webnovel

Julukan

Makan malam sudah siap, mereka segera memulai acara makan malam bersama.

Mereka tampak fokus menikmati makanan masing-masing, sampai Safira memulai percakapan.

"Kak Theo."

"Kenapa?"

"Bisa tidak, sehari saja Kak Reina tidur denganku?" Pinta Safira.

"Tidak," jawab Theo.

"Kenapa?"

"Sayang, Reina kan sudah mempunyai suami, jadi Reina harus tidur dengan Kakakmu," jelas Adya.

"Sehari saja Mommy."

"Safira," ucap Adya.

"Kak Reina mau kan?"

"Jika Kakak kamu tidak mengijinkan, maka Kakak tidak bisa."

"Ayolah Kak Theo, emm, please." Safira mulai mengeluarkan jurus memohon.

"Gak bisa Safira."

"Kak Theo gak asik." Safira cemberut.

"Aku itu pengen tidur di peluk sama Kak Reina." Lanjut ucapan Safira.

"Apa bedanya di peluk sama guling?" tanya Theo.

"Bedalah, kalau sama Kak Reina, tidur aku bakal lebih nyaman," jawab Safira.

"Kakak kamu gak mau istrinya malah memeluk adiknya, nanti Kakak kamu kesepian gak ada yang peluk." Ucapan Adya mampu membuat Theo tersedak.

"Uhuk, uhuk." Theo terbatuk-batuk.

"Minum." Reina menyodorkan air ke arah Theo.

Theo langsung meminumnya hingga habis.

"Biasa aja kali, gak usah sampai batuk gitu," ledek Safira.

"Aku sudah selesai." Theo lebih dulu pergi dari meja makan.

"Kak Theo berlebihan banget, kaya yang gak pernah di peluk sama Kak Reina aja." Reina hanya tersenyum mendengar ucapan Safira. Karena memang itu kenyataannya, dan lagi Reina tidak mau jika harus berdekatan intim dengan Theo, Reina takut dia terjebak dan semakin tersakiti.

Selesai makan, Reina menyusul kepergian Theo. Reina tidak ingin pergi ke kamarnya, namun jika tidak ke sana, Reina harus pergi kemana. Dengan berat hati, Reina membuka pintu kamar, lalu masuk ke dalam. Theo sedang duduk di sofa sambil meneruskan pekerjaannya yang harus segera selesai.

Theo tau dengan keberadaan Reina, namun Theo memilih acuh dan lebih fokus dengan pekerjaannya.

Reina segera membersihkan diri, selesai membersihkan diri, Reina bingung harus kemana, haruskah dia duduk bersama dengan Theo atau keluar.

"Kamu tidur saja di ranjang." Ucap Theo sambil fokus dengan pekerjaannya.

"Kamu mengerti?" Theo menatap Reina sekilas.

Reina masih diam dan Theo pun menjelaskan, "Aku harus bergadang malam ini, jadi kamu bisa memakai ranjangnya, tapi hanya untuk malam ini saja."

"Iya." Reina duduk di atas ranjang lalu segera berbaring untuk tidur.

Beberapa menit berlalu, Reina belum bisa tidur, saat melirik ke arah Theo, Theo masih tetap dengan posisinya.

"Kenapa?" Theo selalu tau gerak gerik Reina, padahal jarak mereka jauh. Reina berpikir, apakah Theo punya penglihatan super, atau mungkin Theo mempunyai sebuah kekuatan.

Reina terduduk di atas ranjang sambil memperhatikan Theo.

"Kak Theo."

"Emm."

"Apa kamu tidak akan tidur?"

"Tidak."

"Mau aku buatkan teh?" Theo menatap Reina sebentar.

"Emm."

Reina segera turun kebawah untuk membuat dua cangkir teh. Lalu tak lama Reina kembali ke kamar lalu meletakkan satu gelas untuknya di meja nakas, dan satu gelas lagi untuk Theo di meja depan sofa.

Reina duduk di ranjang dengan selimut yang menyelimuti setengah badannya, perlahan-lahan Reina meminum teh panas miliknya. Begitu selesai menghabiskan tehnya, Reina mencoba untuk tidur kembali, saat Reina mulai terpejam, suara Theo mengganggunya.

"Aish! panas sekali." Theo meminum teh panasnya sambil fokus dengan pekerjaan.

