webnovel

BAB7

"Cuka Humailoh. Gambal Humailoh bagus," sahutku menyenangkan hati gadis kecil itu.

"Om cuka kucing juga?" Dia melihat gambar yang baru saja dia selesaikan. Oh, itu gambar kucing ya, ucapku dalam hati. Tadinya aku mengira itu gambar tikus.

"Cuka Humailoh. Om cuka kucing juga kok."

"Hole, nanti Humailoh bawa kucing Humailoh ke sini ya, Om," ucapnya kegirangan.

Aku hanya menelan ludah. Yang benar saja kalau dia betulan membawa kucingnya ke sekolah. Bisa-bisa aku tidak jadi belajar Bahasa Indonesia, malah belajar bahasa

anak kecil dan bahasa kucing.

"Humairoh, yuk sini." Bu Darmawanti memanggil anaknya. Itu artinya kelas baru saja selesai. Lengkaplah hari ini aku belajar bahasa anak kecil, bukan belajar Bahasa Indonesia.

Semua orang bergegas keluar untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Sementara aku agak sedikit santai karena ini adalah satu-satunya kelasku hari ini.

"Makasih ya, Yogi. Jangan khawatir, nilai kamu sama Ibu, aman," ucap Bu Darmawanti sebelum ikut keluar kelas. Aku juga mengucapkan terima kasih, bukan karena nilaiku yang dijamin aman, melainkan terima kasih untuk pelajaran hari ini.

"Dadaaaa, Om Ogi." Humairoh melambaikan tangannya.

Aku membalas lambaian tangan Humairoh. "Daaa, Humairoh."

Kepergian Humairoh mendatangkan kembali ingatan tentang Neti. Ternyata patah hati tak benar-benar bisa hilang seketika. Pengalihan perhatian hanya membuat tenang sejenak, lalu kenangan akan kembali datang beranak-pinak. Saat patah hati, aku tidak pernah bisa menyembunyikan kesedihanku.

November telah hadir di kota ini. Namun, rasa sedih ditinggalkan Neti belum juga pergi. Minggu-minggu patah hati itu belum juga sirna meski beberapa hal sudah kulakukan agar perasaan remuk di dada kembali pulih. Setidaknya aku masih beruntung, aku punya sahabat yang tetap menemaniku disaat aku sedih dan bahagia. Sahabat yang tidak pernah meninggalkan kala patah hati datang melemahkan jiwa. Mereka selalu berusaha membuatku kuat dan bertahan. Meski sesekali suka iseng menggodaku.

"Akhir minggu ini, main yuk!"

"Main? Kemana?" Panjul berhenti menatap laptopnya.

"Iya, si Yogi kan lagi patah hati, nah, dua minggu lagi si Santi udah ujian."

"Hah? Ujian?" Aku membelalakkan mata kepada Panjul. Serius, ini mengagetkan, mengingat baru semester tujuh.

"Santai aja kali." Santii menengahi, dia terlihat santai sekaligus ada kesan bangga di matanya. "Gimana?" Doli meminta kepastian. "Aku sih ngikut aja." Panjul kembali fokus dengan laptopnya. "Ya udah, kita berangkat!" Santi mengambil keputusan.

"Eh, tunggu dulu. Aku kan—"

"Udah, ikut aja. Lagian, yang butuh jalan-jalan itu kamu Yogi." Santi menyanggah keberatanku. Aku tidak meneruskan ucapanku. Benar sih, yang butuh jalan-jalan tu adalah aku. Akhir-akhir ini, aku lebih sering terlihat kacau daripada baiknya.

Orang yang lagi patah hati memang butuh banyak hiburan. Bukan untuk membuat hatinya sembuh, melainkan membuat dirinya merasa tidak sendirian. Tidak kesepian. Dan, aku adalah orang patah hati yang paling beruntung saat ini. Aku punya sahabat yang sangat peduli kepadaku. Meski dengan cara yang terkadang tidak kuinginkan.

"Tapi, besok malam, kalian harus nemenin aku ngebantuin kakak angkatku ngeliput acara Festival Budaya Melayu, di Taman Budaya, ya." Sepertinya, ajakan main itu hanya trik agar ditemani menjalani tugas liputan kakak angkatnya. Festival Melayu itu diadakan satu tahun sekali. Dan akan diramaikan oleh beragam bentuk kesenian, hiburan, juga kuliner khas Melayu. Kegiatan kebudayaan itu dilaksanakan sebagai bentuk apresiasi terhadap budaya yang dimiliki. Juga sebagai ajang promosi pariwisata dan budaya oleh pemerintah. Santi melipat telapak tangannya, mengajukan permohonan agar kami bersedia menemani dia ngebantuin kakak angkatnya.

