama kampungmu tidak sesuai dengan keadaanmu, Tha, tidak sesuai dengan namamu yang yang ganjil. Katanya di kampungmu kalau punya anak tidak boleh ganjil, mesti genap. Benarkah? Lalu kenapa namamu ganjil?

Tha;

Ya benar. Kan sekarang namaku sudah genap? Sudah ada kamu, Wiy. Boleh kutahu kenapa nama kampungmu, Sepakat?

Wiy;

Karena di kampung kami hampir tiap minggu ada musyawwarah atau sepakat. Untuk hal kecil saja mesti sepakat atau musyawarah dulu, Tha.

Tha;

Contohnya, Wiy?

Wiy;

Seperti baru-baru ini ada yang kehilangan sandal setelah kumpul musyawarah khusus yang tua-tua, bapak-bapak dan ibu-ibu. Jadi harus musyawarah lagi orangtua kampung kami yang tadinya sudah bubar. Bermusyawarah untuk memutuskan hukuman atau ganjaran bagi si pencuri. Dan kamu tahu apa hasil musyawarah mereka yang kedua, Tha?

Tha;

Apa, Wiy?

Wiy;

Yang mencuri sandal tadi mesti membeli lima pasang sandal untuk dirinya sendiri agar dia tidak lagi mencuri sandal orang lain. Dan undang-undang ini berlaku mulai dari usia tujuh tahun ke atas. Dan kamu tahu siapa pencurinya, Tha?

Tha;

Siapa, Wiy?

Wiy;

Salah satu ibu-ibu yang ikut kumpul, Tha.

Tha;

Oh ya? Kok bisa?

Wiy;

Hum um Ya, Tha, siapa lagi. Ternyata ibu itu salah bawa sandal, Tha. Dan kamu tahu ibu itu ibu siapa, Tha?

Tha;

Siapa, Wiy?

Wiy;

Ibuku sendiri, Tha. Sejak hari itu ibuku mesti membeli lima pasang sandal. Dan beda-beda sandal yang dipakainya tiap kali keluar rumah. Ke pasar, ke masjid, ke sungai, ke rumah tetangga dan ke kebun, beda sandal yang dipakai ibuku. Padahal meretnya sama, Tha, warnanya saja yang beda. Kenapa ibuku begitu? Katanya dia kesal pada pemimpin sidang yang mau memutuskan ganjaran semacam itu bagi pencuri sandal, terlebih pada ibuku. Padahal kata ibu dia tidak mencuri, hanya salah bawa saja, Tha. Dan kamu tahu siapa lelaki pemimpin sidang itu, Tha?

Tha;

Siapa, Wiy?

Wiy;

Ayahku sendiri, Tha. Hiks.

Tha;

Hahaha, senang mendengar ceritamu, Wiy. Makasih ya, Wiy sudah mau menceritakannya padaku.

Wiy;

Sama-sama, Tha. Sampai ketemu lagi di lain waktu.

Tha;

Okay, Wiy.

Keduanya semakin akrab. Harapan demi harapan pun terpatri di lubuk hati yang dalam. Angan-angan bahagia di masa depan semakin kuat untuk dinantikan, semakin dekat dan ingin segera diwujudkan. Bersatu dalam ikatan yang direstui antara dua keluarga. Hari berganti, waktu berpindah, musim berubah, angin berlalu. Tetapi perasaan, hati dan cinta tetap seperti dulu adanya. Malah makin tumbuh rindang, syarat bunga kebahagiaan. Rindang daunnya untuk saling melindungi, kokoh dahannya untuk saling bertahan dan menguatkan. Besar harapan berbuah keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah di waktu mendatang. Inilah kisah cinta Tha dan Wiy, Thawiyyah: suara hati. Benar-benar terucap dari sanubari.

*Awal ayah dan ibuku bertemu, diambil dari catatan harian Wiy.

***

happy reading

DaudFarmacreators' thoughts