Setelah kejadian di kedai yang membuat Ceun-Ceun dan Cuimey merasa jijik, mereka memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan. Matahari sudah mulai bergeser ke barat, memberi tanda bahwa hari semakin sore. Dengan langkah cepat, keduanya meninggalkan kedai tanpa menoleh ke belakang. Mereka tahu, tempat seperti itu hanya akan membawa masalah jika mereka berlama-lama.
"Semoga kita tidak harus bertemu lagi dengan orang-orang seperti mereka," kata Cuimey dengan nada kesal sambil menaiki kudanya.
Ceun-Ceun mengangguk setuju, "Aku setuju. Dunia ini penuh dengan orang yang tak menghargai kehormatan. Lebih baik kita tetap fokus pada tujuan."
Dengan semangat yang baru, mereka melanjutkan perjalanan menuju negeri utara. Perjalanan mereka masih panjang, dan mereka tahu bahwa tantangan yang lebih besar mungkin menanti di depan. Angin sore yang sejuk membawa sedikit ketenangan, namun kewaspadaan tetap terjaga dalam hati mereka.
Di sepanjang jalan, mereka melewati hutan kecil yang dipenuhi dengan pepohonan rindang dan suara burung-burung liar yang bersenandung. Meski alam tampak damai, Ceun-Ceun dan Cuimey tetap waspada terhadap kemungkinan ancaman yang mungkin datang dari mana saja.
Perjalanan mereka masih jauh dari selesai, dan negeri utara yang mereka tuju menyimpan misteri yang belum terungkap.
Saat perjalanan semakin jauh dan langit mulai memudar menjadi abu-abu, tiba-tiba hujan turun dengan deras. Rintik-rintik hujan segera berubah menjadi guyuran yang lebat, membasahi seluruh jalan yang mereka lalui. Ceun-Ceun dan Cuimey berusaha mempercepat laju kuda mereka, namun derasnya hujan membuat pandangan mereka terbatas.
"Sepertinya kita harus segera mencari tempat berteduh," seru Cuimey sambil mengusap wajahnya yang basah.
Ceun-Ceun mengangguk setuju. "Kita tak bisa terus melanjutkan perjalanan dalam cuaca seperti ini."
Tak lama setelah itu, mereka melihat sebuah gua di sisi bukit tak jauh dari jalan. Ceun-Ceun memberi isyarat kepada Cuimey, dan mereka berdua segera mengarahkan kuda mereka ke arah gua tersebut. Setelah sampai, mereka segera turun dari kuda dan masuk ke dalam gua yang cukup luas untuk berteduh bersama kuda-kuda mereka.
"Setidaknya kita bisa menunggu hujan reda di sini," kata Ceun-Ceun sambil mengeringkan rambutnya yang basah.
Cuimey menyandarkan tubuhnya di dinding gua. "Syukurlah kita menemukan tempat ini. Hujannya sangat deras."
Mereka berdua duduk di lantai gua yang kering, menunggu hujan mereda sambil beristirahat sejenak. Suara hujan yang deras di luar memberikan irama yang menenangkan, namun Ceun-Ceun tetap waspada. Dunia persilatan tak pernah benar-benar aman, bahkan di dalam gua.
Setelah beberapa saat duduk di dalam gua, udara dingin mulai menusuk kulit mereka. Hujan deras yang terus mengguyur di luar membuat suhu semakin turun, dan Ceun-Ceun serta Cuimey mulai merasakan dinginnya yang menggigit. Cuimey merapatkan pakaiannya, namun tetap saja tubuhnya menggigil.
"Aku akan membuat api unggun," ujar Ceun-Ceun sambil bangkit berdiri. "Ada beberapa ranting kering di dalam gua ini, cukup untuk menyalakan api."
Ceun-Ceun mengambil inisiatif. Ia merapatkan tubuhnya lebih dekat ke dinding gua untuk melawan dingin sementara Ceun-Ceun mulai mengumpulkan ranting-ranting kering yang tersebar di sekitar. Setelah mendapatkan cukup ranting, Ceun-Ceun menyusun kayu tersebut menjadi tumpukan kecil, lalu dengan cekatan menyalakan api menggunakan batu pemantik yang selalu ia bawa.
Tak lama, api mulai berkobar, memberikan kehangatan yang segera mengusir dinginnya udara. Cuimey mendekat ke api, merasakan kehangatan yang mulai menjalar di tubuhnya.
"Ini jauh lebih baik," katanya dengan senyum kecil di wajahnya.
Ceun-Ceun duduk di sebelahnya, menatap api yang berkobar. "Setidaknya kita bisa beristirahat sebentar sambil menunggu hujan berhenti," ujarnya sambil menyesuaikan posisi tubuhnya agar lebih nyaman.
Mereka berdua menikmati kehangatan api sambil mendengarkan suara hujan yang masih deras di luar, mencoba mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan yang masih panjang.
