webnovel

Bab 5

Rokok yang masih menyangkut dimulutnya mengantarnya ke depan ruang kantor Pimpinan dengan seribu kata-kata makian yang tersimpan di kepalanya.

Sapto adalah Penyidik paling arogan di kantor polisi itu. Sikapnya yang terbuka dan jujur, justru membuatnya sering mendapatkan masalah internal di kantornya. Banyak pihak yang telah mengincar nyawanya.

"Mau sampai kapan kamu bersikap seperti itu, Sapto?" Ucap Gustaf, Pimpinan tertinggi di kantor itu.

"Hmm ...."

"Sudah, lah. Terserah kamu saja. Tapi ingat, Sapto. Jangan sekali-sekali kamu berani ungkit lagi kasus kebun bunga itu! Ini peringatan terakhir untukmu, oke!" ancamnya.

Sapto berulangkali menghentakan ujung sepatunya ke lantai, "Jadi, hanya ini yang bisa saya dengar. Benar-benar membosankan!"

"Sapto! Saya itu atasan kamu, paham! Dimana letak sopan santunmu?" amuknya.

"Siapa bilang ... atasan saya? Anda lihat kemeja ini! Atasan saya sudah tidak layak pakai!" Sapto mencubit kemejanya yang kusam.

"Keluar kamu Sapto!" Urat leher Gustaf mulai keluar.

"Bukankah, kita yang seharusnya membongkar kebohongan, tapi selama ini justru kita yang selalu menutupi kebenaran. Apa Anda tak melihat orang-orang di luar sana? Apa salah mereka? Setiap hari harus mempercayai berita-berita palsu yang Anda buat!" Sapto melepas kemejanya, melemparnya ke atas meja Gustaf.

Gustaf mengejar Sapto yang mencoba meninggalkan ruangannya. "Sapto! Hey, kembali!"

"Berengsek! Sistem bobrok!" Sapto kecewa, menuju loker dan mengganti pakaian dinasnya. Rokoknya melebur setelah dikunyah habis oleh mulutnya yang tak berhenti mengomel sepanjang jalan menuju mobilnya.

"Salah satu dari kalian tolong ikuti anak itu!" perintah Gustaf kepada salah satu ajudannya.

"Siap, Pak!"

***

Sapto menuju kebun bunga itu, mencoba membenarkan isi kepalanya, bahwa kasus-kasus itu tidak sepantasnya dibungkam. Ia mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya disembunyikan oleh pimpinannya.

Terik mulai meredup, petani-petani mulai berjalan pulang di jalanan yang hanya mampu dilalui satu mobil saja. Sapto berhenti di tengah lahan kosong dengan pohon besar nan rindang. Berusaha mengobservasi rumah itu dari kejauhan sambil mempelajari berkas-berkas kasus yang saling berhubungan.

"Bu, permisi. Anda kenal dengan pemilik rumah itu?" tunjuk Sapto ke rumah tua itu.

"Nara, maksudnya?"

"Nara?" Keningnya mengerut mengingat sebuah nama.

"Dokter itu kan?"

"Jadi, pemiliknya sekarang seorang Dokter?"

"Iya, masih muda, cantik pula!" paparnya.

"Anda kenal dengan Bu Astri?" Sapto mulai memantik korek apinya bersiap menyalakan rokok.

"Ya, kenal. Kita sudah lama bertetangga. Biarpun rumah-rumah disini berjauhan karena banyak ladang bunga, tapi kita semua saling kenal sampai ujung jalan sana!" menunjuk ke ujung jalan.

"Oh, begitu. Sepertinya harmonis sekali lingkungan disini."

"Memangnya ada perlu apa? Temannya Nara, ya?"

"Oh, bu—bukan ... hanya numpang istirahat sebentar ...." gelagap Sapto bingung.

Bara rokoknya mulai memberikan tanda-tanda terhadap kasus kematian pria misterius semalam, melangkah perlahan memasuki pekarangan menelusuri bunga-bunga yang amblas membentuk jejak kaki. Ia menggambil gambar dengan ponselnya, merekam sekeliling gudang sebelah hingga jendela rumah yang pecah.

Lampu penerangan jalan mulai hidup perlahan menggantikan cahaya senja yang tenggelam. Sapto masih sibuk merekam sekeliling rumah itu, tiba-tiba lampu pekarangan yang mengelilingi rumah itu menyala seperi pasar malam.

"Hey, maling sialan!" Teriak Nara, menghidupkan saklar lampu pekarangan yang menempel pada kotak pos surat.

Sapto memasuki mode siaga, refleknya mengeluarkan pistol dari saku celananya, "Jangan bergerak!"

