webnovel

Sebenarnya Dia seorang Pedekar

Pagi yang cerah menyambut mereka ketika Ceun-Ceun dan Cuimey terbangun dari tidur malam mereka. Cahaya matahari yang hangat menerobos masuk ke dalam gua, menciptakan suasana tenang setelah malam yang penuh ketegangan. Udara segar pagi itu memberi semangat baru bagi mereka setelah melewati cobaan sebelumnya.

Wanita yang mereka selamatkan juga telah bangun. Wajahnya terlihat lebih cerah dan lebih segar setelah mendapatkan istirahat yang cukup. Sambil merapikan rambutnya yang sedikit kusut, ia berdiri dan menghampiri Ceun-Ceun serta Cuimey yang tengah menyiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan.

"Terima kasih banyak atas semua bantuan kalian," katanya dengan nada penuh terima kasih. "Aku tak tahu apa yang akan terjadi jika kalian tidak mendengar teriakanku semalam."

Ceun-Ceun tersenyum tipis, lalu mengangguk. "Tidak perlu berterima kasih. Yang penting kau selamat. Kemana tujuanmu setelah ini?"

Wanita itu memandang ke arah selatan, arah di mana ia sempat tersesat kemarin. "Aku harus melanjutkan perjalananku ke desa di selatan. Ada urusan yang harus kuselesaikan di sana," jawabnya dengan mantap.

Cuimey berdiri di samping Ceun-Ceun. "Apa kau yakin bisa melanjutkan perjalanan sendirian? Setelah apa yang terjadi semalam, hutan ini masih berbahaya."

Wanita itu tersenyum lembut, tetapi kali ini ada kekuatan yang terlihat di matanya. "Aku tidak sendirian," ujarnya sambil mengeluarkan sebuah loncan kecil dari balik pakaiannya. "Dengan loncan ini, aku bisa memanggil teman-temanku dari kejauhan. Mereka akan menjemputku dan membawaku ke tujuan dengan cepat."

Ceun-Ceun dan Cuimey terkejut sejenak, namun segera mengerti bahwa wanita ini bukan orang biasa. Mereka hanya tersenyum, membiarkan wanita itu mempersiapkan diri.

"Aku harus segera pergi. Sekali lagi, terima kasih," katanya sebelum melangkah keluar dari gua.

Dalam sekejap, wanita itu melantunkan suara nyaring dengan loncannya, dan seketika, tubuhnya terangkat perlahan ke udara, terbang menuju selatan dengan anggun. Ceun-Ceun dan Cuimey hanya bisa memandanginya dengan kagum, melihat bagaimana wanita itu menghilang di balik pepohonan. Setelah itu, mereka berdua bersiap untuk melanjutkan perjalanan mereka yang masih panjang.

Ceun-Ceun dan Cuimey saling berpandangan dengan ekspresi bingung setelah melihat wanita itu terbang menjauh dengan bantuan loncan ajaibnya. "Kita benar-benar tidak mengira," ujar Cuimey sambil menggelengkan kepala, masih tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Padahal semalam dia terlihat begitu lemah dan ketakutan. Ternyata dia seorang pendekar dengan ilmu yang cukup tinggi."

Ceun-Ceun menatap ke arah selatan, tempat wanita itu menghilang di balik hutan. "Aku juga tak menyangka. Jika dilihat dari penampilannya, tidak ada tanda-tanda bahwa dia seorang pendekar. Tapi loncan itu... Itu jelas bukan benda biasa."

Cuimey mengangguk setuju. "Mungkin dia hanya berpura-pura lemah untuk menghindari masalah lebih lanjut. Bisa jadi dia sedang menyembunyikan identitasnya dari musuh."

Ceun-Ceun memutar otak, mencoba merangkai apa yang baru saja terjadi. "Atau mungkin dia memang sengaja membiarkan kita menolongnya untuk mengetahui siapa kita. Ada sesuatu yang aneh dari semua ini."

Cuimey menghela napas panjang. "Ya, apapun alasannya, kita tidak boleh meremehkan orang asing yang kita temui di perjalanan ini. Dunia persilatan penuh dengan rahasia, dan kadang-kadang, musuh terbesar kita adalah orang yang kita kira tidak berbahaya."

Ceun-Ceun merapikan peralatan mereka, kemudian bersiap melanjutkan perjalanan. "Yang jelas, kita harus tetap waspada. Siapa tahu dia berhubungan dengan salah satu sekte yang kita cari."

Cuimey tersenyum tipis sambil menyiapkan pedangnya. "Aku sudah siap. Mari kita lanjutkan perjalanan ke negeri utara."

Keduanya kemudian meninggalkan gua dan melanjutkan perjalanan mereka, dengan pikiran yang terus waspada dan penuh tanda tanya. Meskipun mereka tidak mengetahui siapa sebenarnya wanita itu, Ceun-Ceun dan Cuimey merasa bahwa mereka baru saja bertemu dengan seseorang yang bisa membawa pengaruh besar dalam perjalanan mereka.

Saat Ceun-Ceun dan Cuimey melanjutkan perjalanan mereka menuju negeri utara, mereka tak menyangka akan bertemu dengan kelompok misterius yang tampak berbahaya. Langit yang semula cerah tiba-tiba berubah mendung, dan udara terasa lebih tegang. Di tengah perjalanan melalui hutan, mereka melihat sekelompok pria berpakaian seragam biru gelap berkumpul di jalan setapak yang sempit.

