webnovel

Tentang Keikhlasan

Pada kenyataannya luka itu tidak akan pernah hilang. Karena luka itu akan membekas. Yang sewaktu-waktu luka itu akan kembali datang. Di tempat yang sama, bahkan luka itu dapat lebih dalam lagi dan lebih menyakitkan dari sebelumnya. ~Rani Adhwa Salsabila Indah... Kata itu begitu melekat menggambarkan dirimu. Bagaikan lukisan jika dipandang, tidak akan membuat orang berpaling. Menelusuri setiap titik lukisanmu yang menyimpan sebuah rahasia. Di mana tidak semua orang bisa menemukan rahasia itu. Rahasia yang dapat menunjukkan senyuman sekaligus luka dalam waktu yang sama. ~Muhammad Ali Arifansyah

Cocha · Historia
Sin suficientes valoraciones
17 Chs

Bagian 13 | Ternyata [Flashback]

Selamat membaca! 😊

________________________

Hari sudah pagi, semalam Adibah juga sudah dipindahkan ke rawat inap. Dan pukul 07.30 nanti akan ada pemeriksaan lanjutan untuknya.

Saat ini dia sedang duduk bersandar setengah berbaring. Menatap putrinya yang juga menatapnya. Membelai lembut kepala gadis itu yang di letakkan di sisi kanan ranjangnya.

Sedangkan Arya dan Safiya sudah pulang tadi seusai sholat subuh. Dan nanti akan digantikan Haidar dan Ambar.

"Bunda cepet sembuh ya, Nanti Adhwa bantuin buat kue lagi deh." Gumamnya.

Adibah tersenyum lebar sambil mengusap sayang kepala Adhwa. Wanita itu hanya terdiam tanpa berniat menjawab. Hanya senyum dengan tatapan yang tak selaras.

Adhwa menegakkan tubuhnya menatap sang bunda. "15 menit lagi, dokternya bakal dateng buat pemeriksaan selanjutnya." Ucap Adhwa dengan berusaha tenang. Padahal hatinya serasa diremas begitu kuat. "Tapi bunda nggak usah khawatir. Adhwa bakal temenin bunda. Adhwa udah bisa sekarang. Udah tau caranya biar nggak takut lagi." Sudut bibirnya terangkat sempurna meski kedua tangannya berkeringat dingin begitupun dengan kedua kakinya.

"Selalu jadi anak yang kuat buat bunda ya?" Kata Adibah dengan senyum hangat dan tak lupa mengusap sayang kepala putrinya.

Tangan gadis itu gelisah dipangkuan. Padahal ingin sekali dia menggenggam tangan sang bunda seraya menciumnya. Tapi jika itu dia lakukan, maka Adibah akan tahu keadaan dirinya.

Karena itu dia hanya bisa membalas dengan senyuman manis. Meski kedua bola matanya tak menujukkan itu sama sekali. "Adhwa selalu kuat buat bunda."

Suasana kembali hening. Dalam hati, Adibah sudah pasrah akan apa yang terjadi selanjutnya. Dia akan menerima apapun itu. Tak ada lagi keinginan untuk mengundur waktu.

***

Pukul sudah menunjukkan 11.30. Segala pemeriksaan telah dilakukan. Adibahpun sudah kembali ke kamar inap. Dengan ditemani Adhwa yang duduk di sisi kanan ranjang. Juga Haidar bersama Ambar yang duduk di sofa sebelah kirinya.

"Kalian udah kayak perangko sama amplop. Nempel terus." Kata Ambar yang sedang memotong buah pir.

"Iya nih, padahal udah umur 24 loh." Sahut Adibah.

"Nggak pa pa. 24 tahun serasa 14 tahun." Tambah Adhwa sambil memberikan wanita itu sepotong buah.

"Kira kira nanti kalau udah punya suami, masih manja nggak ya sama bunda." Gumam Haidar.

"Masihlah. Itu tidak akan bisa dirubah." Jawab cepat.

"Terus kalau nanti suami kamu tinggal jauh?"

"Ya bunda ikutlah. Tak kan kubiarkan siapapun memisahkan kita berdua." Sahut gadis itu dengan dramatis di kalimat terakhir.

"Tapi kalau takdir yang memisahkan, kamu bisa apa nak?" Tanya Adibah dalam hati. Tentu saja wanita itu tak berani mengucapkannya. Dia hanya tersenyum kecut mendengar penuturan Adhwa.

Tak berselang lama suara ketukan pintu terdengar kemudian pintu terbuka. Tampak seorang dokter pria datang bersama dua perawat perempuan. Ketiganya mendekat dan mulai perlahan menjelaskan dengan tenang.