Saat langit mulai gelap dan hujan perlahan mereda, suasana di sekitar gua menjadi lebih sunyi. Hanya suara tetesan air yang masih jatuh dari dedaunan di luar gua, mengiringi nyala api yang sudah mulai meredup. Ceun-Ceun dan Cuimey tetap duduk di dekat api unggun, menikmati ketenangan yang sedikit terjaga setelah hari yang panjang.
Namun, keheningan itu tiba-tiba terpecah oleh suara samar dari kejauhan. Sebuah teriakan, terdengar suara seorang wanita yang memohon pertolongan. Ceun-Ceun segera mendongak, tatapannya berubah tajam. Cuimey juga dengan cepat berdiri, memfokuskan telinganya.
"Apa kau mendengar itu?" tanya Cuimey, suaranya penuh dengan kewaspadaan.
Ceun-Ceun mengangguk. "Suara wanita... Dia dalam bahaya."
Tanpa berpikir panjang, Ceun-Ceun berdiri dan mematikan api unggun. "Kita harus cepat! Suaranya semakin dekat."
Dengan sigap, keduanya keluar dari gua, meski sisa-sisa hujan masih membasahi jalanan. Mereka mengikuti arah suara tersebut, langkah-langkah mereka semakin cepat seiring dengan meningkatnya intensitas teriakan. Suara itu terdengar lebih jelas sekarang, disertai oleh suara gemericik air sungai di kejauhan.
"Tolong! Tolong!" teriakan itu semakin jelas, membuat Ceun-Ceun dan Cuimey mempercepat langkah mereka. Mereka berlari menuju arah sungai, di mana tampaknya sumber teriakan tersebut berada, bersiap menghadapi situasi apapun yang akan mereka temukan.
Ketika Ceun-Ceun dan Cuimey sampai di tepi sungai, mereka melihat pemandangan yang mengejutkan. Seorang wanita muda terbaring di tanah, tubuhnya terlilit erat oleh seekor ular sanca besar. Wajahnya pucat pasi, penuh ketakutan, sementara ular itu semakin mempererat lilitannya, membuat wanita itu kesulitan bernapas.
"Tolong...!" wanita itu berbisik, suaranya lemah namun penuh kepanikan.
Tanpa menunggu lebih lama, Cuimey segera menarik pedangnya. "Kita harus cepat!" serunya.
Dengan lincah dan cekatan, Cuimey mendekati ular tersebut. Ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan dalam satu gerakan yang cepat, ia menebas ular itu tepat di bagian tubuhnya yang tengah melilit wanita malang itu. Tebasan pedang Cuimey begitu kuat dan presisi, membuat ular sanca tersebut terbelah dua.
Wanita itu terlepas dari lilitan ular, terengah-engah dan lemah, namun masih hidup. Cuimey segera membantu wanita tersebut berdiri, sementara Ceun-Ceun mengawasi sekeliling, memastikan tidak ada ancaman lain yang mendekat.
"Apakah kau baik-baik saja?" tanya Cuimey dengan nada khawatir.
Wanita itu hanya mengangguk sambil berusaha mengatur napas. "Aku... tersesat... dan tiba-tiba ular itu muncul... terima kasih..." katanya dengan suara gemetar.
Ceun-Ceun mendekat, "Kau aman sekarang. Kita akan membawamu ke tempat yang lebih aman," ujarnya tegas.
Mereka bertiga menuju gua, meninggalkan sisa-sisa ular yang masih menggeliat di tanah.Langit semakin gelap, namun hujan telah benar-benar berhenti. Udara malam terasa sejuk, namun dinginnya masih menggigit kulit, membuat mereka segera menyalakan api unggun yang sempat padam.
Ceun-Ceun menatap wanita yang kini duduk dengan wajah pucat di dekat api. "Bagaimana kau bisa tersesat di hutan ini?" tanyanya lembut, mencoba memahami apa yang terjadi.
Wanita itu menarik napas panjang, masih terlihat ketakutan, namun perlahan mencoba bercerita. "Aku... aku sedang dalam perjalanan menuju desa di selatan, tapi aku tersesat ketika hujan turun. Aku kehilangan jejak dan tanpa sadar masuk lebih dalam ke hutan... Lalu ular itu muncul entah dari mana."
Cuimey mengangguk, menyadari betapa berbahayanya hutan ini bagi orang yang tidak siap. "Kau beruntung kami mendengarmu. Hutan ini penuh dengan binatang buas, terutama saat malam tiba."
Wanita itu tersenyum lemah. "Aku sangat berterima kasih pada kalian. Kalian telah menyelamatkan nyawaku."
Ceun-Ceun mengangguk, matanya tetap waspada ke sekeliling gua. "Istirahatlah di sini malam ini. Besok pagi, kami akan mengantarmu keluar dari hutan ini."
Dengan api unggun yang menyala, mereka berusaha beristirahat untuk memulihkan tenaga, sementara kegelapan malam terus menyelimuti hutan di luar sana.