"Jadi, kurasa bukan ide bagus jika kita masuk ke kota itu?" tanya Wijaya memastikan. Dia mengintai kota yang ada di depan sana dengan mengaktifkan mode penembak runduk serta terus menekan tombol pemindai yang mendata bentuk kota itu. "Jujur saja, kota itu terlalu sepi."
Hal yang mengherankan dari kondisi kota itu adalah tingkat keramaiannya. Wijaya memang pernah melintas di bagian pinggiran dari sebuah negara dan melewati daerah daerah terpencil ataupun desa-desa yang terletak di bagian bumi yang mungkin orang tidak pernah pikirkan.
Memang lokasi macam itu biasanya sepi, tapi setidaknya Wijaya melihat tanda-tanda kehidupan. Tidak seperti di kota ini yang entah mengapa seperti ditinggalkan atau mungkin orang-orangnya memang bersembunyi.
[Bagaimana kalau Lev memeriksa dulu ke sana?]
[Tentu saja, Win, aku berjalan ke tempat yang jelas-jelas perangkap sendirian tanpa nesti.]
[Yha aku tidak bilang kau ke sana berjalan kaki.]
[Oh, tentu saja, kalau seorang gadis pirang asing masuk ke sana saja sudah cukup mencurigakan, kau pikir stielkruger besar ini tidak semakin menarik perhatian?]
Wijaya tidak mengacuhkan perseteruan Win dan Lev. Matanya masih menyusur keadaan kota itu. Bangunan-bangunannya kelihatan tua dan tidak dirawat. Walau begitu jalannya tampak lebar dan cukup untuk dilalui stielkruger.
Akhirnya Wijaya melihat sedikit tanda-tanda kehidupan di sana. Ada beberapa anak kecil yang bermain di sekitar alun-alun kota, sesaat kemudian ada orang dewasa yang menyuruh mereka cepat-cepat masuk ke dalam rumah.
Ada yang benar-benar tidak beres di kota itu. Masalahnya, mereka berlima perlu tempat untuk sekedar beristirahat sebentar. Melakukannya di tempat terbuka begini buka hal baik, tetapi kota itu juga tidak tampak aman.
Memang tidak tampak ada stielkruger di kota itu, tetapi kondisinya tidak aman. Lagipula, bisa saja ada orang-orang yang bersembunyi di dalam rumah-rumah dan bersiap menembaki mereka dengan roket.
[Apa kesimpulanmu, Wijaya?]
Wijaya melepas laras pembidik dan menjawab Kwang, "Terlalu mencurigakan karena tidak ada apa-apa di sana selain penduduk yang sepertinya takut untuk keluar."
[Cih, kalau begitu kita putari saja kota itu dan terus bergerak ke utara. Markas divisi kelima seharusnya ada di ujung jalan panjang bedebah ini, bukan?]
Kata-kata Lev mengundang gumaman setuju dari Win. Walau begitu, Kwang justru terdengar tidak sepaham.
[Lev, melihat posisi lereng, besar kemungkinan ada jebakan di sana atau memang mereka bersiap menyergap. Kita di lereng yang mengapit kota itu.]
"Atau mungkin kota itu sendiri yang menjadi jebakan," sambung Wijaya.
[Kau benar, tapi secara pribadi aku lebih suka menembus kota itu karena setidaknya kita tahu konturnya dari data map terakhir dan pemindaian yang kau lakukan.]
Wijaya menarik kibor kecil dari sisi tempat duduknya, lalu memasukkan perintah pentransferan data pada stielkruger lainnya. Dia menjelaskan, "Menurut kalkulasi subutai, cukup banyak ruas jalan di kota itu yang sepertinya sesuai dengan data peta yang kita miliki. Tapi aku tidak bisa melihat jika mereka melakukan blokade-blokade di jalan. Lev, bisa kau pastikan lagi?"
[Tunggu dulu, kalian serius mau menembus kota itu? Bagaimana dengan penduduknya jika benar ada serangan?]
[Lev, Wijaya sudah bilang mereka bersembunyi di dalam gedung dan rumah masing-masing.]
[Aku tahu, mata-mata, tapi bagaimanapun juga pertempuran di kota tetap akan menimbulkan korban!]
[Kau tahu kontur tanah di lereng ini cukup mudah untuk dihancurkan, Lev. Bagaimana jika mereka justru mempersiapkan untuk menghasilkan longsor yang juga tetap akan menghancurkan kota bersama kita. Jika mereka berani meledakkan diri, itu artinya mereka berani melakukan apa saja.]
[Kalau begitu kita memutar jauh ke puncak bukit atau cari jalan lain.]
