webnovel

7. Tujuh.

<p>Hening lagi.., kenapa Liya begitu pendiam. Aldo berjalan berdampingan dengan Liya, wajah jutek gadis itu sekarang terganti dengan wajah murung. Sesekali Aldo memperhatikan wajah Liya lalu menghela nafas, wajah murung Liya membuatnya ingin sekali menghibur gadis itu, tapi dia tidak tau bagaimana caranya.<br/><br/>Aldo berjalan sambil menunduk, dia sedang berfikir.<br/><br/>"Hari sudah sore, rumahku ada didekat sini, gimana klo kita bermalam di rumahku saja? Aku tidak mood untuk kembali ke asrama." Liya menghentikan langkahnya, tepat diperbatasan antara rumput dan jalan lempengan batu hitam.<br/><br/>Aldo tersenyum, setidaknya dia bisa kenal dengan keluarga Liya, dan mungkin itu juga bisa membuat mood Liya membaik. "Emm... baiklah," jawabnya.<br/><br/>Kini keduanya berjalan menyusuri sungai, entah kenapa Aldo merasa hari disini cepat sekali berlalu. Langkah Liya berhenti di depan sebuah rumah kecil didekat sungai kecil itu.<br/><br/>"Ini rumah kamu?" Tanya Aldo.<br/>Seperti biasa Liya hanya diam, gadis itu membuka pintu rumahnya. Keduanya kemudian masuk kedalam, mata Aldo menyusuri isi rumah kecil itu, tidak luas karena dari luar pun rumah ini nampak kecil. Perabotan dirumah ini pun hanya sesuai kebutuhan saja, tidak ada satupun foto yang terpajang ataupun hiasan dinding yang lainya.<br/><br/>"Kamu tidur diruang tamu yah, nanti aku ambilkan kasur lantai, selimut dan bantal." Liya menunjuk ke ruang kosong depan pintu yang bahkan tidak ada kursi disana, hanya tikar dan sebuah meja lesehan.<br/><br/>"Okeh... Aku udah biasa tidur dimana saja kok!" <br/>Rumah kecil ini hanya ada satu kamar, terletak di samping ruang tamu, dibelakang kamar itu mungkin toilet, tadi Liya masuk kesana sambil membawa handuk dan baju ganti. Dibelakang ruang tamu ada dapur, ruang tamu dan dapur dibatasi oleh lemari besar terlihat seperti tembok, rumah ini bahkan tidak punya pintu belakang. Kecil sekali...<br/><br/>Aldo duduk diruang tamu, dia menyandarkan punggungnya ke tembok. Aldo memejamkan matanya, Aldo tercengang saat tiba-tiba merasakan ada sesuatu mendarat di kepalanya.<br/><br/>"Mandi gih sana!"<br/>Ternyata handuk.<br/><br/>Setelah melemparkan handuk, kini Liya melemparkan baju ganti ke arah Aldo. Anehnya Aldo tidak marah atau merasa kesal, Aldo malah menuruti perintah Liya, dia segera masuk ke dalam toilet.<br/><br/>Hanya butuh waktu 5 menit, Aldo keluar dari toilet.<br/><br/>"Hahhh.. Seger banget yah air disini!" Aldo membuka percakapan. Liya malah mengulurkan segelas kopi kearah Aldo yang masih berdiri didepan pintu toilet, kemudian gadis itu duduk santai diruang tamunya. Aldo mengikuti Liya, cowok itu ikut duduk disana, lalu meletakkan kopinya dimeja lesehan.<br/><br/>"Kok aku gak ngeliat keluarga kamu disini, pada kemana yah?" Aldo tersenyum menatap Liya, berharap Liya menjawab pertanyaannya.<br/><br/>"Aku tinggal sendirian, aku tidak punya keluarga." <br/>Aldo menghela nafas lega akhirnya Liya bicara juga, tapi wajah gadis itu terlihat semakin murung.