webnovel

9. Lusi merasa iba

Gultom mendengar semua percakapan Moses dan Bagas.

"Wah, berarti Tuan Moses, benar-benar tergila-gila dengan kecantikan Nona Keren." Ujarnya dalam hati.

"Jangankan Tuan Moses, gue juga tertarik kali, dengan keanggunan Nona Keren. Hanya Bos Teo saja yang gue rasa matanya sudah juling sehingga tidak mengetahui kecantikan Nona Keren." Gultom saat ini menertawakan Teo.

Namun Gultom harus menelan rasa kecewanya. Karena dia yang sibuk mengkhayal tentang Keren. Menjadi lupa tujuan awalnya untuk memberitahukan kepada Moses siapakah nama gadis yang dirinya gilai itu.

"Sial! Gue kehilangan jejak Tuan Moses!" Kesalnya dalam hati.

Lalu tiba-tiba ponselnya bergetar dan ada pesan dari Keren,

Keren : "Gultom, Anda tidak perlu mengantar saya pulang ke apartemen. Saya mau bertemu dengan salah satu teman wanita saya."

Gultom :"Baik, Nona Muda."

Gultom segera memasukkan ponselnya ke dalam sakunya. Lalu mulai mencari keberadaan Moses.

Sementara Keren menerima tawaran Bimo untuk mengantarnya menuju sebuah mall untuk bertemu dengan sahabatnya, Lusi.

"Aku akan mengantarmu, kesana."

"Nggak usah Bim. Aku bisa naik taksi sendiri kok." Jawab Keren.

"Keren, please. Izinkan aku mengantarmu. Mungkin ini adalah momen terakhir bagiku berada satu mobil denganmu." Seru Bimo memelas.

"Baiklah, Bim." Dengan berat hati Keren memenuhi keinginan Bimo.

Alhasil keduanya, saat ini berada satu mobil menuju ke sebuah Mall.

Terjadi kebisuan diantara keduanya, tidak ada yang mau angkat bicara. Keduanya seakan terhanyut dengan pikiran masing-masing.

Setelah menempuh beberapa menit dalam perjalanan, akhirnya keduanya sampai di sebuah Mall ternama di daerah Jakarta Selatan.

"Keren, kita sudah sampai." Seru Bimo.

"Ah, iya. Terima kasih, Bim." Seru Keren dingin lalu bersiap-siap hendak turun dari mobil.

"Keren, tunggu." Ujarnya lagi.

"Ada apa lagi, Bim." Sahut Keren malas.

Dia berpikir semakin dirinya berlama-lama di samping Bimo. Semakin dia tidak dapat membendung sejuta rasa yang masih tercipta untuk Bimo.

"Keren, aku ..." Ujarnya tercekat.

"Bim, kumohon cukup. Jangan berbicara lagi. Please." Keren menegur Bimo. Dia sudah tidak mau mendengar apa pun lagi dari mulut pria yang dia cintai itu.

Keren pun keluar dari mobil, lalu berkata,

"Bim, aku permisi dulu. Oh ya selamat atas pernikahanmu. Semoga acaranya sukses dan berjalan dengan baik." Keren lalu melangkah menjauh dari Bimo dan masuk ke dalam Mall tersebut.

Di dalam mall, Lusi, sang sahabat sudah menunggu kedatangan Keren.

"Hei! Melamun saja." Sapa Keren.

"Ke, kamu sudah datang?"

"Iya, baru saja nih."

"Kamu bawa mobil sendiri?"

"Nggak, Lus. Aku nggak bawa mobil kesini." Jawab Keren.

"Tapi Ke, kamu bilang, suamimu memberikanmu sebuah mobil mewah, sebagai hadiah pernikahan kalian?"

"Iya, tapi aku kesini menumpang di mobilnya Bimo."

"Apa? Jadi kamu ke sini sama Bimo, Si pecundang itu? Tapi kok bisa?"

Keren pun menceritakan kenapa dirinya bisa bertemu dengan Bimo.

"Duh, Ke. Jujur aku kasihan banget dengan jalan hidupmu. Sudah ditinggalin sama pacar pecundang! Menikah sama penjahat kelamin! Kamu kok bisa tahan gitu sih, Ke? Jika aku di posisimu saat ini. Pasti aku akan stress banget menghadapinya." Cecar Lusi.

"Ya, mau bagaimana lagi, Lus. Aku harus menjalaninya. Mau aku lari sejauh apa pun. Aku pasti akan kembali. Mungkin ini adalah garis kehidupan yang harus aku jalani." Jawabnya sedih.

"Sabar ya, Ke."

