webnovel

BAB 11

"Lexa, apa kau ada acara sepulang sekolah?" tanya Lily

Mereka sedang duduk di kantin dengan makan siang yang sudah disediakan oleh sekolah. Sementara Lily makan, Kay membaca buku novel yang dipinjamnya dari perpustakaan sambil menyesap kopi kalengan. Pagi ini dia bangun terlambat. Dia tidak sempat membuat secangkir kopi sedangkan bu Rina atau Marni tidak membuatkannya kopi dan malah membuatkannya segelas susu. Kay benci minum susu. Itu sebabnya dia hanya meminumnya sedikit hanya untuk membuat bu Rina tidak menatapnya dengan tatapan aneh sepanjang sarapan.

"Tidak ada. Kenapa?" tanya Kay yang tidak mengalihkan pandangannya dari novel.

"Aku ingin membeli baju baru untuk makan malam lusa."

"Hmm...oke. Jika boleh tahu, makan malam dalam rangka apa?"

"Ulang tahunku."

Kay menjatuhkan novelnya dan menatap Lily dengan ungkapan terkejut.

"Benarkah? Seharusnya kau bilang, aku akan menyiapkan hadiah untukmu." Ujar Kay.

Lily tertawa pelan sambil menggelengkan kepalanya.

"Tidak masalah, kamu bahkan tidak ingat ulang tahunmu sendiri, bukan?" tanya Lily yang menyeringai.

Kay meringis sambil menganggukkan kepalanya. Lily tertawa sekali lagi dan meyakinkan Kay bahwa tidak apa-apa. Mereka mengobrol sepanjang makan siang hingga waktunya kembali ke kelas. Pembicaraan terhenti ketika Lily melihat ke depan dengan wajah datar. Kay melihat ke mana arah pandangan Lily yang ternyata ke arah seorang gadis yang dilihatnya bersama Miller. Gadis itu memelankan langkah kakinya ketika melihat Lily dan Kay. Dia membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu tetapi Lily menarik tangan Kay dan berjalan melewati gadis itu. Kay menatap bingung pada sikap Lily yang menabrak bahu gadis itu cukup keras. Kay menoleh ke arah gadis yang masih berdiri terpaku dengan pandangan ke lantai sambil terisak. Keduanya tidak berbicara dan Kay membiarkan Lily menariknya ke kelas. Begitu mereka masuk ke dalam kelas, Lily sepertinya berpura-pura tidak ada yang terjadi dengan mengajak Kay berbicara sekali lagi.

"Aku penasaran apa yang kau baca, Lexa? Kamu bahkan tidak makan siang dan sibuk membaca." ucap Lily meraih novel di tangan Kay dengan tatapan bingung.

Kay memberikan novel yang dipegangnya pada Lily. Lily tampak terkejut melihat buku yang dilihatnya lalu mengerutkan kening. Ia membuka beberapa halaman sebelum mengembalikannya pada Kay.

"Ini novel yang bagus, kamu harus membacanya." Ucap Kay sambil memasukkan novel ke dalam tasnya.

"Tapi novel itu berbahasa jepang, aku tidak tahu kau bisa bahasa Jepang." Ujar Lily dengan tatapan heran.

Kay berkedip dan mengangkat bahu. Dia bahkan tidak tahu apa kemampuan yang dimiliki Alexa. Kay sendiri menguasai empat bahasa, yaitu bahasa Inggris, Mandarin, Jepang, dan Jerman. Bukan karena Kay pintar, tapi bahasa adalah satu hal yang menarik baginya jadi dia suka mempelajarinya.

"Jadi siapa gadis tadi? Dia yang duduk di samping Miller di kelas seni, bukan?" tanya Kay.

Sebenarnya dia tidak peduli sama sekali tetapi dia hanya mengalihkan pembicaraan setelah melihat kebingungan dan keheranan di wajah Lily. Dan itu bekerja ketika raut wajah Lily berubah kesal. Lily bersandar pada kursi dan menatap meja.

"Itu Naura." Jawabnya singkat.

"Naura? Teman yang kau ceritakan itu?"

