Tersesat dalam senyuman sehangat fajar, saat angin masih berteguran mencatat embusan napasmu. Siluet dari wajahmu menandakan indahnya ciptaan Tuhan, berbalut dengan gradasi warna yang sempurna antara biru dan jingga. Sesekali aku melihat ke arah puncak, dan sesekali aku melihat ke arahmu. "Lelah?" tanyaku. "Apa tidak ada pertanyaan lain? sudah jelas lelah," jawabmu. "Tapi tidak akan pernah lelah selama kau ada bersamaku untuk membantu menggapai puncak itu," lanjutmu sambil membisikan ke telinga, lalu mencium pipiku.
***
"Tidak usah mendengarkan apa perkataan orang lain kepadamu. Sinarmu takkan redup begitu saja hanya karena perkataan orang yang bahkan sama sekali tidak memiliki sinar sedikitpun," ucapku. Kau hanya terdiam, bahkan sepertinya sangat berat untuk menegakkan kepala. Air matamu yang perlahan mengering, menyisakan sorot mata yang memerah. "Dunia memang sebuah panggung sandiwara, apalagi dalam dunia maya. Semua orang bisa dengan seenaknya mengetikkan jarinya tanpa menggunakan pikiran dan perasaannya," lanjutku. "Terima kasih," ucapmu dan mulai kembali membuat senyum di wajah manismu. Di sudut kota ini, senja kembali menampakkan jingganya setelah tertutup oleh sang mega.
***
Hujan mulai sedikit mereda, tapi angkutan umum tak kunjung tiba. Di halte bus hanya ada kita berdua dan seorang bapak yang entah menunggu angkutan umum atau menunggu dijemput oleh keluarganya. "Mungkin cara terbaik untuk bisa sembuh dari patah hati adalah dengan mematahkan hati orang lain," ucapmu. Aku sempat terkaget mendengar opinimu. "Jadi, kamu berniat mematahkan hatiku?" tanyaku. "Haha, bukan begitu. Tapi, tunggu sebentar. Jadi selama ini kamu punya hati?" kau membalas dan disusul dengan tawa. Perjalanan kemarin membuat kita semakin dekat. Untuk saat ini, kita hanya dipisahkan oleh angkutan umum yang berbeda tujuan. Kau kembali pulang ke rumahmu, aku pun sama, kembali ke rumahku.
***
Langit saat senja terlihat sangat indah, kota ini terwarnai oleh cahaya matahari tenggelam. Sebuah alasan kenapa air matamu menetes, aku mengetahuinya meskipun tidak usah diungkapkan dengan kata-kata. Saat kita tak bisa bertemu dan juga jarak yang terasa menyakitkan, namun pada akhirnya kita bisa bertemu kembali. Sepertinya kau tahu betul setiap jengkal ruang dihatiku, yang menyimpan semua rasa, menyimpan semua keluh, menyimpan semua lelah, dan pastinya menyimpan indah namamu. Jadi tidak usah aku menceritakan semuanya. Memang seperti ini kalau kita bertemu, tak banyak bicara hanya saling memandang dalam-dalam. "Bagaimana kabarmu?" kau membuka obrolan. "Seperti yang terlihat, sangat baik," sahutku. Lalu hening kembali.
***
"Negeri ini sangat indah di kala malam, bahkan terlalu indah untuk direkam oleh sebuah kamera tercanggih sekalipun. Hanya mata manusia sebagai perekam terbaik dan otak sebagai memori untuk menyimpan semua keindahan di malam ini. seandainya ada kau di sini menemani setiap rotasi detik waktu, menemani dalam hening yang sedari tadi mendera, menghangatkan dari gigil yang mendekap. Hanya ucapan 'semangat' yang kau kirim melalui pesan singkat saat masih ada sinyal tadi, yang bisa membuatku kuat menahan dingin. Malam ini, kau kalah telak oleh indahnya negeri ini." Aku menutup buku catatan yang ku bawa, dan merapikan kamera. Kemudian kembali ke dalam tenda.
***
"Tidak ada yang memaksaku untuk bernapas dalam udaramu, semuanya terjadi begitu saja. Untuk saat ini kau tidak perlu berlari menjauh, itu hanya akan membuatmu lelah. Bertahanlah sebentar lagi dan genggam erat tanganku. Kalau soal ibuku, biarkan aku yang akan meyakinkannya," ucapku. "Kita berdua akan memungkinkan sebuah ketidakmungkinan. Bukankah negeri ini pun disatukan oleh berbagai macam suku dan budaya?" lanjutku. Matahari mulai meninggi di sini, negeri di atas awan. Genggaman tanganmu semakin erat. Kita melebur diantara banyaknya pendaki yang sedang menikmati megahnya alam di negeri ini.
