webnovel

SURAT MERAH ITU

Seorang gadis berusia kira-kira delapan belas tahun memasuki café berpintu kaca yang di dalamnya tertulis kata 'Open'. Ia berperawakan tinggi, ramping berisi dan wajahnya bulat bagaikan bulan masuk ke dalam ruangan ber-AC yang sejuk. Dress hitam selutut tanpa lengan yang dipakainya terlihat anggun dan casual dengan balutan jaket putih. Dia memakai sepatu kets putih, membuatnya cool dan cantik. Rambut panjangnya diurai sebahu dengan bando hitam menghiasi kepala yang tanpa rias. Pipinya yang putih dan mata sendunya terpaku pada tempat duduk nomor tiga dari pintu.

Dia duduk di sana melihat ke bangku-bangku yang kosong di sebelahnya seakan sedang berbicara. Ditemani cappucinno dan roti bakar dia mulai menggoreskan penanya pada sebuah kertas putih. Pena itu menari-nari merangkai kata-kata dari lubuk hatinya. Disela menulisnya kadang dia termenung, menyeruput sedikit cappucinno dan berjengit dengan rasa pahit yang menyeruak dikerongkongannya. Ia memang tidak menyukai cappucinno atau semacam kopi lainnya, namun mengingat kenangan indah dulu dia meminum seteguk lagi–kali ini dengan senyum dan pandangan menerawang jauh.

Untuk sahabatku,

Aku tahu, aku memang bukan sahabat yang terbaik untukmu, jangankan menjadi yang terbaik untuk menjadi sahabat yang baik pun aku tidak bisa. Aku ingin meminta maaf atas segala yang pernah kulakukan kepada kalian. Maafkan hal-hal bodoh yang kulakukan hari itu, hingga sekarang aku sangat menyesalinya.

Aku tidak bisa mendapat sahabat yang sama seperti kalian. Jika boleh memilih aku akan menggadaikan semua yang kumiliki agar aku bisa bersama kalian. Hanya itu yang kutahu, aku ingin bersama kalian kembali seperti dulu, meski itu hanya angan dari asaku.

Sahabat mungkin saat kau membaca surat ini aku sudah jauh di sana. Aku yang terlalu pengecut tidak berani menampakkan diri di depan kalian. Jadi, saat ini aku secara resmi ingin meminta maaf pada kalian, sahabat sepanjang masa. Tanpa kalian mungkin aku tidak akan tahu apa arti hidup sesungguhnya, tidak mengerti arti kasih sayang sejati, tidak mengenal kesusahan yang ditanggung bersama. Tanpa mengenal kalian mungkin saat ini aku sudah menjadi Hitler yang bersikap egois, arogan, dan seenaknya sendiri. Sahabat, aku orang yang telah menghancurkan kepercayaan kalian ingin mengharapkan hal yang tidak mungkin akan terjadi, aku ingin setidaknya kalian datang kepadaku meski dalam keadaan aku sudah tiada. Mungkin saat kalian membacanya kalian akan tersenyum kecut dan berkata 'tidak mungkin' – aku membayangkan cara kalian bicara.

Sahabat, kehidupan ini tidak berasa apa pun tanpa kau. Seperti sayur tanpa garam, seperti gunung tanpa lautan, seperti tumbuhan tanpa matahari, seperti bunga tanpa sang kumbang, seperti laut tanpa gelombang, seperti sore tanpa warna, seperti angin tanpa hembusan, seperti itulah aku tanpa kalian. Tak ada arti.

Aku tidak tahu apa yang kurasa, aku hanya merasa harus menulis surat ini, setidaknya sebelum aku pergi, pikirku. Entah pergi kemana aku pun tidak tahu, hanya perasaan sintingku yang terkadang kalian buat lelucuan seperti waktu itu.

Pernahkah kau ingat sahabat saat pertama kita bertemu, kata-kata pertama yang terucap dari mulut kita saat berkenalan, perasaan apa yang kita rasakan saat bertemu pertama kali, pernahkah kau ingat? Jangan tanyakan itu padaku karena kalian sudah tahu jawabannya, 'aku tidak begitu mengingatnya' tapi bukankah itu tidak terlalu penting bagaimana kita bertemu, kata-kata apa yang terucap saat bertemu, perasaan apa yang kita rasakan saat pertama kali jika semuanya hanya berujung pada satu kata dan satu tujuan. Persahabatan. Aku tidak memusingkan hal itu jika kita memang ditakdirkan bersama aku akan selalu mengingat kalian, entah apapun itu, meskipun penyakit ingatanku melemah aku akan mengukir nama kalian di batu, membisikkan nama kalian pada angin agar saat angin berhembus aku bisa mendengar nama-nama kalian di telingaku. Menulis pada air meskipun itu hal yang mustahil.

