webnovel

Mission: Day 5 (3)

Lagu-lagu boyband yang ia beli albumnya di festival itu mengalun indah, menemaniku yang sibuk membaca novelnya.

Aku tidak tau apakah Rick sudah terlelap atau belum. Dan aku juga tidak berniat untuk menyelinap ke kamarnya hanya untuk tahu apakah ia sudah terlelap atau belum.

Aku berjalan ke balkon.

Angin memberantakkan rambuku dan mengibarkan gaun tidur ungu yang kupakai itu. Aku dapat melihat penjara-penjara yang ada jauh di bawah sana.

"Penjara para roh," gumamku. "Ladang Abadi. Ada apa, ya, di sana?"

"Belum tidur?" Suara itu membuatku segera mendongak.

Ayah. Mengambang 1 meter di depanku, rambut hitamnya berkibar. Jubah hitam panjangnya melambai-lambai dan ia mencengkram sabit hitam besar dengan permata ungu. Rantai-rantai legam melilitnya.

"Apakah ayah selalu berpenampilan seperti itu?" tanyaku.

"Jika acara formal saja," kekeh ayah. "Yah, kalo saat seperti ini..."

Sosoknya berubah menjadi seorang lelaki biasa dengan celana training hitam dan kaus hitam.

Ia melompat masuk dan mengelus rambutku.

Ah, aku merindukan kasih sayang yang bahkan tidak pernah kudapatkan selama hidupku.

"Ayah, aku tidak mengantuk," gumamku. "Apa aku boleh berkeliling?"

"Ya, tapi hanya sekedar di kastil," Ayah hanya mengangguk.

"Kenapa?" protesku.

"Aku ingin mengajakmu jalan-jalan, Sayang," ujar ayah. "Keliling Last Place of Soul. Tapi, tidak di saat seperti ini."

Aku mengangguk mengerti.

"Ayah akan kembali ke ruang kerja," ujar Ayah. "Jika ada apa-apa, panggil saja."

Aku mengangguk.

Ayah berjalan pergi dan aku bergegas menyusuri lorong tanpa tujuan. Lorong itu tetap dilewati beberapa pelayan vampir yang sedang membawa handuk, selimut, dll.

Mereka selalu membungkuk ketika melewati aku.

Aku berjalan masuk ke sebuah ruangan berpintu kayu ganda. Gagang logamnya terama begitu dingin.

Ketika aku membukanya, chandelier segera menyala.

Itu perpustakaan!

Ada 3 lantai yang dihubungkan dengan tangga melingkar. Lantainya berkarpet ungu legam, rak-raknya menjulang hingga menyentuh atap ruangan, penuh buku. Ada patung necromancer dengan meja di depannya. Ada penyetel musik, sofa panjang hitam dengan meja kaca panjang. Lalu, ada sofa membaca ungu.

"Ini baru tempat yang kusuka," kekehku. "Apa setiap lantai berbeda?"

"Ya," Suara bariton itu membuatku menoleh.

Lelaki berambut abu-abu berantakan, berkulit pucat, bermata abu-abu, dengan luka di wajah membuatnya lebih tegas.

"Undertaker," Ia tersenyum. "Salah satu dari pasukan grim reaper yang ditugaskan oleh Master di perpustakaan."

"Aku-" Ucapanku terpotong.

"Azalea Pandora," jawabnya. "Half-blood, anak dari Master. Kemari karena misi."

"Ya," Aku mengangguk.

"Lantai pertama adalah buku-buku non fiksi," jelas Undertaker. "Buku kedua adalah buku fiksi dan lantai paling atas adalah buku-buku sejarah."

"Ruangan apa itu?" tanyaku.

"Kamu akan masuk ketika saatnya tiba," jelas Undertaker. "Itu adalah atlar pertemuan."

"Aku akan masuk?" tanyaku.

Undertaker mengangguk. Ia pamit dan pergi karena dipanggil ayah.

Aku di sana sehingga citra penghubung muncul.

Isla dan Avery masih di rumah itu.

"Ada apa?" Aku tidak mengangkat pandangan.

"Whoa! Dimana kamu, Azalea?" tanya Isla.

Aku meletakkan buku. Kini, aku duduk di ayunan kecil yang cantik, terayun sendiri oleh sihir.

"Di perpustakaan Eternal Castle," jawabku. "Ada apa?"

"Kami bosan," keluh Isla.

"Oh, ya? Ajak bermain saudari tiriku saja," Aku memutar bola mata.

"Kapan kalian balik?" tanya Avery.

"Jika sudah saatnya," Aku menyeringai ketika melihat wajah Avery yang semakin muram.

Seorang vampir perempuan mendatangiku dengan tea set yang kutau berharga selangit di dunia atas.

"Nona, anda mau susu?" tanyanya sopan.

"Ya," Aku mengangguk. "Tolong tambahkan 1 sendok kecil madu."

Vampir itu mengangguk dan menyiapkan susu sesuai permintaanku.

"Apakah anda mau camilan?" Ia terus saja menunduk.

"Aku mau kue kacang," jawabku. "Apakah tidak apa?"

"Akan saya bawakan," Ia membungkuk dan keluar.

"Whoa! Kamu dihormati sekali," kekeh Isla.

"Tch! Pura-pura jadi putri, ya?" ledek Bella. "Kamu itu lebih cocok menjadi pecundang!"

Pintu membuka. Ayah masuk dan mengangkat alis ketika melihat citra penghubung.

"Boleh aku bergabung, Sayang?" tanya ayah lembut. "Sepertinya kamu mendapat hubungan dari teman-temanmu."

Aku bergeser sehingga ayah dapat duduk.

Isla dan Avery bergegas membungkuk. Sedangkan, 'keluarga'-ku terbengong melihat ayah.

"Kapan matahari terbit, Yah?" Aku menoleh.

"Beberapa jam lagi, Sayang," Ayah membelai rambutku. "Tenang saja. Ayah sudah punya jawaban dan akan ayah beritau nanti ketika sarapan."

"Kenapa tidak sekarang?" tanyaku.

"Anak Spite?" Ayah mengangkat alis.

Aku menghela nafas. Ayah mengambil buku yang tadi aku baca dan tersenyum ketika ia membaca judulnya.

"Senandung Lautan, ya?" kekehnya.

"Ayah baca juga?" Aku mulai antusias.

"Tentu," Ayah mengangguk.

Pelayan tadi masuk. Terkejut dan bergegas membungkuk sedalam-dalamnya kepada kami. Ia memberikanku toples berisi kue kacang.

"Bagaimana kacang bisa tumbuh?" tanyaku.

"Ada vampir berelemen alam," jelas ayah. "Apa kabarmu Tulipia, Chad, Bella?"

"Baik tanpamu!" seru Chad.

"Kamu masih berani seperti dulu, ya, Chad," ujar ayah santai.

"Jika ia datang kemari dan bilang seperti itu, aku yakin dia habis dalam sekejam," gumamku.

"Jaga ucapanku, Sayang," Ayah mengedip.

"Ayah juga berpikiran sama, kan?" gerutuku.

"Jangan marah, Sayang," bujuk ayah.

Aku tertawa dan memeluk ayah.

Ah... aku tidak pernah bisa marah kepada ayahku ini. Dia benar-benar ayah yang sempurna.

Avery melongo.

"Kenapa, Avery?" tanyaku.

"Tidak... hanya..." Avery tergagap hingga ia dicium di pipi oleh Bella.

"Dia memikirkanku," kekeh Bella.

"Wow!" tawaku.

Avery hanya melototi Bella yang ketakutan.

Ah, ini luar biasa...