Sementara Ambar dan Haidar mendengarkan dengan saksama. Apalagi Adhwa yang begitu serius tanpa memutuskan kontak sedetikpun dari sang dokter.

Sampai saat pria berjas putih itu mengatakan sesuatu yang mengejutkan untuk mereka. Bahkan Adhwa serasa jantungnya berhenti detik itu juga. Bernafas pun rasanya sulit. Tubuhnya kini terasa lemas, kakinya mulai kehilangan keseimbangan. Dia hampir saja jatuh jika saja tidak di tangkap oleh Ambar.

Wanita itu langsung memeluk keponakannya. Dia menenangkan gadis itu meski dirinya sendiri juga sama terkejutnya.

Sedangkan Haidar melirik sekilas iparnya itu dengan perasaan campur aduk, lantaran dokter mengatakan jika Adibah sudah pernah di diagnosis sebelumnya 3 bulan lalu. Namun dia tidak menyetujui perawatan. Dokter yang menangani dulu sudah pernah membujuk, tapi Adibah tetap tidak bersedia.

Adhwa semakin dibuat tak percaya dengan penuturan sang dokter. Dia menegakkan tubuhnya sambil menatap bundanya dengan tatapan kecewa.

Setelah hampir setengah jam, akhirnya dokter bersama dua perawat itu meninggalkan kamar. Dan ke empat orang yang berada di kamar masing masing terdiam. Mereka masih tak percaya akan penjelasan dokter. Adhwa yang berdiri membelakangi Adibah ssambil menghadap tembok dengan tatapan kosong.

"Kamu kenapa Adibah?" Tanya lirih Haidar. Yang sejak tadi ingin menanyakan banyak hal pada Adibah.

Namun bukannya mendapat jawaban justru Adibah menunduk diam. Adhwa yang tersadar langsung berbalik dan menyelamatkan sang bunda dari pertanyaan Haidar.

"Ini udah jam 12, pakde sama bude sholat dulu aja." Pintanya. Dengan kedua mata yang sudah memerah dan berkaca kaca.

Mengetahui hal itu, Ambar segera membawa suaminya keluar. Keduanya pun meninggalkan Adibah dan Adhwa.

Seusai pergi, Adhwa menghampiri sang bunda. "Bunda mau sholat juga kan? Biar Adhwa bantu." Ujarnya berdiri di samping Adibah.

Wanita itu mendongak. "Bunda minta maaf nak." Ucapnya lirih.

Adhwa tersenyum tipis. "Bunda nggak perlu minta maaf. Adhwa yang nggak peka sama bunda. Adhwa yang belum bisa jadi anak yang baik." Ucapnya lirih dengan suara yang mulai serak dan bergetar.

"Maaf sayang.." Adibah memeluknya erat. Sementara Adhwa sudah sesenggukan dipelukan sang bunda. Tak ada kata yang mampu dia ucapkan lagi. Perasaannya sudah bercampur aduk.

Rasanya dunia seakan runtuh untuk kedua kalinya. Segala pikiran buruk mendadak terlintas di otaknya. Di tambah lagi bayangan masa lalu teringat kembali. Dimana dia kehilangan sang ayah. Hal itu benar benar membuatnya terguncang. Bahkan butuh waktu lama untuk berdamai dengan peristiwa itu.

Dan sekarang dia harus kembali menerima sesuatu yang tak pernah dia bayangkan. Dia belum siap. Benar benar belum siap.

***

Tidak ada yang tahu bagaimana kehidupan kita selanjutnya. Baik itu buruk ataupun baik. Tapi setidaknya kita sudah melakukan yang terbaik. Meski hasilnya nanti tidak sesuai harapan. Dan itu yang Ali sadari saat ini.

"Al, nanti malam ada pertemuan sama Pak Malik di Nuraga Coffee." Ucap Rafka sambil menatap layar persegi di tangannya.

"Hm." Jawab Ali yang bersandar pada kursi seraya memejamkan mata.

"Terus... Sekarang kita makan siang." Kata Rafka sambil meletakkan benda persegi itu di atas meja.

"Mas Rafka duluan aja." Sahut Ali.

"Yaudah. Aku makan siang dulu." Rafka beranjak seraya membawa benda persegi itu lalu keluar dari ruangan.

Seusai Rafka pergi Ali masih di tempatnya tanpa merubah posisi. Dia masih terngiang ngiang kejadian kemarin. Entah kenapa begitu membekas.

Kedua matanya terbuka saat merasakan getaran di saku jasnya. Kemudian tangannya meraih ponsel. Tertera nama Buaya Putih di layarnya.

"Assalamualaikum." Salam dari seberang sana.

"Waalaikumsalam." Jawabnya.

"Makan yok! Gue tungguin di depan gerbang."