Lily menganggukkan kepalanya. Kay ingat Lily mengatakan bahwa Naura adalah teman yang berkhianat karena memacari Miller tanpa sepengetahuan mereka meski dia tahu bahwa Alexa menyukai Miller. Kay bisa mengerti tapi dia pikir itu terlalu berlebihan. Mungkin karena dia terlalu tua untuk drama percintaan. Baginya jika dia kehilangan orang dicintai karena direbut temanmu, maka lupakan dan mencari pengganti yang lebih baik. Hidup akan terasa sangat rumit jika hanya berfokus pada drama percintaan dan dia tidak tertarik untuk menambah beban kehidupannya.

Pembicaraan mereka berhenti ketika mendengar bel masuk berdering. Kay melirik sekali lagi ke arah Lily yang sepertinya melupakan tentang novel tadi. Dia menghembuskan nafas lega. Sulit baginya berperan menjadi orang lain. Aku tidak akan pernah menjadi aktris meski aku mencoba dengan keras, batin Kay.

Seperti yang direncanakan, keduanya pergi ke pusat belanja yang diinginkan Lily dengan menggunakan mobil Alexa. Keduanya memasuki beberapa toko pakaian dan keluar dengan tangan kosong karena Lily rupanya orang yang pemilih. Kay menghela nafas lelah setelah memasuki toko pakaian untuk ketujuh kalinya. Dia duduk di sofa tanpa lengan yang disediakan oleh toko. Kay melihat Lily yang mengitari rak yang menggantungkan banyak gaun dengan model yang berbeda. Setelah beberapa menit, Lily menunjukkan gaun satin selutut dengan lengan brukat transparan. Lily masuk ke dalam ruang ganti untuk mencobanya lalu keluar untuk memamerkannya pada Kay. Kay menatap penampilan Lily yang tampak anggun dengan gaun itu dan mengacungkan kedua jempolnya untuk menunjukkan persetujuannya. Syukurlah toko itu juga menjual sepatu dan Lily mengambil gaun serta sepatu itu. Kay menyukai fashion tetapi dia bukan tipe gadis yang rela menghabiskan waktu dengan berkeliling pusat perbelanjaan.

Keduanya kini sedang duduk di kafe menunggu pesanan mereka. Kay mendengarkan Lily yang membicarakan rencana ulang tahunnya. Pada saat itu Kay sudah memutuskan hadiah apa yang ingin diberikannya pada Lily tetapi dia harus meminta Lily untuk tidak ikut dengannya. Hanya saja Kay khawatir untuk meninggalkan Lily sendirian. Tiba-tiba matanya menangkap sosok yang familiar.

"Lil, tunggu di sini sebentar." Ujar Kay yang sudah berdiri dari kursi.

Lily menganggukkan kepalanya yang sibuk mengunyah steak. Kay berjalan mendekati meja yang berada di pojok kafe. Meja itu ditempati oleh tiga orang yang dikenalnya.

"Hai, kalian." Sapa Kay santai.

Ketiga orang itu terkejut melihat ke arah Kay. Mereka adalah Satria, Miller, dan Naura. Satria tampak bosan sebelum Kay menghampirinya. Tentu saja, dia hanya sibuk mengaduk-aduk minuman sementara dua pasangan remaja di depannya sibuk dengan dunia mereka sendiri. Kay duduk di samping Satria dan tidak memedulikan kedua pasangan remaja itu.

"Satria, bisakah aku meminta tolong padamu?" tanya Kay dengan manis.

"Ehm...iya. Apa itu?" tanya Satria agak ragu sambil melirik ke arah Miller dan Naura yang hanya diam.

"Aku ingin membeli sesuatu untuk Lily tapi aku tidak ingin meninggalkannya sendirian. Jadi bisakah kau menemaninya sebentar? Dia duduk di sana." Ucap Kay sambil menunjuk ke tempat Lily berada.

Mata Satria mengikuti tempat yang ditunjuk Kay lalu dia mulai tersenyum cerah. Kay mengangkat alis pada reaksi Satria dan menunggu jawaban Satria.

"Oh tentu saja." Jawab Satria, yang terlalu bersemangat.

"Hei, apa kamu melupakan kami?" tanya Miller pada Satria.