Nara berlari mengayunkan kayu balok yang ia pungut dari pekarangan itu,"Dasar, gila!"

Menangkis benda yang ditodongkan oleh Sapto.

"Bodoh ... buat apa menodongkan korek seperti itu!" bentak Nara.

"Astaga!" Seperti orang linglung, Sapto menghidupkan senjata apinya, bukannya peluru yang melesat, justru bau gas menyengat diikuti percikan api yang gagal menyambar. Ia baru sadar telah mengganti atribut dinas yang seharusnya dilengkapi pistol di ikat pinggangnya.

"Mau apa kau? Dasar, maling berengsek!" bentak nara sambil memukulinya.

"Aduh ... cukup ... hentikan!" rintihnya kesakitan.

Nara masih belum mengenalinya, ingatannya masih samar karena wajah itu tak begitu jelas.

"Lebih baik kau mati saja!"

"Stop!" Sapto mencari cara untuk membuka tutup hoodie dari kepalanya.

"Bu—bukankah ... kau penyidik yang ...."

"Akhirnya kau sadar juga!" balas Sapto sambil menggaruk-garuk kepalanya.

"Jadi, kamu orangnya? Hiaaaaak!" Nara yang geram memukul kepala Sapto sekali lagi. Kayu balok itu tepat mengenai ubun-ubun Sapto.

Mata Sapto berputar-putar sebelum tergeletak di depan teras, "A—apa yang ka—kamu ... lakukan ...." .

Rendra mengampiri mereka, "Do—dok, apa yang telah kau lakukan?" memegangi bahu Nara untuk mencoba menenangkan kepalanya yang berapi-api.

"Ayo dok, bantu aku mengangkatnya kedalam!" Rendra mencoba menggendong Sapto.

"Jangan! Biarkan saja tergeletak disana. Dia telah mengobrak-abrik seisi rumah ini semalam. Kamu mau bawa dia masuk lagi ke dalam rumah ini, orang gila ini?" amuknya dengan mata yang berkaca-kaca.

"Dokter sendiri yang bilang, kan! Nyawa itu diatas segalanya. Walaupun dia seorang musuh. Dokter lupa?" bentak Rendra.

"Aaaiish ... sudah-sudah!" gumamnya sambil membukakan pintu depan rumahnya.

Sapto dibaringkan di sofa ruang tamu oleh Rendra, sedangkan Nara mengambil ponsel milik Sapto yang terlempar di tanah.

"Astaga! Untuk apa dia melakukan siaran langsung seperti ini?" Ia menelan ludahnya dan tak sanggup berkata-kata mengetahui kamera ponsel itu dalam keadaan aktif dan tersambung di akun sosial media Sapto. Kamera selfi itu menayangkan wajahnya yang sedang ditonton oleh ratusan netizen. Melihat komentar-komentar netizen membuatnya makin berapi-api.

"Dasar wanita gila."

"Pembunuh."

"Jalang!"

"Lacak, adili! Jangan sampai lolos kami bersama polisi!"

Rasanya semua orang mencoba membunuhnya kali ini.

"Dok, aku tak bisa menanganinya, bantu aku! Sudahlah, nanti dilanjut lagi marah-marahnya!" tegur Rendra.

Tertegun di samping Sapto yang pingsan, "Luruskan pergelangan tangannya, aku akan periksa denyutnya!" Hal yang membuatnya sangat bingung, tubuh itu tak memar sama sekali, padahal ia telah memukulinya bertubi-tubi dengan balok kayu, dapat dipastikan Sapto baik-baik saja, namun penyidik itu belum sadar juga.

"Ren, pegangkan bahunya, ini akan sedikit mengejutkannya!"

"Ba—baik, Dok!"

Ia mengambil sesuatu di kotak peralatan medis, pelan-pelan menarik cairan di tabung kecil dengan jarum suntiknya.

"Suntik? Oh ti—tidak ... ja—jangan, ya! Aku baik-baik saja, kok!" Diam-diam mengintip dari matanya yang sipit, sontak melompat dan berdiri tegap di hadapan mereka.

"Uwaaaa!" kejut Rendra.

"Hah!" Nara mengusap matanya, seakan tak percaya wajah seram itu takut dengan jarum suntik.

"Please ... aku akan lakukan apapun, tapi jangan suntik, oke?" Sapto memegangi pundak Nara menatapnya dengan tajam.

"I—iya!" Nara tak mampu menatap balik tatapan itu.

"Jadi, kau hanya berpura-pura ... pingsan?" tanya Rendra.

Tersenyum puas setelah berhasil mengelabui dua orang yang panik, "Hehehe ...."