Ali memejamkan mata sejenak seraya menghela nafas pelan. "Lo ngapain di depan gerbang, kampret."

"Ya nungguin elu, mblo."

"Kenapa nggak ngajak embatan lo aja sih?!" Tanya Ali dengan kesal. Karena saat ini dia sedang ingin sendiri.

"Ya gue kan, sebagai sahabat yang baik ngajak lo makan bareng. Gue kan tau banget kalo lo itu jomblo."

"Kebanyakan alasan." Sahut Ali seraya beranjak dari kursi dan membawa beberapa berkas di atas meja. "Bilang aja embatan lo sadar kalo lo itu siluman buaya yang harus dihindari." Sarkasnya. Kemudian pergi keluar ruangan.

"Sialan lo emang. Kalau ngomong nusuk ke dasar. Pakek bener lagi—eh enggak ding. Gue bukan siluman buaya. Tapi gue tuh—"

"Udah. Nggak usah dilanjutin. Gue tutup telponnya. Gue ke sana. Assalamualaikum." Potong Ali menutup telpon sepihak.

Dan sudah dipastikan seseorang diseberang sana sedang mengumpat berulang kali karenanya.

Setelah menunggu kurang lebih 20 menit akhirnya orang yang ditunggu tunggu muncul juga.

"Akhirnya dateng juga." Gumam Reza menatap pria yang baru saja masuk ke mobilnya.

"Ayo jalan."

"Oke pak bos. Mau makan di mana nih?" Sahut Reza seraya menyalakan mobilnya.

"Nyamperin Mas Rafka aja." Jawab Ali sambil mengetik sesuatu di ponselnya.

"Wokeh."

***

Setelah kurang lebih 15 menit, kedua sahabat itu sampai di tempat tujuan. Nama tempatnya, Renjana Coffee.

Reza masuk terlebih dahulu. Keduanya berjalan ke bangku kedua dari sisi kiri pintu masuk.

"Assalamualaikum!" Salam Reza diikuti Ali di belakangnya.

"Waalaikumsalam." Jawab Rafka melirik mereka. Kemudian kembali melahap makanannya.

"Si buaya ikut juga." Gumam Rafka begitu kedua pria itu duduk. Reza duduk di sisi kirinya. Sedangkan Ali berada di depannya.

"Kampret. Persepupuan mulai bersekutu." Umpat Reza.

Sementara yang dua orang yang dimaksud tertawa renyah. "Udah sana pesen makan dulu. Ini udah jam berapa. Ntar jam makan siang keburu abis." Omel Rafka melirik mereka.

Bukannya segera beranjak, keduanya justru diam di tempat dengan saling lirik. "Lo ngapain ngelirik gue?" Kata Ali mengerutkan kening.

"Lah, elu kan yang pesen." Sahut Reza dengan santai sambil mencomot kerupuk di piring Rafka.

"Enak aja. Ya elu lah." Jawab Ali tak terima.

"Kenapa jadi gue?" Balas Reza tak kalah sewot.

"Kan lo yang ngajak makan." Balas Ali. Dan suasana mulai memanas.

"Kan lo yang ngajak ke sini!" Nada Reza sudah tak santai lagi. Ditambah telunjuknya yang sudah mengarah ke Ali.

"Dih. Gila nih, orang. Nggak waras." Gumam Ali sambil menumpukan kedua siku di atas meja. Kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Tau gini gue nggak mau lo ajak." Cibirnya seraya beranjak dari kursi untuk pergi memesan makanan.

Tak lama kemudian pria itu kembali dan duduk di tempat semula. "Gue tadi lo pesenin apa?" Tanya Reza penasaran.

"Sianida!" Sarkas sahabatnya itu.

Bukannya kesal atau marah, pria itu justru tergelak karena jawaban dari Ali. "Lo kesel sama gue?"

"Pakek nanya lagi." Gumam Ali sambil merogoh saku jas dan mengeluarkan ponselnya.

Sementara Reza tertawa puas melihat sahabatnya itu. Kemudian Rafka yang sudah selesai makan, menatap keduanya dengan heran. "Orang kalau udah overthinking, pasti mikirnya kalian tuh pasangan. Karena chemistrynya itu dapet banget gitu."

"Najis." Kata kedua sahabat itu bersamaan.

"Tuh kan, barengan jawabnya." Ucap Rafka dengan tersenyum miring.

"Gue masih normal ya. Masih doyan sama perempuan." Sahut Reza.

"Lo bukan doyan lagi. Tapi emang kelakuan loh modusin perempuan." Sarkas Ali ke pria berjas hitam itu.

Reza yang terpancing, langsung menatap sengit sahabatnya. "Eh, nggak usah ngatain gue. Urusin aja hidup lu yang nggak pernah deket sama perempuan. Mau jadi perjaka tua lu." Balasnya.