"Iya, Lus. Aku pasti sabar banget kok."

"Tapi Teo nggak macam-macam sama kamu, kan?"

"Sejauh ini, tidak kok. Kan, kamu juga tahu, aku berlatih bela diri untuk pertahanan diriku." Seru Keren lagi.

Keren meletakkan undangan pernikahan dari Bimo di atas meja.

"Apa ini, Ke." Lusi langsung membuka undangan itu dan membacanya karena penasaran.

"Apa? Bimo akan menikah?" Keren mengangguk.

"Tapi, Silvi itu siapa, Ke?"

"Anak dari Bos tempat dia bekerja." Sahut Keren.

"Tapi Bimo bilang, dia sangat mencintaimu? Kok beda lagi? Kok dia mau menikahi gadis itu?"

"Bimo bilang, dia dipaksa menikahinya. Bahkan Bimo juga diancam akan dipecat jika tidak menikahi anak Bosnya itu."

"Kenapa semakin runyam saja?" Keluh Lusi.

"Ke, kamu yang sabar ya, menghadapi semuanya?" Lusi kembali menguatkan sahabatnya yang sedang menangis saat ini.

Keduanya terlihat saling berpelukan. Lusi juga ikut menangis meratapi nasib yang menimpa sahabatnya secara bertubi-tubi.

Sementara itu, Bimo kembali ke kantornya. Di dalam ruangannya sudah ada Silvi yang sedang menunggunya datang.

Bimo melihat Silvi sekilas. Lalu dia duduk di kursi kerjanya dan mulai membuka laptop yang ada di depannya. Bimo pura-pura sibuk.

"Dari mana kamu?" Tanya Silvi ketus.

"Kamu kan sudah tahu tadi aku mau kemana tadi." Jawab Bimo dingin.

Silvi sudah tidak tahan lagi. Dia pun berdiri lalu mendekati Bimo dan mencampakkan beberapa lembar foto Bimo saat bersama Keren tadi.

"Apa ini?" Hardik Silvi.

"Jadi kamu mengikutiku?" Kesal Bimo.

"Kalau iya, kenapa? Kamu ngapain menemui gadis itu lagi? Bukankah dia sudah menikah? Kamu sendiri juga yang mengatakan jika dia sudah bahagia dengan suaminya? Apakah kamu mau menjadi pebinor? Perebut bini orang?" Silvi semakin emosi.

"Jaga perkataanmu, Silvi! Jangan sampai aku membatalkan pernikahan denganmu!"

"Oh? Jadi kamu sudah siap menjadi gembel rupanya?"

"Kamu mau dipecat? Gampang kok! Aku tinggal menghubungi papa. Dalam sekejap kamu akan menjadi gembel!"

"Silakan hubungi papamu! Aku tidak takut menjadi gelandangan sekali pun!"

Mendengar perkataan Bimo itu, nyali Silvi sedikit menciut. Sebenarnya, dia hanya berpura-pura menakut-nakuti Bimo.

Sejujurnya dia sangat mencintai Bimo. Hal itu sudah terjadi bertahun-tahun lamanya.

Tentu saja, dia tidak mau kehilangan Bimo hanya karena masalah sepele ini.

"Ayo! Telpon papamu! Tunggu apa lagi? Kenapa kami diam saja? Biar aku segera membereskan barang-barangku dan pergi secepatnya dari kantor ini. Hari ini juga, aku akan kembali ke desaku dan menjadi petani di sana. Aku pastikan, kamu tidak akan bisa menemuiku lagi."

Entah dari mana Bimo mendapatkan keberanian untuk mengatakan semuanya. Padahal hatinya ketar-ketir saat ini. Dia takut Silvi akan menghubungi ayahnya. Dan habislah sudah riwayat karier Bimo yang sudah dia capai selama ini.

"Duh, bagaimana ini? Aku kan hanya mengancamnya. Aku mana berani menelpon papa. Pasti papa akan kembali mengomeliku gara-gara aku yang ngotot ingin menikah dengan Bimo." Suara hati Silvi mulai berbicara.

"Kamu tunggu apa lagi, Silvi? Ayo telpon papamu!" Ancam Bimo lagi.

"Baik! Aku akan menelpon papaku!"

Bimo segera menatap Silvi.

Sudah kepalang basah. Bimo akan menerima semua keputusan dari putri bosnya itu.

"Sepertinya, karierku cukup sampai di sini saja. Selamat tinggal Jakarta." Bimo sudah mempersiapkan dirinya, bagaimana pun juga dia sendirilah yang telah menghancurkan kariernya yang telah dia bangun dengan susah payah selama ini.