<br/><br/>"Aku bahkan tidak tau siapa diriku." Liya berbicara dengan tatapan mata kosong. Perkataan gadis itu terhenti, matanya menatap Aldo dalam.<br/><br/> Seakan bertanya kenapa Aldo perlahan mengangkat alisnya, menunggu Liya melanjutkan ceritanya.<br/><br/>"Tiga tahun lalu.. Aku juga tersadar dikamar asrama, Tuan Gustavo menemukan aku tergeletak di hutan dengan tubuh penuh luka. Aku bahkan tidak ingat namaku sendiri, aku juga tidak tau kenapa aku terluka. Aku tinggal di asrama beberapa hari selama proses penyembuhan, kemudian aku disuruh Tuan Gustavo untuk menempati rumah ini, Tuan memberiku nama Liya, aku menerimanya saja agar orang-orang disini mudah memanggilku." Liya menundukkan wajahnya.<br/><br/>"Apa mungkin kamu itu memang temanku Ghea yang menghilang 3 tahun yang lalu?" Aldo tersenyum, dia bermaksud mencandai Liya, tangannya mengacak-acak rambut Liya gemas. Liya mendongakkan wajahnya kaget.<br/><br/>"Itu tidak mungkin b*doh. Bukannya kamu bilang klo temanmu sudah meninggal, kamu pikir aku ini mayat hidup, hah?!" Liya berkata sewot.<br/>Gadis itu kini malah terlihat bete karena guyonan Aldo, mungkin lebih baik Liya yang pemarah dari pada Liya beberapa menit yang lalu. Tapi mungkin bercanda Aldo sedikit keterlaluan.<br/><br/>"Aku mau tidur. Sana ambil selimut, kasur dan bantal kamu." Ucap Liya ketus sambil menunjuk ke arah lemari.<br/><br/>Gadis berambut panjang itu bergegas masuk kedalam kamarnya, meninggalkan Aldo yang nyengir kuda dengan perasaan bersalah disana.<br/><br/>...<br/><br/>Irene, Ana, Ali dan Bagas, keempatnya duduk melingkar di kamar asrama perempuan. Siang tadi mereka berempat sempat bertanya tentang sumur itu ke pemilik sebuah toko cinderamata. Seorang wanita cantik yang menurut Irene memiliki aura positif, karena dia selalu tersenyum, namanya Mbak Maya, berbeda sekali dengan Tante genit yang ada di restoran tadi.<br/><br/>Tapi Mbak Maya bilang dia tidak pernah melihat ada sumur satupun dikota ini. Tapi lagi pula kalau siang hari sumur itu tidak kelihatan dari atas sini, karna tertutup dedaunan dan semak semak, Irene juga bilang kalau cahaya terang disumur itu hanya terlihat di malam hari.<br/><br/>Jadilah mereka berempat duduk disini menunggu malam datang sambil berkutat pada pikiran masing-masing.<br/><br/>"Duhh... Aldo kemana sih! Udah jam segini belum pulang juga." Gerutu Ana.<br/>Gadis berpipi chubby itu tidak mau diam, sedari tadi dia terus mondar-mandir tidak jelas didepan pintu.<br/><br/>"Kamu kenapa sih? Kerasukan yah! Huss.. huss.. sana pergi setan, huss.." Ali mencandai Ana sambil mengibas-ngibaskan tangannya didepan wajah gadis itu.<br/><br/>"Apaan sih..." Ana melotot kearah Ali sambil menepis tangan cowok jahil itu. Bukannya merasa bersalah membuat sahabatnya marah, Ali malah tertawa melihat wajah marah gadis itu. <br/><br/>Baik Irene maupun Bagas tidak ada yang memperdulikan kejahilan Ali. Bagas malah menjawab pertanyaan Ana tadi.