webnovel

Terlahir Kembali: Dokter Genius Cantik

“Fariza… Fariza-ku yang malang. Kenapa kamu begitu bodoh?” Suara tangisan tersedu-sedu membangunkan Fariza dari tidurnya. "Di mana aku?" Yang dia ingat hanyalah dia telah memenangkan Hadiah Nobel pertama dalam pengobatan tradisional, dan tertabrak oleh sebuah truk besar saat perjalanan pulang. Kini dia mendapati dirinya terlahir kembali pada tahun 1980an di tubuh orang lain yang memiliki nama yang sama dengannya. Ternyata kehidupannya sebagai Fariza yang baru saat ini ternyata sangat buruk. Dia, adik, dan ibunya diperlakukan tidak adil oleh ayah kandungnya serta keluarga dari selingkuhan ayahnya. Dengan kecerdasan dan pengalamannya dari abad 21, Fariza yang sekarang tidak takut menghadapi semua permasalahannya dan perlahan-lahan membereskannya satu per satu.

MikaZiyaddd · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
119 Chs

Melayani Masyarakat

Edi kemudian bereaksi, "Bu, apa yang baru saja ibu katakan?"

Bibi itu tiba-tiba menjadi marah, dan setelah mengulangi apa yang barusan dikatakannya pada Edi, dia memperingatkan, "Edi, ibu tahu kamu tidak bisa berkutik ketika kamu melihat gadis yang cantik dan seksi. Tapi hari ini aku bertaruh dengan gadis itu. Jika dia menang, bagaimana mungkin aku masih punya harga diri untuk menjual barang-barang di sini nantinya? Kamu harus membantu ibu."

"Omong kosong! Kamu sama sekali bukan saingan gadis itu!"

"Apel goreng yang kamu buat tidak enak, dan kamu hanya iri pada gadis itu! Sudah, menyerah saja."

Ketika bibi itu mengatakan sesuatu pada putranya, orang-orang di sekitar tiba-tiba berteriak dengan nada tidak puas.

"Bu, sudah kubilang keluarga kita tidak ada masalah soal uang sekarang, ibu tidak perlu keluar dan berjualan," kata Edi tak berdaya. Lalu, dia menoleh untuk melihat orang-orang di sekitarnya, "Maafkan kami, aku tahu apa yang ibuku lakukan. Kami merasa bersalah pada kalian, jadi biarkan aku mengembalikan uang itu pada kalian semua." Setelah berbicara, dia memberi isyarat kepada ibunya untuk mengembalikan uang itu kepada mereka.

"Edi, apa maksudmu?" Wanita tua itu menatap putranya dengan tak percaya.

Edi mengedipkan mata padanya, "Bu, itu salah ibu. Ibu harus mengembalikan uang itu kepada mereka secepatnya."

"Aku tidak akan melakukannya, mengapa aku harus mengembalikannya kepada mereka? Itu adalah hasil dari apel yang aku jual!" Wanita tua itu meremas uang di sakunya dengan erat, dan berteriak tak percaya. Apelnya sudah berkurang banyak dan anaknya ingin dia mengembalikan uangnya? Bagaimana bisa ada hal yang seperti itu di dunia ini?

"Bu, apakah kamu benar-benar ingin mereka melaporkanmu ke kantor polisi? Kamu akan masuk penjara karena apa yang ibu perbuat akhir-akhir ini." Edi membujuk dengan sepenuh hati.

"Aku…" Meskipun wanita tua itu merasa bahwa dia tidak bersalah, dia tetap putus asa ketika melihat orang-orang yang mengelilingi mereka tidak berhenti berteriak. Namun demikian, dia masih memegang erat sakunya. Dia berkata, "Aku tidak peduli, mereka makan apelku. Kenapa aku harus memberikan uang ini pada mereka? Uang ini tidak mungkin untuk diberikan kembali kepada mereka!"

"Kalau begitu aku akan mengembalikannya dengan uangku sendiri." Setelah itu, Edi mengeluarkan setumpuk uang dari sakunya, siap menyerahkannya kepada orang-orang yang terus berteriak itu.

"Ya sudah, ya sudah, aku akan mengembalikan! Jangan berikan uangmu pada mereka." Wanita tua itu dengan cepat mengambil sepuluh rupiah, dan dengan enggan mengembalikan uang yang baru saja dikumpulkan kepada orang yang membeli apel tadi.

Setelah mendapat uang tersebut, orang-orang di sekitar menjadi lebih diam. "Anak muda ini memang bijaksana."

"Ya, pada pandangan pertama, aku bisa tahu bahwa pemuda ini adalah anak yang berprestasi."

"Sebenarnya, kami tidak bermaksud membuat masalah, tetapi hal ini benar-benar tidak menyenangkan. Terima kasih, nak. Ayo pergi dari sini!"

Orang-orang yang berteriak di sekitar perlahan-lahan bubar, dan persimpangan tiga arah yang berisik akhirnya kembali tenang. Wanita tua itu menatap putranya dengan marah, "Edi, apa maksudmu? Kamu sengaja menentang ibu, bukan? Jika ibu kalah di taruhan ini, ke mana ibu harus meletakkan wajah ibu? Apa ibu harus pergi? Bagaimana ibu bisa menjual barang-barang di sini lagi?"

