John tampak terengah-engah, mencoba mematahkan pengaruh buruk dari dalam mimpinya. Dia masih duduk di samping tempat tidurnya, mencoba untuk menenangkan diri.
Setelah beberapa saat, dia bangkit untuk duduk di meja belajarnya. Dia menyalakan lampu untuk melihat isi buku-buku yang telah diterjemahkan sebelumnya.
"Bagian terbaik dari buku ilmu pedang adalah lima gambar ini. Sisanya sebagian besar tentang pengalaman dan cerita. Ini adalah halaman yang benar-benar menjelaskan teknik dan jurus-jurus pedang," gumamnya, menatap bahan terjemahan.
"Angka apa itu? Apakah bahan-bahan ini benar-benar dapat digunakan?"
"Informasi dalam mimpi, sebuah ilmu pedang, dan kematian yang teragis. Jika ini semua ada kaitannya dengan dunia nyata, maka jelas ada sesuatu yang di dalam saraf otakku. Lagi pula mempraktikkan hal seperti ini bukanlah hal mudah. Ada kemungkinan aku akan menyebabkan kerusakan permanen atau cedera pada anggota tubuhku."
John telah mendengar banyak cerita dari orang-orang yang berlatih akrobat atau seni bela diri sebelumnya. Dia sering kali mendengar kata orang jika salah berlatih, maka resiko cedera dan postur tubuhnya bisa saja salah, parahnya bisa sampai cacat fisik.
Dia sedikit khawatir tentang hal yang dia sebut sebagai buku ilmu pedang dalam mimpinya sebenarnya adalah pengetahuan yang tidak benar adanya dan itu hanya bunga karangan dalam mimpi yang terus berevolusi.
Setelah duduk diam selama beberapa saat, pikiran John benar-benar semakin stress. Dia tidak bisa tenang untuk waktu yang lama. Butuh beberapa saat baginya untuk berbaring dan menutup matanya lagi, tapi tentu saja, kali ini dia tidak bisa tidur.
Segera setelah dia menutup mata, dan kesadarannya yang berusaha dia jaga hilang, dirinya tampak kembali terlelap. Rasa sakit dari kematian sebelumnya kini terasa lagi. Situasi ini berlanjut hingga subuh.
Begitu langit cerah, dia harus bangun dan memasak sedikit makanan dari sisa kemarin untuk sarapan pagi. Kemudian, dia kenakan seragam sekolahnya, mempersiapkan tas sekolahnya, lalu berangkat menuju sekolah.
John berpikir bahwa mimpi itu adalah masalah barunya karena dia seolah terjebak dalam lingkaran yang sama. Anehnya, sepanjang hari, dia merasakan sakit di dadanya, dan seolah masih ada rasa gatal di lehernya.
Setelah menyelesaikan kelas seperti biasa, dia memutuskan untuk balik. John bahkan menolak ajakan Yuna untuk ke toko kaset. Kali ini dia juga tidak makan malam, seolah dirinya tidak selera sama sekali. John langsung melompat ke atas kasur untuk tidur.
Keadaan ini berlangsung selama dua hari, sebelum dirinya perlahan pulih. Dalam dua hari ini, dia tidak pernah bermimpi. Seolah semua mimpi buruk sebelumnya hanyalah ilusi.
Selama berada dalam fase hampa seperti itu, dia pikir dirinya tengah sakit. Jadi, dia meminta ayahnya untuk membeli termometer dan mengukur suhu tubuhnya. Tapi, ternyata semuanya normal.
Pada akhirnya, dia bisa beristirahat lebih banyak, tanpa harus merasa lelah. Walaupun John tampak acuh tak acuh dengan dunia pendidikannya, ujian masuk perguruan tinggi itu tetaplah penting. Oleh karena itu, dia mengalihkan keseluruhan fokusnya ke arah sana, setidaknya dia bisa keterima di salah satu kampus.
John sudah tidak bermimpi selama dua hari berturut-turut, dan semangat serta moodnya tampak begitu kacau. Setelah makan malam, dia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, tanpa berpikir atau mengucapkan satu kata pun.
Jika bukan karena laci meja dengan buku catatan yang sudah diterjemahkan sebelumnya, dia akan mengira semua yang terjadi padanya hanyalah sekedar mimpi.