Masihkah kau ingat mimpi-mimpi kecil yang kita buat sewaktu bersama. Kita bagaikan Einstein yang berharap dapat memecahkan rumus kehidupan, kita seperti () yang berharap bisa membuat lampu yang akan menerangi dunia, ingin seperti () yang memimpikan membuat permainan untuk semua usia. Mimpi-mimpi mustahil kita yang kuyakin suatu saat nanti akan terwujud, meskipun itu tanpa aku.

Sahabat, kemarin kutemukan sebuah buku di perpustakaan yang sering kita kunjungi. Buku itu berjulul 'horoskop' semacam buku zodiak dalam versi jawa. Aku buka buku itu, aku hanya ingin tahu, melihat daftar isinya dan kutemukan beberapa mangsa yang sesuai dengan tanggal ulang tahun kita semua. Mangsa "Saddha", mangsa "Desta", mangsa "Kasadasa", mangsa "Kapitu", mangsa "Kalima". Semua mangsa yang sesuai dengan tanggal lahir kalian aku baca. Sekali lagi, aku hanya ingin tahu. Kuperdalam bacaan itu dalam ingatanku. Kutemukan kenyataan-kenyataan yang kukenang dalam ingatanku, memang hampir semua yang kubaca seperti diri kalian. Membuatku berbayang diri kalian sedang berada dihadapanku saat ini, membuatku semakin asik membaca.

Sahabat dalam buku itu aku temukan hal menyakitkan yang tidak pernah aku yakini. Kalimat-kalimat itu terangkai tersurat meskipun tidak dibicarakan secara tertulis mengatakan bahwa aku dan kalian tidak pernah akan cocok satu sama lain. Aku terdiam dalam halaman seratus dua puluh lima, aku terpaku. Aku berusaha tidak mempercayai kata-kata itu. Berusaha membuangnya jauh-jauh dari ingatanku. Tapi kata-kata itu terus menghantuiku, membayang dalam angkot yang kunaiki, dalam kamar tidurku, dalam nasi yang kumakan. Ingin rasanya aku mengutuk diriku sendiri mengapa aku membaca buku itu. namun nasi telah menjadi bubur, telah lembek dan dimakan dengan cara berbeda. Aku telah membaca buku itu dan pertanyaan-pertanyaan membenak dalam pikiranku. Apa memang benar kita tidak ditakdirkan bersama? Apa ini adalah jawaban dari segala kerisauanku selama ini, mengapa kita bertengkar terus? Apa ini hal yang seharusnya dan semestinya, kita bertengkar dan tidak bertemu satu sama lain? Tapi sesuatu mengusik jiwaku, sesuatu itu menyumbul dari dalam kalbu seakan kayu yang tenggelam lalu terapung kembali.

Jika seandainya kita memang ditakdirkan untuk tidak berteman mengapa kita harus bertemu? Jika kita sudah semestinya bertengkar mengapa ada rasa penyesalan dalam hatiku? Jika kita tak pernah cocok mengapa kita bisa membuat mimpi-mimpi konyol yang menyatukan kita? Jawabannya hanya satu, buku itu tidak sepenuhnya benar. Kita bisa memilih teman kita sendiri tanpa harus ditakutkan oleh penyataan yang mungkin bisa salah. Aku tidak ingin mengutuk penulis buku itu, hanya ingin membatah kata-katanya. Ingin kukatakan bahwa itu bisa saja berbelok contohnya kita. Tapi aku tertunduk lesu, karena mempertanyakan perkataanku sendiri. Toh ternyata kita saat ini berpisah. Itu yang membuatku malu sendiri dalam pikiranku. Aku ingin menentangnya tapi bukti apa yang kupunya? Kita berpisah.