"Seenggaknya gue nggak PHP in anak orang." Sindir Ali.

"Lo—" Reza menunjuk pria itu dengan bibir yang terkatup. Ingin berucap tapi seolah terkunci rapat rapat. Lebih tepatnya kehabisan kata kata.

Sedangkan Rafka yang melihatnya langsung tertawa puas. "Nggak bisa bales kan, lo. Mampus."

"Bisaa." Ucap Reza membela diri. "Gue—" Nyalinya menciut karena tak bisa mengelak hal itu. "Gue nggak modus. Tapi—berusaha baik aja sama semua orang." Elaknya. Meski kedua sepupu itu jelas tak ada yang percaya.

Kali ini tak ada sahutan lagi dari Ali. Pria itu fokus dengan ponselnya. "Nanti sore nggak ada jadwal lagi kan, mas?" Pandangannya beralih pada Rafka.

Sepupunya itu menggeleng. "Enggak. Kenapa?" Tanya Rafka kemudian meminum lemon tea nya.

"Mau nganterin mama ke rumah sakit." Jawabnya.

"Jenguk Tante Adibah?" Tebak Rafka.

"Hm." Gumam Ali.

"Eh, tapi—gue mau nanya sesuatu deh." Celetuk Reza.

"Nanya apa?" Sahut Rafka.

"Almarhum ayahnya dulu meninggalnya karena apa ya?" Tanya Reza dengan penasaran.

"Nggak tau." Rafka mengangkat bahu. Matanya beralih ke pria di depannya. "Coba tanya dia." Dia menunjuk Ali dengan dagunya.

Reza kemudian beralih ke sahabatnya. Sementara Ali yang sedikit menunduk masih terdiam. Dan beberapa detik kemudian, kepalanya terangkat dan memandang kedua orang itu secara bergantian.

"Gue juga nggak tau." Jawabnya kembali menatap ponsel.

Sedangkan kedua orang itu menghembuskan nafas kesal. Mereka kira Ali tau, tapi ternyata tidak. Padahal ekspresi pria itu tadi sudah meyakinkan.

"Lah, kan kalian ngobrol." Kata Reza yang masih diliputi rasa penasaran.

"Ya kan, baru ketemu 2 kali kemarin."

"Emang kenapa sih?" Tanya Rafka kepada Reza.

"Yaa, gue agak syok sama reaksi si Adhwanya waktu Tante Adibah pinsan."

Mendengar hal itu, Ali langsung menoleh ke sahabatnya itu. Pasalnya dia juga merasa hal yang sama, tapi di waktu dan tempat yang berbeda.

"Kenapa lo?" Tanya Reza saat melihat reaksi Ali.

"Gue juga ngerasa gitu Ree." Ucapnya.

"Nah. Lo ngerti kan, maksud gue?"

"Hm. Tapi gue ngerasanya waktu udah nyampe rumah sakit." Ali meletakkan ponselnya ke atas meja. "Gue liat dia kayak takut banget gitu. Pas mau turun dari mobil, Tante Adibahnya kan udah di bawa Mas Arya. Nah, dianya yang kayak bener bener takut turun dari mobil." Lanjutnya sembari mengingat kembali situasi itu.

"Mungkin nggak sih, dia trauma?" Sela Rafka.

"Iya." Kata Ali dengan yakin. "Gue mikirnya juga gitu."

Dan tiba tiba dia dikejutkan tepukan Reza di bahunya. "Al!" Pekik pria itu.

"Apaan sih?!" Bentak Ali manatap sahabatnya.

"Lo masih inget kalimat Tante Adibah yang lo ceritain ke gue?"

Ali terdiam dan langsung memutar memorinya pada hari itu. "Hm." Gumamnya. Isi otaknya sekarang merangkai peristiwa demi peristiwa. Menyatukan beberapa potongan adegan demi mendapat jawaban.

"Gue nggak mau suudzon ya. Gue juga nggak mau mendahului takdir. Tapi perasaan gue ikutan nggak enak Al." Tutur Reza menatap lekat sahabatnya.

Ali membalas tatapan sahabatnya itu, seolah mereka sedang berbicara lewat batin. Setelahnya dia memalingkan wajah kemudian menghembuskan nafas panjang serta memejamkan mata.

Sementara Rafka yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka mengerutkan kening dan berusaha memahami. Setelah beberapa menit akhirnya dia sedikit mengerti apa yang mereka bicarakan, meski tidak keseluruhan.

Kemudian suasana mendadak hening. Ketiga pria itu sibuk dengan pemikirannya masing masing. Dan entah kejutan apalagi yang akan terjadi selanjutnya.