"Ceun-Ceun, mereka terlihat mencurigakan," bisik Cuimey dengan penuh waspada.

Ceun-Ceun mengangguk setuju. "Mereka bukan orang biasa. Lihat lambang di dada mereka," ujar Ceun-Ceun sambil menunjuk logo berbentuk naga di dada mereka. "Itu lambang Sekte Naga Biru. Kita harus bersiap."

Kelompok pria itu menyadari kehadiran Ceun-Ceun dan Cuimey, dan salah satu dari mereka, yang tampak sebagai pemimpin, maju dengan langkah percaya diri. "Apa yang dilakukan para pendekar Sekte Tangan Besi di wilayah kami?" tanyanya dengan suara dingin, tatapannya tajam menusuk.

Ceun-Ceun mengangkat dagunya dengan tenang. "Kami hanya lewat. Tidak mencari masalah."

Namun, pemimpin Sekte Naga Biru itu hanya tersenyum sinis. "Kalian sudah berada di wilayah kami, dan itu sendiri adalah sebuah masalah. Kalian tidak akan pergi dari sini hidup-hidup."

Tanpa peringatan lebih lanjut, para anggota sekte itu menghunus senjata mereka dan langsung menyerang. Ceun-Ceun dan Cuimey segera bersiap. Ceun-Ceun mengaktifkan kekuatan tangan besinya, sementara Cuimey dengan lincah mengeluarkan pedang tajamnya.

Pertarungan sengit pun tak terelakkan. Ceun-Ceun melayangkan pukulan kuat dengan tangan besinya, mematahkan pedang salah satu lawan dengan sekali hentakan. Cuimey, dengan keahlian memainkan pedangnya, berputar cepat dan menebas beberapa musuh dalam satu gerakan yang indah namun mematikan.

Mereka berdua bertarung dengan gigih, tak memberi celah sedikit pun untuk para pendekar Naga Biru mendekat. Namun, para musuh itu tampak terlatih dan tangguh, membuat Ceun-Ceun dan Cuimey harus mengeluarkan seluruh kemampuan mereka. Kekuatan tangan besi dan keterampilan pedang Cuimey menjadi senjata utama dalam menghadapi serangan gencar dari Sekte Naga Biru.

Pertarungan semakin memanas. Ceun-Ceun dan Cuimey bergerak dengan kecepatan dan ketepatan luar biasa. Ceun-Ceun menghantam musuh satu demi satu dengan tangan besinya, membuat para pendekar Sekte Naga Biru terpental ke belakang, beberapa di antaranya bahkan kehilangan senjata mereka akibat pukulannya yang dahsyat. Setiap gerakan Ceun-Ceun diiringi dengan suara angin yang tajam, menandakan kekuatan luar biasa di balik serangannya.

Sementara itu, Cuimey menari dengan pedangnya di antara para lawan, setiap ayunan dan tebasan yang ia lakukan sangat tepat dan cepat. Pedangnya berkilat-kilat di bawah cahaya yang mulai meredup karena awan gelap, dan dalam waktu singkat, beberapa pendekar Naga Biru sudah terjatuh tak berdaya di tanah. Darah mereka menetes, namun Cuimey tetap tenang, wajahnya tanpa ekspresi, seolah pertarungan ini hanya rutinitas biasa.

Meski begitu, musuh-musuh mereka tidak mudah menyerah. Pemimpin Sekte Naga Biru, yang masih berdiri dengan bangga, terus memerintahkan anak buahnya untuk menyerang. "Jangan biarkan mereka lolos!" serunya, meskipun napasnya mulai terengah-engah.

Namun, Ceun-Ceun dan Cuimey tidak memberi ruang sedikit pun untuk musuh bergerak bebas. Setiap pendekar yang maju dengan senjata di tangan mereka langsung disambut oleh serangan balik yang menghancurkan. Cuimey berhasil melumpuhkan dua pendekar sekaligus dengan satu gerakan pedangnya, sementara Ceun-Ceun menghancurkan tanah di bawah kakinya dengan satu pukulan keras, membuat beberapa musuh terjatuh karena kehilangan keseimbangan.

Akhirnya, pemimpin Sekte Naga Biru, yang melihat kekuatannya semakin terkikis, angkat tangan. "Cukup!" serunya, napasnya tersengal-sengal. "Kami menyerah. Jangan bunuh kami!"

Ceun-Ceun menurunkan tangannya, sementara Cuimey menyarungkan pedangnya kembali. Keduanya tetap waspada, namun mereka tahu bahwa kemenangan telah ada di tangan mereka.

"Pergi dari sini, dan jangan pernah ganggu perjalanan kami lagi," ucap Ceun-Ceun dengan dingin.

Pemimpin Sekte Naga Biru mengangguk, wajahnya pucat. "Kami akan pergi. Kalian menang kali ini." Dengan perintah singkatnya, anggota sektenya yang tersisa mulai mundur, meninggalkan Ceun-Ceun dan Cuimey di tengah hutan yang kini sunyi.

Mereka berdua saling pandang, menghela napas lega setelah pertarungan yang begitu sengit.