webnovel

SWEET BUT PSYCHO

GENRE : FANTASI-ROMANCE-ACTION Seseorang di masalalu pernah mengajarinya untuk mengedepankan logika daripada perasaan hingga membuat dirinya tumbuh menjadi gadis yang kejam. Dia bahkan tidak pernah merasakan jatuh cinta. The Professor, begitulah ia dijuluki. Kematian tragis kedua orang tuanya semakin membuat dendam di hatinya membesar. Hingga suatu tugas membuatnya harus masuk ke sebuah sekolah yang menyimpan banyak rahasia. Apakah tugas ini akan membantunya mengungkap rahasia di balik kematian kedua orang tuanya? Apakah melalui tugas ini dia juga akan mendapatkan cinta sejatinya? " Kamu boleh membenciku, tapi jangan tunjukkan itu padaku. Karena jika hal itu terjadi, akan kupastikan kamu akan hilang dari bumi, " - The Professor.

Iyyusprr · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
6 Chs

Kalimat dari Masa Lalu

        Aku sedikit bersyukur karena diriku tidak pingsan. Entahlah, apa mungkin karena aku terbiasa terluka sehingga hal semacam ini tidak membuatku pingsan.

Untungnya juga Andrew tepat waktu menyelamatkan ku. Aku berhutang nyawa padanya.

Kini aku sudah dibopong oleh Andrew menuju basecamp. Sebenarnya Andrew ingin membawaku ke rumah sakit. Tapi tentu saja kutolak.

Igh, membayangkan bau obat di rumah sakit saja aku tidak sudi.

Ngomong-omong, kepalaku rasanya sakit sekali. Bahkan kakiku yang tertembak saja sampai tidak terasa sakit.

"An, kepala gue pecah ya? "

Aku merasakan sebalah tangan Andrew meraba kepala belakangku.

" Tidak, "

Tidak ya? Padahal rasanya darah terus saja mengalir.

Aneh sekali melihat diriku yabg sekarang. Aku jadi begitu lemah. Padahal selama ini aku tida pernah begini.

Terakhir kali aku terluka adalah ketika aku menyelamatkan Melon. Itu pun aku tidak sampai separah ini.

" Rasa! Hei! Rasa! "

Telingaku berdengung. Panggilan Andrew rasanya seperti suara gema dan gaung.

" Buka mata lo, kita udah sampai. "

" An, "

Melihat wajah panik Andrew sedekat ini rasanya , ah, aneh.

" Pistol gue dimana? "

Andrew mendesis.

" Diem lo, masih mikirin pistol. Gila lo ya? "

Bukan begitu maksudku. Tapi, revolver milikku itu tadi pelurunya sudah aku baluti dengan obat bius. Lalu, sidik jariku juga pasti berada di sana. Kalau ditemukan orang lain, selesai sudah.

" ANDREW RASA! "

Melon malah menangis sesenggukan melihat kondisiku. Ck, cengeng sekali sih dia.

Andrew segera membaringkanku di sofa. Yah bagaimana lagi, tidak ada kasur disini. Sofa ini tempat khusus Andrew. Tidak biasanya dia mau membiarkan orang lain menduduki sofanya itu.

Harta

Tahta

Sofa

Rasa

Eh? Apa-apaan kau ini Rasa.

" Ambilkan etanol, kapas dan perban. Cepat! "

Melon segera menuruti perintah Andrew. Dia juga kembali dengan segera.

" Ini An. Rasa, lo jangan mati dulu ya. Gue masih pengen misi sama lo. Oke? "

" Ugh. "

Melon bodoh. Dia pikir aku selemah itu? Ingat, namaku Killer Rasa. Pembunuh tidak akan terbunuh oleh pembunuh lainnya.

Tangan kiri Andrew masih memegang kepala belakangku.

" Bantu gue  Mel "

Melon dan Andrew sibuk sekali membersihkan lukaku. Ah, hampir saja aku lupa. Masih ada dua peluru yang bersarang di dalam kaki ku.

" Third sama Bagas kemana sih? Gue suruh nyari kalian berdua malahan ngilang. Dasar manusia gak berguna, "

Oceh Melon.

" Siapa yang gak berguna hah? "

Mataku beralih ke sumber suara. Ada Bagas dan Third disana. Tapi aku lebih fokus ke benda yang dibawa Third.

Itu pistolku.