"Iya, besok kita temani!" Doli bersemangat. Kalau urusan begini, datang ke tempat yang pengunjung perempuannya banyak, Doli pasti tidak akan menolak.

Pukul tujuh malam lewat, kami sampai di halaman belakang Taman Budaya. Tempat diadakannya Festival Kebudayaan Melayu.

Jajaran tenda wisata kuliner sudah berbaris rapi. Dan, yang paling menyenangkan bagi kami sebagai anak sekolahan adalah harga makanan di festival ini tidak begitu mahal. Sesuailah dengan ukuran kantong anak sekolah. Sebelum menikmati acara hiburan, kami memilih menikmati satu per satu makanan tradisional khas Riau ini.

Aku memilih menikmati lopek bugi, Lopek bugi adalah makanan khas Riau berupa camilan yang dahulu kerap disajikan untuk para bangsawan. Tapi saat ini lopek bugi sudah banyak ditemukan dan sering menjadi oleh-oleh khas Riau. Bahan dasar makanan khas Riau ini terbuat dari ketan dan santan dibalut dengan daun pisang, di dalamnya ada isian kelapa muda dengan rasa manis. Kejutan gula saka? lopek bugi ini memberi kesan sendiri bagiku. Kalau makan lopek bugi ini, aku selalu ingat akan cerita Ibu. Waktu aku kecil, Ibu pernah bercerita perihal lopek bugi. Kata Ibu, dulu pernah ada serombongan bule dari luar negeri datang ke Pekan Baru. Ketika dikasih Lopek Bugi, mereka kaget karena di dalamnya ada parutan Kelapa yang manis. Kata Ibu, bule itu bertanya kira-kira begini, "Bagaimana cara memasukkan kelapanya?

Untuk membuat Lopek Bugi, Bahan dasar yang digunakan adalah tepung ketan, santan, kelapa parut, gula pasir dan daun pisang sebagai pembungkus. Cara pembuatannya juga sederhana. Campurkan tepung ketan dan santan kemudian tambahkan garam dan air secukupnya, lalu aduk adonan hingga merata dan kalis. Untuk membuat isinya,Campurkan kelapa parut dengan gula pasir kemudian di sangrai, tetapi tidak sampai kering. Proses penyangraian dilakukan agar isinya tidak cepat basi. Kemudian, bentuk adonan menjadi bulat lalu isi dengan parutan kelapa, dan dibungkus dengan daun pisang. Terakhir, kukus hingga matang lebih kurang 30 menit.

Ibuku selalu semringah saat bercerita tentang hal itu. Terlepas dari benar atau tidaknya, kepolosan bule itu memang sudah menjadi cerita yang mengiringi perjalanan Lopek Bugi turun-temurun.

Tiga orang sahabatku menikmati makanan yang lain. Mulai kue-kuean seperti sarang balams, wajik", rakik maco", palai rinuak khas Minang Kabau, bahkan sampai menikmati bermacam-macam makanan berat—meski hanya sample makanan. Segala macam makanan khas Minangkabau, seperti rendang lokan, dendeng batokok, gulai pucuak ubi, pangek sampadeh, kalio jariang, samba lado tanak, samba lado matah, ada di tempat ini. Pokoknya bikin ngiler. Di antara makanan-makanan itu, dendeng batokok yang juga berasal dari Minang Kabau adalah makan kesukaan Neti.

Setelah elesai mengisi perut, kami langsung menikmati pertunjukan. Santi pun mulai mencatat apa saja yang akan ditulisnya nanti. Pertunjukan seni berlangsung meriah. Artis terkenal Pekan Baru pun hadir. Beberapa penyanyi Melayu, penari zapin, dan semua penari2 melayu lainnya juga tampil di acara itu. Hingga satu penampilan dari daerah Pasaman Barat. Lebih kurang 175 km dari pusat Kota Padang. Bisa ditempuh melalui Jalan Raya Pariaman. Namanya Ronggeng Pasaman.

Awalnya, Aku berpikir...>>