webnovel

Some Letter Before Dead

Hai! Salam kenal :) Panggil saja aku C . Aku tidak bisa memberitahumu nama asliku. Maafkan Aku. Ya, karena dalam setiap surat yang akan kuberikan nanti. Aku akan membahas hal-hal yang cukup pribadi tentangku dan tentu saja aku sangat menjaga harga diriku karna aku akan membicarakan semua hal tentangku yang tidak boleh diketahui oleh orang lain. Untuk itu mohon mengerti mengapa aku merahasiakan identitasku. Mungkin kau bertanya-tanya, "Mengapa kau mempercayakan hal pribadimu padaku?". Ya, karna aku tidak mempercayai siapapun di dunia ini dan bodohnya aku percaya padamu. Haha, maafkan aku. Aku hanya berharap ada yang dapat mengerti tentangku, yang setia mendengarkan keluh kesahku, selalu ada untukku disaat senang dan sedih, dan bisa menjadi tempat kepercayaanku. --- Semenjak kejadian malam itu. Banyak hal yang terjadi dan membuat hidup C menjadi kacau. Terlebih ia harus mencoba mengerti dan dipaksa oleh proses hidup untuk menerima realita yang ia alami bahwa sebagian hidupnya hanyalah hayalan. Untuk itu mengapa C menulis semua ini. *Cerita ini terinspirasi dari orang yang saya kenal memiliki skinzofrenia. Semua cerita hanya fiksi tidak ada yang nyata saya hanya mengambil bagaimana sudut pandang skinzofrenia dengan informasi yang saya cari. Semoga cerita ini benar-benar bisa menjelaskan bagaimana sudut pandang orang dengan skinzofrenia walau lebih mengarah kepada cerita fiksi

brightp0tat0 · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
14 Chs

Not Hell : Pingsan

13 Juli 2016

Buruk. Aku ternyata tidak sanggup dengan keadaan ini. Tidak berteman dengan Cinthia memberikan banyak sekali pengaruh untukku. Seperti hari ini.

Hari ini ada pelajaran Olahraga. Aku sangat tidak menyukai pelajaran ini karena harus pergi ke halaman sekolah dan beraktivitas disana. Aku tidak suka bagaimana aku berada di tempat yang luas dan aku tidak berada di sudut tempat atau menempel pada bagian tertentu.

Kau tahu? Aku tidak nyaman dengan sensasi kosong di sekeliling, apalagi ketika teman-teman mencolekku terus menerus menganggapku sebagai orang gampangan.

Tubuhku dengan normal menjadi kikuk, kaku, dan tegang merespon hal itu. Apalagi ketika ditatapi orang sekitar, orang di kelas lantai atas, dan berbagai mata lainnya sangat mengangguku.

Aku sering mematung, terdiam dengan tatapan kosong ke bawah mencoba untuk berpikir bahwa hanya sendiri disana.

Andaiku punya teman seperti bersama Cinthia. Perasaan tidak nyaman ini pasti sirna. Aku tidak sanggup harus mengalami beban sedangkan Cinthia tetap bahagia dengan teman-temannya.

Aku tidak bisa terus bersama Jay. Mengenai kita berbeda kelamin membuat kita sering terpisah. Seperti saat berganti pakaian, pemanasan, dan melakukan materi olahraga.

Aku dulunya sering dengan Cinthia tapi dulu. Lihat, dia sangat baik-baik saja begitu juga dengan Jay. Mereka membaur dengan siapapun di kelas bahkan di sekolah ini. Aku rasa memiliki banyak teman sangat diperlukan tapi kata Jay aku terlalu membosankan, kuno, kaku, dan nggak keren.

Aku sadar diri.

Ngomong-ngomong bukan hanya itu permasalahanku. Karena merasa sangat tidak aman mengikuti pelajaran ini aku berpura-pura sakit dan berdiam diri di kelas. Tapi Pak Ed malah datang menghampiriku. Ia memastikan apa aku benar-benar sakit.

Aku berbohong memang dan dia mendapatiku. Makanya setelah selesai materi aku harus berlari memutari lapangan sebanyak sepuluh kali.