Sahabat dalam tiga bulan terakhir ini aku seperti terhipnotis dalam kebiasaan kalian. Aku lebih sering meminum kopi, padahal kalian tahu sendiri kalau minum kopi aku akan batuk-batuk. Tapi saat ini aku minum kopi dan aku tidak batuk-batuk. Aku mencoba masakan ikan buatan ibu yang kalian tahu aku sangat tidak suka ikan. Aku teringat kata-kata kalian yang sering memarahiku jika aku tidak memakan ikan, 'ikan itu bagus untuk perkembangan otakmu.' Aku sering mencoba sambal yang tidak pernah kusuka saat mengingat betapa nikmatnya kalian makan dengan sambal. Dan mataku selalu mengeluarkan air mata saat mencoba sambal.

Sahabat aku sering mengunjungi perpustakaan tempat kita membaca novel-novel romantis yang akan kita bicarakan sepanjang jaman. Mengunjungi café tempat kita nongkrong membicarakan mimpi-mimpi aneh kita. Semua kulakukan dengan harapan kau ada disana seperti aku merasa kesepian tanpa kalian. Aku kadang berjalan hingga daerah rumahmu demi membeli jus buah yang sering kita beli. Meski pun aku takut untuk menuju rumahmu, bukan takut tapi aku malu jika bertemu denganmu. Apa yang akan kukatakan saat bertemu denganmu, apa yang kulakukan saat melihatmu, apa aku akan berbalik dan berlari saat melihatmu? Apa aku akan menyapamu? Apa kau akan pura-pura tidak melihatku dan melenggang pergi? Aku akan memilih yang terakhir, kau pura-pura tidak melihatku dan melenggang pergi. Walau menyakitkan hatiku, meski itu akan membuat air mataku berlinang namun setidaknya aku tidak menyakiti hatimu. Memang terlalu hiperbola jika aku memilih itu, seakan aku berpura menjadi bidadari yang baik hati, tapi itu yang kuinginkan saat bertemu kalian.

Sahabat apakah kalian pernah bermimpi tentangku atau jika pertanyaanku berlebihan setidaknya pernahkah terlintas sedikit meski hanya sedikit tentang aku? meskipun itu tentang aku yang menjengkelkan. Pernah kucoba melupakan kalian, aku hidup bukan hanya berputar dengan kalian, masih ada orang yang bisa menggantikan kalian dihidupku, pikirku. Dan aku mencoba itu, namun setiap aku bertemu dan berkenalan dengan orang baru itu mengingatkanku tentang kalian. Gerakan jalannya, cara dia memilih makanan, kata-kata yang dikomentarinya, cara dia memuji, cara dia terdiam saat berpikir, saat dia gugup, saat dia berdiri, saat dia duduk semuanya mengingatkanku pada kalian. Aku benci mengatakannya, mengapa kalian tidak pernah bisa keluar dari ingatanku? Kenapa kalian mengangguku dalam masa percobaanku melupakan kalian? Sekarang aku bisa mengerti rasa orang yang tidak bisa move on. Aku mengerti, meski tidak sepenuhnya aku pahami namun aku tahu perasaan tersiksa seperti itu. Meski tersiksa aku bahagia karena aku tidak melupakan kalian, itu yang membuatku yakin aku pernah dekat dengan kalian dan kalian nyata dalam hidupku.

Sahabat, kita masih berada dalam kota yang sama, daerah yang sama dan mungkin jarak kita hanya satu hasta. Tapi mengapa aku merasa jarak kita sangat jauh? Aku di selatan kau di utara. Aku merasa kita berada dalam pulau yang saling berjauhan. Aku tidak dapat menggapaimu, meski kita hanya dipisahkan sehelai gorden.

Oiya sahabatku, aku ingin menceritakan pengalamanku tanpa kalian, saat-saat terburukku. Tiga bulan yang lalu aku melamar beberapa pekerjaan dan mendapat pekerjaan sebagai cleaning service. Aku terpaksa mengambilnya, awalnya aku berat melakukannya, aku teringat kalian yang susah mencari pekerjaan. Jadi sudah kurasakan penatnya bekerja. Sebulan setelah itu aku bekerja sebagai admin yang membuat pekerjaanku naik tingkat. Dari sana aku mulai mengerti tanggungjawab yang pernah kalian emban. Aku tahu jika betapa pusingnya pekerjaan yang belum selesai dan perasaan marah jika diganggu. Aku hanya bertahan beberapa bulan, dan kini aku menjadi penulis lepas. Seperti yang pernah aku bilang pada kalian. Awalnya hanya coba-coba tapi berharap, kukirim cerpen yang pernah kubuat saat aku masih bersama kalian. Cerpen yang menceritakan tentang persahabatan abadi, berbeda denganku saat ini. Aku tertawa pahit saat editor majalah itu bertanya padaku ketika cerpenku terpilih. Ingin kuteriakkan padanya bahwa yang kurasakan saat ini adalah sebaliknya, namun kuurungkan. Dia terpesona oleh mimpi-mimpi dan karakter cerita itu. karakter kalian. Dia mengagumi kalian seperti halnya aku.