"Kamu sedang bersama Naura. Aku bosan menjadi roda ketiga jadi aku akan pergi dengan Alexa dan Lily saja." Ucap Satria yang sudah berdiri dari kursinya sambil membawa segelas jus.

"Apa tidak apa-apa jika kami berdua bergabung?" tanya Naura pelan.

Miller dan Satria beralih menatap Kay menunggu jawaban. Kay hanya mengangkat bahu.

"Terserah kalian." Ujarnya.

Mereka berempat kini berjalan ke arah Lily yang sibuk memainkan ponselnya. Begitu keempat orang itu duduk, Lily menoleh dan memasang wajah cemberut setelah melihat Naura dan Miller.

"Lil, aku akan pergi sebentar. Mereka akan menemanimu, kabari aku jika kalian pergi dari kafe, oke?" ujar Kay yang berjalan pergi tanpa menunggu persetujuan Lily.

Kay keluar dari kafe dan berjalan ke toko perhiasan yang ia lihat tadi. Ia memasuki toko dan menghampiri meja display perhiasan. Pegawai wanita menghampirinya dan menunjukkan beberapa perhiasan. Kay meminta karyawan untuk menunjukkan liontin yang berbentuk bunga lili. Ketika pegawai wanita itu mengeluarkan koleksi milik mereka, Kay memilih sebuah liontin berantai perak dengan bandul bentuk bunga lily yang memiliki serpihan berlian di setiap kelopaknya. Kay membayar setelah liontin itu terbungkus dalam bungkusan kado yang cantik. Dia tidak pernah memiliki sahabat wanita, hanya Daniel yang sangat dekat dengannya. Jadi Kay berharap Lily menyukai kadonya, meski dia tahu Lily akan berpikir itu dari Alexa.

Kay berjalan ke pusat bermain setelah Lily mengirimkannya pesan. Dia memasuki tempat bermain yang tampak ramai dan mengedarkan pandangannya. Kay hendak menghampiri Lily yang sedang bermain dengan Satria ketika tiba-tiba sudut matanya menangkap seseorang pria yang mencurigakan. Dia berjalan perlahan ke arah Lily sambil melihat apakah pria itu mengikutinya dan firasatnya benar. Dia diikuti. Kay berpura-pura tidak melihatnya dan menepuk bahu Lily sambil tersenyum.

"Alexa, kamu dari mana saja?" tanya Lily.

Kay menyerahkan tas yang berisi hadiah, "Ini kado ulang tahunmu."

Lily terkejut lalu tersenyum cerah sambil mengambil tas dari tangan Kay. Dia mengintip di dalam tas lalu menoleh ke arah Kay.

"Terima kasih." Ucapnya dengan berkaca-kaca.

"Hei, jangan menangis. Buka pada hari ulang tahunmu, oke?" perintah Kay dengan main-main.

Lily menganggukkan kepalanya dengan semangat lalu memeluk Kay, yang terakhir cukup terkejut dengan tindakan Lily namun membalas sambil menepuk punggungnya dengan pelan. Kay melirik ke arah Satria yang berdiri di samping Lily dengan senyuman lembut menatap Lily. Wah, ada seseorang yang naksir di sini, batin Kay.

Lily melepaskan pelukannya dan menarik Kay untuk ikut bermain. Kay melihat Miller dan Naura yang tak jauh dari mereka. Naura tampak sedih yang diperhatikan oleh Miller dan Kay. Kay tidak tahu harus berbuat apa karena apa pun masalah Alexa, dia tidak akan ikut campur terlalu dalam agar Alexa tidak bingung ketika dia kembali. Kelimanya menghabiskan waktu hingga waktu menunjukkan pukul 16.00. Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang tetapi Lily meminta untuk ke toilet. Jadi keempatnya duduk di sebuah kursi sambil menunggu Lily.

"Kamu menyukai Lily?" tanya Kay tanpa basa-basi pada Satria yang terkejut.

"B-bagaimana kamu tahu?" tanya Satria.

Kay tertawa pelan lalu menoleh ke arah Satria yang duduk di sisi kirinya.

"Kamu menunjukkannya terlalu jelas." Ucap Kay yang tertawa pelan sekali lagi, begitu juga Satria yang ikut tertawa.