<br/><br/>"Mungkin Aldo ingin jalan-jalan malam berdua saja dengan Liya, kelihatannya Aldo suka sama Liya."<br/><br/>"Iya bener tuh! Kemarin malam juga Aldo ngomong ke kita berdua kalau dia pengen tau keluarganya Liya." Timpal Ali antusias.<br/><br/>"Apa mungkin Aldo nginep di rumah Liya?" Irene ikut menimpali.<br/><br/>"Mungkin juga..." Kini Ali, Ana dan Bagas menjawab bersamaan seperti paduan suara, suasana hening pun berubah ramai dengan candaan mereka berempat.<br/><br/>Tanpa mereka sadari dibalik pintu kamar, seseorang tengah menguping pembicaraan mereka.<br/><br/>"Udah jam sembilan, ini udah cukup sepi kan buat kita beraksi." Ucapan Irene menghentikan suara gaduh sahabat-sahabatnya yang tengah ngobrol.<br/><br/>Ali bergegas bangkit menghampiri pintu, dia buka pintu pelan-pelan, melongokkan kepalanya keluar, dia sedang mengamati situasi<br/><br/>Brukk!<br/>Bagas menendang pantat Ali sampai Ali jatuh. Sungguh tega Bagas itu.<br/><br/>"Bagas sialannn..." Makinya kepada Bagas, yang disambut cekikikan ketiga sahabatnya.<br/>Irene berjalan paling depan, disusul Ana, Ali, lalu Bagas. Ana nampak ketakutan, <br/>tangannya tak henti-hentinya menarik belakang baju Irene. Jantung mereka dag-dig-dug tidak karuan, karena mereka berjalan di lorong yang sepi dan minim pencahayaan, mereka merasa seperti ada diadegan film horor. Akhirnya mereka berempat sampai juga ke tempat yang dituju, tembok besar dengan ukiran gambar mata satu.<br/><br/>"I-ini temboknya Ren? Kok ngeri banget sih!" Ana meringis takut.<br/><br/>"Gimana cara bukanya Ren?" Tanya Bagas yang penasaran. <br/><br/>Tanpa aba-aba Ali langsung mendorong sisi kanan tembok itu sekuat tenaga, tapi nihil temboknya tidak bergerak sedikitpun. Irene berbalik, menyandarkan tubuhnya ditembok berukir mata satu itu, seperti yang tak sengaja ia lakukan sebelumnya, tapi temboknya tidak kunjung bergerak. Irene mendorong tembok dengan punggungnya lebih keras lagi, tetap tidak bergerak.<br/><br/>"Kenapa yah? Temboknya kok gak bergerak sedikitpun. Padahal sebelumnya aku bersandar tanpa tenaga saja, temboknya langsung berputar."<br/>Irene tidak menyerah, dia menyuruh semua sahabatnya bersama-sama mendorong tembok itu sekuat tenaga. Tapi tetap saja tidak ada hasil.<br/><br/>"Mungkin harus ditekan dibagikan matanya, atau bagian tertentu lainnya."<br/>Ujar Bagas sambil menekan-nekan ukiran mata satu, diikuti Ali yang sangat bersemangat. Tapi hasilnya tetap tidak bisa.<br/>Irene menggeleng-gelengkan kepalanya pasrah, tak tau harus bagaimana lagi. <br/><br/>"Jam berapa waktu itu kamu berada didepan sini, Ren?" Tanya Bagas, cowok itu sepertinya masih penasaran.<br/><br/>"Saat aku bangun dan melihat jam, sepertinya... sekitar jam dua belas malam." Sahut Irene sambil mengernyitkan keningnya.<br/><br/>"Mungkin lebih baik kita kesini lagi saat jam dua belas malam nanti." Ali mencetuskan ide brilian.<br/><br/>Keempat sahabat itu mengangguk, mereka sepakat untuk tidur, karena mereka lelah dan tenaga mereka terkuras habis.<br/>-<br/>-<br/>-<br/>Noe</p>