***
Tiba-tiba ada panggilan telepon. Di ruang tamu, ibunya yang bernama Wanda mendekat untuk menjawab telepon. "Oh iya, Jojo kakakmu mencarimu."
John yang bingung lantas berbalik, lalu bangkit dari tempat tidurnya. Dia berjalan keluar dari kamar, menuju ke arah ruang tamu, mengambil telepon dari ibunya.
"Aku tidak tahu apa yang harus kuberikan padamu agar kau tampak kembali bergairah dan mau meninggalkan kasur itu," ucap sang ibu menyentuh tangan John dengan sedikit rasa khawatir.
Dia merasa tubuh anaknya cukup dingin, dan dengan cepat dia pergi ke kamar tidur untuk memberinya mantel untuk digunakan. John tersenyum melihat hal itu, dia bahkan langsung mengenakannya dan duduk di sofa untuk menerima panggilan tersebut.
John menerima panggilan itu tanpa mengatakan apa-apa di sana. Dia hanya mendengarkan gerakan dan suara napas yang samar. Hal itu membuatnya bingung dan terheran untuk sesaat. John segera berhenti dan mengganti tangannya saat memegang telepon itu.
"Kakak, ada apa?"
"Tidak apa-apa denganku, tapi ada sesuatu denganmu. Ayah dan ibu bilang bahwa kamu tidak terlalu baik akhir-akhir ini. Dengar aku, jangan terlalu lelah, dan jangan terlalu memaksakan dirimu. Meskipun masuk kampus itu adalah prioritas untukmu saat ini, tapi yang jauh lebih penting adalah kesehatanmu."
"Tidak apa-apa, aku tahu. Jangan khawatir, sis." John menjawab dengan santai.
"Tinggal sedikit waktu yang aku miliki sebelum ujian masuk perguruan tinggi. Aku tidak panik sekarang. Hanya kau tahu kan, masalah mimpi buruk."
"Apakah kamu terlalu banyak membaca?"
"Entahlah… sepertinya tidak juga. Aku memang akhir-akhir tidak melakukan apa pun selain belajar" John berpura-pura bodoh.
"Apakah ini ada kaitannya dengan uang? Apa kau memiliki permasalah mengenai hal itu?" Jean tiba-tiba menurunkan suaranya.
"Tidak," tegas John.
"Benarkah?" tanya saudarinya sekali lagi.
"Ayolah tidak ada yang bermasalah dengan uang," sebut John.
"Sudahlah jangan malu-malu padaku. Nanti, aku akan menitipkan uang untukmu, jangan lupa untuk diambil. Kamu sudah dewasa, pasti ada keperluan tertentu yang ingin atau harus kamu beli," ungkap Jean dengan serius.
"Tidak, sungguh, kakak. Kamu habiskan saja untuk dirimu sendiri atau tabung saja untuk keperluan mendatang."
"Aku tak masalah. Lagi pula, aku tidak sedang kekurangan. Oke, katakan saja nanti kalau kau memang butuh uang," Jean mengakhiri rasa risaunya.
Suara saudarinya yang terus mendesak dan mengaturnya di telepon membuat John merasa cukup kesal. Orang-orang disekitarnya selalu mengambil aksi berlebihan.
"Aku masih punya uang yang cukup di sini. Oh iya, kalau sudah tak ada yang ingin kau katakan, aku matikan teleponnya dulu yah."
Tanpa menunggu balasan, dia diam-diam meletakkan telepon tersebut pada tempatnya. Pandangan John terpaku pada sebuah jam dinding. Arloji penunjuk waktu itu menunjukkan pukul sembilan malam.
Saudarinya bekerja keras di luar sana, John benar-benar tidak ingin menggunakan uang hasil jerih payah Jean begitu mudah. Dirinya adalah seorang lelaki dengan prinsip yang tegas. John berkepala dingin, berjanji bahwa bahwa dia tidak akan merepotkan orang lain. Dia tidak akan boros jika itu bukan uang hasil keringatnya.
"Lupakan saja, jangan khawatir tentang itu. Beristirahat saja malam ini dan aku harus serius mempersiapkan diri untuk ujian masuk perguruan tinggi besok."
**To Be Continued**