" Ya Elo sama Bagas lah. Gue suruh nyari Andrew sama Rasa malahan keluyuran kemana?? "

" Gue sama Bagas nyari Rasa dan Andrew, lihat nih pakai mata, gue bawa pistolnya Rasa yang jatuh, "

Huah~ aku bersyukur.

" Rasa?? Lo kenapa Sa? "

Heboh Bagas.

" Ambilkan pisau Gas, cepat. "

Feelingku tidak enak karena Andrew menyuruh Bagas mengambil pisau.

" Buat apa An? "

Tanya Melon.

Andrew diam saja. Dia melepaskan tangannya yang berada di kepala belakangku lalu menarik perban dan membalut kepalaku dengan perban.

Oh tidak, aku jadi seperti mumi sekarang.

" Nih pisaunya, "

Andrew menerima pisau yang disodorkan Bagas.

" Rasa, gue tau ini pasti akan sakit. Jadi lo harus tahan. Melon,Third,Bagas, pegang kaki dan tangan Melon. Tahan kepalanya. Jangan sampai membentur. "

" Lo mau ngambil pelurunya? "

Tanyaku lemas.

" Ya, apa lo bisa tahan? "

Aku mengangguk kecil. Tentu saja aku bisa menahannya. Maksudku, tentu saja aku harus bisa menahannya.

" Andrew, lo waras gak sih? Kalau Rasa malah infeksi gimana? Kenapa gak dibawa ke rumah sakit aja? "

Beo Melon.

" Gue gak papa, lekaslah An. "

" Oke. Tahan. "

Aku memejamkan mataku ketika pisau tajam itu mulai mengoyak kakiku. Ugh, sakit sekali.

" Gigit lengan Bagas kalau mau teriak, "

" Eeiitss, kok gue Ndrew? "

" Lakuin aja perintah gue, "

Bagas dengan pasrah menyerahkan lengannya tepat di depan mulutku. Tenang saja kali, aku juga tidak akan menggigit lenganmu Gas.

Aku merasakan benda seperti besi kecil menusuk kakiku. Ah, ternyata Andrew sedang mengeluarkan pelurunya.

Tahanlah Rasa, jangan menangis. Jangan lemah kau. Seperti ini saja kesakitan. JANGAN LEMAH RASA! JANGAN!

" Udah An? Kasian Rasa, gue gak tega, "

Ujar Melon.

Sebenarnya rasa sakit di kakiku tidak seberapa. Tapi, kepala belakangku rasanya sudah retak.

Walaupun sudah dibaluti perban, namub aku masih merasa darahku terus mengalir. Kepalaku juga rasanya berputar-putar.

" Selesai. "

" Andrew, "

Panggilku pelan.

Andrew menatapku seolah bertanya, whats up?

Aku sedikit malu mengucap ini. Tapi karena dia sudah membantuku, ya aku harus mengatakan ini.

" Thank you, "

Semua mata langsung tertuju padaku. Seakan-akan ucapanku barusan adalah sebuah gift yang mengejutkan.

" Hm, "

Tangan Third yang tadi menahanku perlahan mulai terlepas. Kemudian Andrew mendekatkan tubuhnya padaku. Refleks aku langsung menekuk daguku.

" Ngapain lo? "

Tanyaku kasar.

Mataku stuck melihat tatapan Andrew. Bukannya suka ya, hanya saja, dari jarak sedekat ini ia terlihat eum, tampan.

" Gue mau ngambil ini, "

Andrew menunjukkan sebuah kertas yang ia ambil dari rambutku.

Sedetik aku merasa heran. Bagaimana bisa secarik kertas tertempel di kepalaku? Apalagi kepalaku sedang terluka.

Oh, atau jangan-jangan kepalaku ada yang bolong sehingga kertas itu masuk ke lukaku?

" Teka-teki lagi? "

Tanya Third penasaran.

" 2-8-5 |3-3-8 |3-6-3 | 3-6-5 | 8-1-0 "

Andrew membaca kode dalam secarik kertas tersebut dengan lantang. Anehnya Aku merasa seperti tidak asing dengan kode itu.

" Apalagi ini Tuhan? Bukankah kita hanya ingin menyelesaikan tugas yang diberikan komite? Mengapa malah jadi serumit ini? "

Ujar Melon.

" ARG! bangsat. Kenapa harus pakai kekerasan kalau cuma mau ngasih kode? "

Teriak Third kesal.