Persetan memang. Apalagi beberapa orang di kelas menertawaiku. Semakin membuatku merasa rendah, malu, panik. Melihat mata semua orang disini saja tidak mampu.

Beberapa kali kucoba menutup mata sambil berlari. Kepalaku rasanya penuh. Aku takut bagaimana jika jatuh atau menabrak seseorang. Atau bagian terburuknya di tabrak oleh mobil guru-guru yang melaju kencang ke daerah parkir. Melihat benda-benda yang terlintas mata sangat menakutkan.

Aku tak kuasa melihat orang-orang disini, bertemu pandang dengan Marcell, hampir menyentuh mobil yang terus berdatangan seperti pembalap, mendengar seruan mereka yang kerap membully, semuanya membuatku pusing.

Guru di sekolah ini nampaknya sangat menikmati seseorang yang berbuat salah. Sorot senyum hina bersama tawa yang ditahan sangat mengintimidasiku. Mendengar seruan anak lain yang tak henti-hentinya beserta suara Pak Ed yang menegurku terlalu lamban semakin mempermalukanku.

Aku berkeringat dingin. Semakin lama melakukan ini semakin membuatku takut. Rasanya aku bergetar, perutku keram, aku ingin segera berhenti tapi tidak bisa. Suara hinaan mereka semakin terdengar jelas.

Bahkan aku seperti berhalusinasi. Aku memukul kepalaku berkali-kali mencoba meyakinkan diri apa hal ini benar atau tidak bahwa aku melihat Abas. Benar, Abas. Aku tidak percaya jika dia berada di sekolah ini karena katanya dia anak 'SMK'

Aku mencoba mengalihkan pandangan dan kembali menatap pada objek yang sama lantas sosok itu tidak hilang. Abas benar-benar disini. Tak kuasa mataku mengalihkan pandangan ke arah berbeda. Sialnya malah mendapati Cinthia sedang menghinaku bersama kelompok gadis dancer eksulnya.

Semakin aku mengada-ada mereka semakin bersorak untukku. Pak Kepala Sekolah kini menikmati kesalahanku, ia merekamku sebagai dokumentasi anak berandalan karena katanya "Ini nih anak tukang buat onar. Lari yang benar kamu."

Sekolah sialan. Suara sorakan semakin kuat bahkan kini Jay bersorak untukku. Sampai akhirnya aku pingsan karena tidak sanggup dengan mereka.

Aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya karena ketika membuka mata tubuh ini berakhir di UKS sekolah. Jay menjadi sosok pertama yang terlihat ketika sadar. Ia bertanya aku kenapa?

Aku menjelaskan semuanya tapi malah dibully karena terlalu berlebihan. Baik, aku malu. Aku tidak berani untuk keluar dari ruangan ini karena malu membayangkan reaksi mereka yang menjadi saksi kejadian tadi apalagi jika harus menerima hujatan nantinya.

Disana tidak hanya Jay. Ada Pak Ed dan Tiara ternyata. Tiara adalah anak kelas sebelah yang sedang mencalonkan diri menjadi ketua osis. Ia datang memberikan minyak telon untukku hirup bersama teh manis entah dari mana. Selanjutnya ia menanyakan kabarku.

Aku tidak menjawab karena memang tidak ingin saja. Bahkan Pak Ed yang membombardir dengan berbagai pertanyaan tidakku jawab. Ada apa dengan orang-orang ini yang tiba-tiba menjadi peduli dan memaksaku terbuka. Daripada pertanyaan dengan sensasi peduli aku malah merasa diintrogasi.

Sepertinya ini rasanya perhatian karena dikasihani. Aku benci jenis perhatian ini yang datang hanya saat seseorang sedang sulit padahal nyatanya mereka tidak peduli atau mungkin hanya peduli sesaat.

Ngomong-ngomong saat pulang Dion sekali lagi mendekatiku. Ia bertanya mengenai keadaanku dan berkata, "Kamu kalau ada apa-apa cerita aja ke aku. Atau kalau kamu udah siap aja, sini cerita."

Sudahlah, aku benci perhatian ini.

Sahabatmu?

C