[Dan menurutmu kita punya waktu untuk itu? Kita punya cukup stamina untuk menempuh sisa perjalanan ini jika kita tidak mengambil rute tersingkat?]
Ada jeda di mana Lev sempat terdiam sebelum kembali menjawab Kwang. [Dan kau mengambil rute termudah, yang bisa mengorbankan orang demi keegoisan kita?]
Kwang terdengar menghela napas. [Kalau memang jalan menembus kota adalah rute termudah, aku sudah memutuskannya sejak tadi. Kalau memang mementingkan keselamatan anggota regu ini merupakan bentuk keegoisan, maka aku orang paling egois di sini.]
Jawaban itu membuat semuanya terdiam. Entah jika ini faktor kelelahan, kondisi mereka, atau kenyataan bahwa mereka jauh dari Boris yang membuat emosi serta kebenaran tentang masing-masing diri mereka sedikit banyak agak terkuak.
Selain itu, memang ada alasan lain yang diyakini Wijaya mengapa Kwang juga diajak turun selain memang dia hampir selalu menjadi pilihan mereka dalam urusan mencari informasi dari publik.
Setahu Wijaya, Kwang dulu memang merupakan seorang prajurit di garis depan. Akan tetapi kemampuan dan kepintarannya dengan cepat diakui oleh orang-orang sekitarnya dan menyebabkan dia direkrut ke dalam badan intelijen LuNA.
Tidak banyak hal lain yang mereka ketahui tentang Kwang di masa baktinya pada pihak intelijen. Hal yang jelas, dia salah satu anggota pertama regu Vrka yang dipilih langsung oleh Boris. Dia dan Lev adalah yang paling senior di antara yang lain, kecuali Boris tentunya.
Perbedaan sifat mereka memang bagai api dan es. Selain di tengah pertarungan sengit, Kwang cenderung sangat tenang serta dingin, begitu berbeda dengan Lev yang banyak memprotes.
Akan tetapi melihat kenyataan beberapa jam belakangan ini, Wijaya melihat hal yang lebih berkebalikan. Lev yang lebih banyak berkoar sebenarnya memendam emosi serta latar belakang kelamnya rapat-rapat. Sementara itu Kwang yang sepertinya dingin, justru sangat memedulikan regunya.
Mungkin, memang hanya Wijaya yang benar-benar seperti mesin di tempat ini.
Setelah terdiam cukup lama, Lev akhirnya berbicara. [Data pada nesti sudah sesuai dengan subutai. Kita punya pilihan beberapa rute untuk bergerak.]
[Bagus, berarti aku tidak perlu mengganti pilihan ruteku. Kalian punya waktu lima menit untuk mempelajari ini dan kita langsung bergerak.]
Semuanya menggumam setuju dan memelajari rute yang dianjurkan Kwang. Intinya, mereka akan bergerak lurus lalu berbelok ke arah air mancur di alun-alun kota, lalu berputar ke timur sebelum bergerak ke utara. Sepertinya Kwang sengaja mengambil jalur paling besar serta tidak mengambil jalur lurus terus karena dugaan bahaya yang lebih besar.
Lima menit kemudian, mereka bergerak turun ke jalan utama lalu memasuki kota tanpa banyak berbicara lagi. Kelima raksasa besi mereka menembus jalur besar di antara rumah-rumah tua tanpa mengurangi kecepatan sedikitpun. Sampai sejauh ini tidak ada masalah atau serangan yang mereka hadapi.
Tepat saat melihat persimpangan menuju alun-alun, prediksi Kwang terbukti. Dari jalur di sebelah utara, datang tembakan roket peluncur granat infanteri dari jalan di sebelah utara. Yon dengan cepat menahan serangan itu dengan perisainya, membiarkan regunya sebelum bergerak mundur tanpa bals menembak.
Wijaya sempat melihat bagaimana para musuh mereka bersembunyi di balik tembok bangunan separuh runtuh di rute itu. Sedikit berbeda dengan area tadi, wilayah di alun-alun kota tampak lebih padat dengan rumah-rumah bertipe rumah toko berjejer berhimpitan satu sama lain.
Pusat kotanya sendiri tampak seperti lapangan beton luas biasa dengan rumah-rumah toko berjajar membentuk lingkaran mengelilinginya. Di balik sisi timur air mancur, berdiri sesosok brox yang diapit dua scorpid pembawa pelontar roket yang besar.
Wijaya tahu benda itu, pelontar roket jarak dekat yang bisa menghancurkan tubuh stielkruger dalam satu tembakan.
"Awas, krugerfaust!" Wijaya meraung sambil berusaha membidik secepat mungkin pada salah satu scorpid. Tepat pada saat dia menembak, raungan krugerfaust terdengar datang dari scorpid satunya.