Kini aku hanya bekerja di rumah dan perpustakaan serta café, tempat aku menulis. Ingin aku membuat mimpi kita menjadi nyata. Aku mulai mencari tukang kebun dan membaca buku-buku tanaman hias. Aku membaca resep-resep kue dan roti-roti. Mengunjungi pasar-pasar kelontong yang menjual peralatan toko. Semua sudah kulakukan namun masih tersisa satu lubang yang belum kutemukan penutupnya. Sudah kupikirkan apa yang kurang dan kucari-cari dari setiap buku bisnis yang kubaca. Tak kutemukan yang pasti. Aku mengerti lubang yang kurang itu adalah kalian. Kalian yang seharusnya disini bersamaku membuat semua ini menjadi kenyataan dan hidup bahagia selamanya. Seperti akhir cerita dalam negri dongeng, namun dalam negri dongeng pun ada akhir cerita yang mengenaskan. Aku menghembuskan napas lesu, itu hanya mimpiku di siang bolong. Tapi apakah salah aku berharap kalian menemuiku atau sekedar mengirim pesan singkat yang salah kirim kepadaku. I wish…

Kadang aku berfoto sendiri, dan kucetak foto itu. tapi apa yang kudapat aku malah menangis sendiri melihat diriku sendirian tanpa kalian. Foto itu seperti dimantrai mantra penghilang. Kalian menghilang dalam foto itu. kalian menghilang dalam hidupku.

Sahabat maafkan aku yang selalu egois…

Terima kasih telah mengisi hidupku.

Terima kasih telah bersedia hadir dalam hidupku dan memberikan warna-warni kehidupan.

Dan terima kasih karena mau bersabar kepada gadis bandel ini, telah sabar dengan sikap egoisnya.

Salam sayang dari sahabatmu, dari orang yang pernah mengganggu hidupmu.

Pena hitam itu berhenti bergerak. Gadis itu berhenti menulis. Di lipatnya kertas itu menjadi tiga lipatan dan diletakkan di meja. Tangannya yang kebas digerakkan terbuka menutup untuk menghilangkan kebasnya. Dia menyeruput cinno dan menggigit roti sebelum menghambur keluar untuk membeli amplop dan mengirim suratnya.

Di depan café yang telah tertutup pintunya dia gamang. Apakah dia akan mengirim surat itu atau hanya menyimpannya dalam box biru di kamarnya. Kegamangannya itu pudar setelah dilihatnya surat yang berada digenggamannya. Untuk terakhir kalinya dia menatap café itu dari luar dan berbalik ke arah jalan. Langkahnya gontai dan ragu-ragu menyeberangi jalan yang sudah berlampu merah. Diantara orang-orang yang berjalan cepat dia berjalan lambat hingga tertinggal di belakang.

"Awaaaass…."

Terdengar olehnya suara pria yang meneriaki sesuatu. Apa yang terjadi, dia tersadar dari tertegunnya dan mencari asal suara.

Tanpa ada tanda klakson atau apapun, sebuah mobil silver melesat cepat dari arah kiri. Dari dalam mobil seorang anak muda kaget karena menabrak orang didepannya, ia langsung banting setir ke arah sebaliknya. Mobil itu menabrak pohon yang berada dipinggir jalan. Anak muda yang berada didalamnya terbentur setir mobil. Tidak sadarkan diri.

Sementara itu, gadis malang yang tertabrak terlempar sejauh 20 meter dari jarak dia ditabrak. Dari tubuhnya mengucur cairan merah segar yang sangat kental dan tangannya menggenggam kertas putih. Kertas itu terciprat cairan merah yang keluar dari tubuh gadis itu. Tangan mungilnya menggelepar sesaat sebelum sepenuhnya berhenti. Semua orang mengerumuni jalan, semua pengendara mobil keluar untuk melihat apa yang terjadi. Gadis dengan wajah sendu itu diam tak berdaya di jalan.

END