"Aku hanya berharap kamu bisa menjaga perasaannya. Jangan bersikap buruk jika dia tidak membalas perasaanmu." Ucap Kay sambil menatap Satria yang tersenyum lembut padanya dan mengangguk.

Kay menangkap Miller yang menatapnya tetapi Kay mengalihkan pandangannya ke arah lain. Begitu dia melakukan itu, Kay melihat pria yang sama berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Pria itu memakai setelan jeans dengan topi hitam dan masker menutup sebagian wajahnya. Kay menatap pria itu cukup lama hingga dia memutuskan apa yang harus dilakukannya. Kay mengambil ponsel di saku bajunya dan melakukan panggilan.

"Apa kau di rumah sakit?" tanya Kay santai sambil bersandar pada kursi.

"Iya, kenapa?" ucap Daniel di seberang telepon.

"Aku akan ke sana tapi bisakah kau membawakan gelangku?" tanya Kay.

Daniel terdiam sebentar sebelum menjawab, "Aku memilikinya di sini."

"Oke." Ucap Kay sebelum menutup teleponnya.

"Ini. Kebetulan aku menyimpannya." Ujar Daniel yang menyerahkan sebuah gelang pada Kay.

Kay duduk di sofa kamar inap. Ia pergi ke rumah sakit setelah memberikan alasan untuk bertemu dokter pada Erik dan Lily, yang untungnya keduanya percaya dengan alasannya. Kay mengambil gelang yang diberikan Daniel. Gelang berwarna perak itu hampir menyerupai sisik ular dengan lebar lima sentimeter.

"Kenapa kamu membutuhkannya?" tanya Daniel dengan tatapan heran.

"Tidak ada alasan, hanya untuk berjaga-jaga. Bagaimana juga, aku adalah gadis muda yang cantik, akan susah untuk lelaki nakal untuk tidak menggodaku." Ujar Kay sambil tersenyum manis dan mengedipkan matanya dengan genit.

Daniel menatap jijik pada sahabatnya, yang hanya membuat Kay tertawa. Dia tahu Daniel membenci jika Kay berperilaku sok genit dan manis.

"Jadi, bagaimana kehidupan remaja?" tanya Daniel dengan nada mengejek sambil menyeringai.

Kay meliriknya tajam, yang dibalas tawa oleh Daniel.

"Ini menyebalkan. Aku tidak tahu kehidupan remaja begitu melelahkan dengan drama cinta masa muda dan sebagainya." Terang Kay sambil menyandarkan kepalanya ke sofa.

"Kamu mengatakan hal seperti itu seolah-olah kamu tidak pernah remaja."

"Kehidupan remajaku membosankan. Belajar, mencari uang, dan belajar."

"Wah, aku tidak tahu kau anak teladan." Ucap Daniel yang tampak terkejut.

"Tidak juga, aku mendapatkan nilai jelek pada tahun pertama di SMA dan nenekku menghukumku dengan cara yang paling luar biasa, yaitu membersihkan kandang dan memandikan sapi-sapi kesayangannya. Sejak itu aku belajar lebih keras, nenekku sangat menakutkan jika dia mau." Kay menggigil mengenang masa mudanya dulu.

Daniel terdiam sebelum tertawa lebih keras. Kay menatap Daniel dengan tatapan bosan sebelum bangkit dari sofa. Dia berpamitan pada Daniel yang memutuskan untuk menginap lagi. Langkahnya terhenti ketika dia melihat ke arah tubuh sejatinya. Kay berjalan menghampiri ranjang rumah sakit dan menatap lekat pada wajahnya.

"Ada apa?" tanya Daniel yang berbaring di atas sofa.

"Tidak ada." Ucap Kay sebelum berjalan keluar dari ruangan.

Kay berbohong. Dia melihat keadaan tubuhnya yang tampak berbeda. Wajah pada tubuh sejatinya tampak memucat, begitu pula kulitnya. Kay tidak bisa menjelaskannya tapi dia melihat sebuah cahaya di sekitar tubuhnya mulai meredup. Dia memiliki perasaan buruk tentang ini dan sayangnya intuisinya selalu benar.