"Ibu, aku tidak ingin kamu terlalu lelah, bukankah kita punya uang sekarang? Kamu tidak perlu pergi keluar untuk menjual sesuatu di masa depan." Edi mulai membantah.

"Kamu baru saja melihat gadis yang cantik itu, dan sengaja membiarkan aku kalah darinya, kan? Mengaku saja!" Wanita tua itu meludah di tanah dan berteriak dengan keras, "Gadis kecil yang bau dan tidak tahu malu, kamu berani merayu anakku juga?"

"Bu, apakah kamu ingin dia mendengarkan semuanya? Biarkan saja dia. Kita akan mencari waktu yang tepat untuk membalasnya." Edi tiba-tiba merendahkan suaranya dan berkata secara misterius.

"Apa maksudmu?" Wanita tua itu terkejut, dan dia tidak mengerti maksud dari perkataan Edi.

"Bu, menurutmu, jika aku menikahinya…" Edi tidak menyelesaikan kata-katanya, tapi wanita tua itu sudah mengerti apa yang dia maksud. "Maksudmu, biarkan dia menjadi menantuku? Lalu, aku bisa membalasnya sesuka hatiku?"

"Ya, bu, kamu sangat pintar!" Edi mengangguk berulang kali.

"Ini ide yang bagus!" Wanita tua itu bergumam. Dia sudah menunggu saat Fariza menikahi putranya, lalu dia bisa membalaskan dendamnya pada gadis itu. Dia akan membiarkan Fariza pergi keluar untuk mencuci pakaian dengan pakaian tipis di musim hujan agar dia membeku sampai mati. Tidak, tidak, hukuman ini agak ringan. Bibi itu harus berpikir keras tentang bagaimana dia ingin membereskan kekacauan ini.

"Bu, apa ibu tahu siapa namanya?" Suara Edi menyela pikiran wanita tua itu. Alisnya berkerut dalam. Setelah diganggu, dia mencoba untuk berpikir kembali, "Sepertinya aku mendengar ibunya memanggilnya Fariza."

Fariza? Namanya agak familiar. Tapi Edi tidak banyak berpikir, dan berkata dengan penuh keraguan, "Akan lebih bagus jika kamu tahu dari desa mana dia berasal."

"Ini mudah ditangani, serahkan padaku. Ayo pergi, dan cari tahu!" Bibi itu berjanji dan menepuk dadanya dengan semangat. Setelah selesai berbicara, mereka mengemasi barang-barang dan naik ke becak Edi. Bibi itu bahkan lupa dengan taruhan dengan Fariza sebelumnya.

"Apakah ini artinya dia menyerah?" Pemuda yang telah berbicara dengan Fariza sebelumnya berkata dengan gembira.

"Mungkin?" Fariza menyaksikan gerakan di sini dengan mata dingin. Dia selalu merasa bahwa anak bibi itu sepertinya memiliki rencana untuk melawan dirinya setelah ini. Apalagi saat melihat matanya yang lengket dan menjijikkan tadi, itu membuatnya merasa tidak nyaman. Sepertinya dia harus lebih memperhatikan pria itu di masa depan.

Setelah kekacauan sebelumnya, semua orang lewat satu per satu, dan kios Fariza benar-benar menjadi populer di sana. Hanya dalam satu pagi, apel gorengnya bisa terjual habis, tak bersisa. Begitu Fariza mengemasi barang-barangnya untuk pulang, sebuah jip berwarna hijau berhenti di pinggir jalan. Setelah melihat orang yang turun dari mobil, Fariza terkejut sejenak, "Apakah itu kamu? Pria yang kemarin?"

"Ya, kakak ipar, apakah apel gorengmu sudah terjual semua?" Adimas bertanya dengan antusias.

"Kakak ipar?" Fariza mengerutkan kening.

"Ah, ayo pergi, aku akan mengantarmu pulang." Satria memelototi Adimas dan mengubah topik pembicaraan secara tidak wajar. Setelah berbicara, dia mengambil kompor di tangan Fariza dan memasukkannya ke dalam mobil.

"Tidak, aku bisa pulang sendiri." Fariza dengan cepat menolak.

"Melayani rakyat adalah tugas wajib seorang prajurit." Setelah mengatakan ini dengan serius, Satria memasukkan barang-barang Fariza ke bagian belakang mobil dan duduk di dalamnya.

Bibir Fariza tidak bisa berhenti bergerak. Ternyata para tentara juga melayani orang-orang seperti ini? Begitu banyak orang di sini, mengapa mereka ingin melayaninya seorang diri?

Adimas hendak duduk di sebelah Satria, tapi Satria melihat ke arahnya. Adimas pun membuka pintu belakang dengan keras dan langsung duduk di sana. Tentu saja Satria memaksanya untuk pindah. Adimas sedikit kesal saat ini.

Sebelum ada Fariza, kursi penumpang di depan adalah kursi untuk Adimas. Tapi kini sikap Satria benar-benar tidak ramah pada Adimas karena kehadiran Fariza. Adimas menatap punggung Satria dengan senyum getir. Namun, dia hanya berani mengutuk di dalam hatinya. Dia tidak mengatakan kepada Satria karena takut pria itu akan meledak dan membalasnya dengan kejam.