Aku rasa si impostor sengaja melakukan ini agar kami segera menghentikan misi untuk membunuh Andrian.

Tapi, benarkah salah satu diantara kami yang melakukannya? Sulit sekali untuk meneguhkan hatiku.

" Gue lihat, "

Aku mengubah posisiku yang tadinya tiduran menjadi duduk di sofa. Ku ambil kertas itu dari tangan Andrew.

285 itu kode apa ya? Aku benar-benar seperti pernah tahu tentabg kode-kode seperti ini. Hah~ sayangnya tidak ada di brainly. Coba saja kalau ada, pasti hidupku enak sekali.

" Rasa! "

" Kaget gue. Kenapa sih Mel? "

" Lo mending ganti baju dulu deh. Darahnya banyak banget tuh sampai merembes, "

" Ck, bentaran ah. "

Aku memejamkan mataku sejenak. Terasa sedikit membingungkan. Apa karena dipukul tongkat baseball makanya otakku jadi lemot begini?

" AH! GUE TAU! "

" Jadi apa? "

Tanya Bagas.

" 2-8-5 pemerkosaan, 3-3-8 pembunuhan, 3-6-3 pencurian, 3-6-5 perampokan, 8-1-0  pembunuhan, dan terakhir HT-OPAK KENDAL JEPARA. itu , "

" Opak Kendal Jepara adalah kantor "

Sambung Bagas.

" Lo tau Gas? "

Heran gue.

" Hehe, tau dong. Gue pernah dengar dari agen judi waktu kita misi beberapa waktu lalu, "

Sedikit meragukan. Seingatku Bagas tidak ikut misi waktu itu.

" Lo gak ikut misi itu Gas, "

Ucapku jujur dari hati.

" Iya sih emang, tapi kan gue yang monitorin kalian. Lupa lo? "

Ah, iya lupa.

Mungkinkah pradugaku salah? Semakin kesini aku semakin heran dengan diriku. Ini seperti bukan aku.

" Sepertinya gue paham maksud surat itu. Tapi-- sebentar, "

Melon berlari mengambil ponsel lalu kembali lagi. Melon menunjukkan sebuah kode angka yang tertulis tepat di meja kepala sekolah.

" Sepertinya surat ini ada hubungannya dengan kantor. Waktu gue dan Third menyelinap ke kantor kepsek, gue menemukan kode angka ini. Jadi langsung gue foto, ternyata berguna juga. "

Jelas Melon.

" Kode 3-3-8 yang tertera di meja ini. Gue-- arghh , "

Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, kepala belakangku terasa seperti dibentur-benturkan ke lantai. Ngilu, perih dan sakit sekali.

" Rasa, are you oke? "

Tanya Third.

Bodoh. Sudah jelas aku tidak oke. Malahan ditanya lagi.

" Sebaiknya kita bawa Rasa ke rumah sakit. Luka di kepala belakang dia cukup serius, "

Ujar Bagas.

Aku tidak ingin pergi ke rumah sakit. Aku ingin mengatakan itu tapi lidahku kelu.

" Andrew! Angkat Rasa cepat! Bodoh banget lu goblok, lihat temen gue sekarat, "

Melon terus saja berceloteh kesal. Mengumpat, memaki bahkan memukuli Andrew yang diam saja.

" ANDREW! "

Andrew mengangkat tubuhku lalu berlari. Sebelah tangannya menahan kepala belakangku sedangkan tangan lainnya menahan tubuhku.

" Andrew, "

" Hm, "

" Sepertinya gue udah gak cocok jadi ruby di tim kita. Lihat, gue lemah kan sekarang?"

Dalam kondisi berlari, aku melihat perubahan wajah Andrew.

" Berhenti berceloteh. Lo itu gak lemah, "

Aku merasa ada yang berbeda dengan Andrew. Andrew yang kukenal itu tidak pedulian. Selain itu dia juga kasar dan dingin. Sedangkan Andrew yang sekarang? Dia lebih terlihat care.

" Suster! Teman tolong teman saya, "

Kesadaranku benar-benar sudah mulai menurun. Terakhir aku hanya mendengar suara ketiga temanku yang lain berlari menghampiri Andrew.

Samar-samar aku mendengar suara seseorang yang tak asing. Aku pernah mendengar kalimat itu. Sesorang di masa lalu pernah mengatakan itu padaku. Tapi siapa? Mengapa aku tidak bisa mengingatnya?

" Lekaslah membaik, Rubyku "

***