***
Di sebuah tempat yang sangat jauh dari pandangan, sangat jauh dari kata "gemerlap", tempat dimana harapan akan selalu ada. "Dunia adalah Kanvasmu, sekarang jadilah kuasnya. Lalu lukiskan mimpi-mimpimu diatasnya," ucapmu. "Bagaimana dengan mimpi kita? Apakah kau tidak akan ikut bersamaku?" tanyaku. "Aku dilahirkan dan dibesarkan di sini, sangat berat untuk pergi. Kau pulanglah, dunia terlalu luas kalau kau hanya berdiam di sini. Aku dan keluargaku akan baik-baik saja. terima kasih sudah membuat tempat ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Kalau kau ada waktu, sempatkan berkunjung. Kami semua akan menyambutmu seperti keluarga sendiri," jawabmu. Mobil angkutan yang hanya datang satu Minggu sekali ke tempat ini akhirnya benar-benar membawaku pergi menjauh. Lambaian tanganmu semakin menguatkan bahwa kita telah terpisah jarak.
***
Dalam senja yang sama saat terakhir kita bertemu, di tempat yang sama pula, masih dengan orang-orang yang sibuk dengan dunianya masing-masing. Aku berdiri menatap jauh kedepan. Gerimis sedari tadi menari-nari di atas kepalaku. Terdengar langkah kaki mendekatiku dari arah belakang, tapi tidak aku hiraukan. "Hai, apa kabar? ku harap kau baik-baik saja," ucapmu seraya memayungi tubuhku. "Apa kau tidak tahu ada alat canggih buatan manusia yang bernama payung?" lanjutmu, lalu terkekeh. Sudah hampir dua tahun aku tidak mendengar suaramu. Selama itu pula, setiap senja aku menunggumu di tempat ini.
***
Beberapa musim setelah kita berpisah, aku memberanikan diri untuk menghubungimu. "Apa yang sekarang kau rasakan saat memutuskan untuk mengambil langkah yang berbeda denganku?" tanyaku dalam sebuah pesan singkat. "Hancur berkeping-keping," jawabmu setelah satu Minggu pesan dariku terkirim.
***
Embusan angin dari kedua arah, kabut yang mulai menipis, serta mimpi yang mulai memudar. Semua itu menemani perjalananku kali ini. Sebuah perjalanan yang 'tak ingin segera ku selesaikan. "Jangan takut akan kehilangan, sebab yang kita anggap hilang adalah sesuatu yang sedari dulu bukan untuk kita." ucap seorang kawan. Aku mungkin kehilangan ragamu, tapi tidak dengan cintamu.
***
"Melakukan hal yang kau inginkan dengan keinginanmu sendiri, bukankah tidak masalah bagimu ketika kau tersakiti ditengah prosesnya?" sebuah ungkapan yang sempat membuatku berpikir kembali untuk bisa melakukan sesuatu yang ku inginkan dan ku mimpikan. Apakah aku akan tersakiti atau sebaliknya, apakah aku akan berhasil atau gagal, entahlah. Ponselku berdering, ternyata pesan darimu, "semangat buat besok, jangan kalah dalam mimpi yang kau ciptakan sendiri."
***
"Ayo bangun, sudah sampai," ucapku kepadamu yang tertidur lelap di sampingku. Bus telah sampai di terminal akhir. Hiruk-pikuk sudah mulai terlihat, walaupun waktu masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Udara dingin kota ini mengantarkan kita berdua menuju titik berkumpul yang sudah direncanakan dengan kawan-kawan sebelumnya. "Untuk kehidupan yang lebih baik, banyak orang yang berpura-pura untuk baik-baik saja. Kita bisa melihat orang dalam hiruk-pikuk tadi seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan mereka. Tapi mungkin sebenarnya mereka memikul beban yang berat. Semua itu demi kehidupan yang lebih baik," ucapku. "Hmmm.. iya aku mengerti. Sudah 'kan berceritanya? tolong bawa tas aku," balasmu dan tertawa kecil. Matamu yang masih sembap, tapi tidak memudarkan senyummu.
***