"Kak Theo, apa kamu baik-baik saja?" tanya Reina melihat tingkah Theo.

"Apa aku harus menjawab pertanyaan bodoh mu itu? jelas-jelas kamu tau aku tidak baik-baik saja." Marah Theo.

Reina turun dari ranjang lalu memberikan Theo air putih.

"Minum air putihnya." Theo meminum air pemberian Reina.

"Sudah tidak panas kan?"

"Ini tidak mempan." Theo mengibas-ngibas tangannya ke arah bibir.

"Itu juga tidak akan mempan," ucap Reina.

"Biarkan saja, nanti juga tidak akan sakit." Reina kembali berbaring untuk tidur.

"Kamu dengan santainya ingin tidur, sedangkan suamimu kepanasan?"

"Lalu mau gimana lagi?" Reina terduduk sambil menatap Theo yang berada di arah depannya.

"Kamu yang membuat teh nya, jadi kamu yang harus bertanggung jawab."

"Makannya kalau minum itu dilihat dulu, jangan asal minum." Kesal Reina, kenapa Theo malah menyalahkannya.

"Beraninya kamu malah mengomeli suamimu."

"Aku hanya memberi tau bukan mengomel."

"Sudah berani melawan huh?" Nada bicara Theo mulai berubah.

"Tidak." Reina tidak ingin bertengkar untuk sekarang, lebih baik mengalah, agar Reina bisa cepat tidur.

Reina menutupi tubuhnya dengan selimut dan detik berikutnya, Reina pun tertidur pulas.

.

.

.

Cahaya mentari mulai mengusik tidurnya, Reina terbangun lalu melenturkan tubuhnya, akhirnya Reina bisa tidur dengan nyaman malam ini.

Reina menatap sekeliling, tidak ada Theo di sini, lalu suara pintu kamar mandi terbuka. Theo keluar dengan hanya memakai handuk di pinggangnya, melihat penampilan Theo yang setengah telanjang, Reina langsung menutup matanya.

"Ngapain kamu?" tanya Theo.

Reina menggeleng dan masih menutup matanya rapat, lalu tak lama kini suara pintu kamar terdengar. Reina pun berani membuka mata, Theo sudah keluar dari kamar, Reina bernapas lega lalu segera bangkit dan membersihkan diri.

Selesai membersihkan diri, Reina keluar lalu berjalan ke lantai bawah, mertuanya sedang sibuk di dapur. Melihat Adya sedang sibuk, Reina pun berinisiatif untuk membantu Adya.

Kini keseharian Reina hanya akan membantu mertuanya memasak, sarapan pagi dan makan siang bersama, lalu nanti Reina akan memasak makan malam jika Adya tengah sibuk atau ada kesibukan lain. Selain itu hubungan Reina dengan Adya juga Safira begitu dekat, mereka sering berbincang dan bercanda bersama. Itu membuat Reina merasakan kenyamanan di mansion Nicholas, meskipun kadang Reina sedih dan kesal kepada Theo.

Untung saja Adya dan Safira selalu menjadi mood booster bagi Reina, jadi Reina tidak begitu memikirkan masalahnya dengan Theo. Mau Theo berbuat apapun atau bersikap kasar, itu tidak lagi menjadi halangan, mungkin Reina kini terbiasa, tapi tetap saja Reina akan merasakan kesal, marah, sedih. Itu hal wajar kan, setiap manusia pasti memiliki perasaan yang berbeda, beda hal nya dengan Theo yang Reina ibaratkan seperti monster.

Kenapa monster, karena Theo hanya bisa marah-marah, membentak dan bersikap kasar. Bukan kah itu sama seperti sifat dan sikap monster yang sering Reina tonton di film. Jadi Reina pikir kata monster sangat cocok di gunakan oleh Theo, sangat cocok sekali.

Tanpa sadar, Reina tersenyum sambil membantu Adya mengupas bawang.

"Sayang, kenapa kamu tersenyum?" tanya Adya.

"Tidak apa Mommy," jawab Reina.

"Biasanya orang-orang akan menangis jika sedang mengupas bawang, tapi menantunya Mommy kok beda." Adya tersenyum sambil mencubit pipi menantunya pelan karena gemas.

Reina tersenyum mendengar ucapan Adya, karena tidak mungkin Reina bilang jika dia tersenyum karena menemukan julukan yang pas untuk Theo.