"A-Ayahanda ingin menitipkan sesuatu padaku? A-Apa itu, Ayahanda?"
Night dari zaman modern tampak ikut memasang wajah penasaran. Sekilas tampak kompak dan serempak dengan dirinya dari empat ratus tahun yang lalu. Mata mereka terpaku pada sosok renta di atas tempat tidur.
"K-Kau tahu putraku, k-kurasa aku sudah tak bisa melanjutkan hidupku lagi tanpa ada ibunda kalian di sisiku…"
"Ayahanda jangan bicara begitu—"
"D-Dia adalah hidupku. Belahan jiwaku. Dialah yang selalu mendampingiku selama ratusan tahun ini, membuatku merasakan kebahagiaan dengan kehadiran kalian. Sekarang tanpa melihat dirinya, hidupku sangat terasa kosong…." Pria itu mengatakan dengan penuh nestapa. Bercucuran air mata.
"Jangan mengatakan hal seperti itu, Ayahanda. Aku dan para saudaraku juga ada di sini untuk menjagamu." Night bergumam, untuk pertama kali ada air mata yang mengaliri pipinya. Menetesi tangannya dan sang raja yang masih bertautan. "Aku yakin Ayahanda bisa melewati ini semua seperti sebelum-sebelumnya. Setahuku Ayahanda adalah sosok yang begitu kuat. Sosok yang selalu kukagumi karena bijaksana dan perkasa."
Namun pria itu langsung menggeleng. "A-Aku sudah tak sanggup lagi, Night. Aku juga sudah tak mau hidup."
Kedua mata Night langsung basah mendengarnya.
"Night, perlu kau tahu kalau kau telah kupilih sebagai penerusku. Kau adalah sang pemimpin selanjutnya."
Night tampak terkejut. "A-Apa? Tapi, Ayah—"
"Aku yakin bahwa kau adalah orang yang paling tepat untuk menjaga kerajaan vampir ini untuk selanjutnya. Kau pasti tidak akan mengecewakanku, Putraku…."
"Tapi aku merasa tidak pantas, Ayahanda. Aku bukanlah seorang pemburu ataupun petarung yang hebat seperti dirimu. Bahkan dibanding saudara-saudaraku, aku bukanlah yang terunggul. Aku bahkan juga sering memberontak dan meninggalkan istana…."
"Sejujurnya saudara-saudaramu juga mengatakan hal yang sama. Mereka tidak menyukai keputusanku ini. Menurut mereka, mereka lebih pantas dibanding dirimu."
Sang raja tersenyum pahit. Napas beliau terlihat semakin tersengal, namun ia terlihat berusaha menguatkan dirinya untuk berbicara dengan sang putra.
"Mereka menganggap keputusan ini tidaklah adil. Mereka terus mempertanyakan alasannya, tapi tak bisa kujelaskan karena mereka tidak akan pernah mengerti. Tapi padamu akan kuberitahu alasan keputusanku itu," Sang raja kembali memberi jeda sebelum melanjutkan, "Karena dibanding saudara-saudaramu, hanya kaulah yang memiliki hati dan perasaan, Night."
Mata Night tampak sedikit melebar, terlihat tak mengerti. "A-Apa maksud Anda, Ayah?
"Kaum vampir tidak seperti manusia. Hampir semua dari mereka hanya memiliki nafsu untuk berburu dan berperang. Hal itu karena pada dasarnya kita adalah mahluk kegelapan, di mana kita diciptakan untuk saling menghancurkan dan membunuh." Beliau sempat terbatuk, lalu melanjutkan, "Oleh sebab itu… seorang vampir yang terpilih harus berbeda dari yang lain. Dia adalah seorang vampir yang tidak hanya kuat, namun juga mampu mengendalikan kekuatannya. Seseorang yang mampu berkepala dingin di tengah emosi dan kemarahan yang ada di dalam dirinya. Sehingga dengan begitu ia bisa mengendalikan seluruh anggota."
Genggangam tangan sang raja terasa semakin kuat. Walau dengan menggigil beliau melanjutkan, "Dan di antara kalian semua… kaulah orang itu, Night. Kaulah satu-satunya yang memenuhi syarat. Kau ingat kejadian saat kalian pertama kali belajar berburu sewaktu kalian masih kecil? Tidak seperti saudaramu yang memangsa kelinci-kelinci itu, namun kau memilih untuk melepaskan buruanmu kembali ke alam bebas. Kau telah memiliki rasa iba dan kasih sayang. Sejak saat itulah aku mengetahui siapa yang akan menggantikan kedudukanku kelak."
"Aku pun akhirnya merasa lemah begini, tak berdaya tanpa ibumu begini, karena aku sama sepertimu serta penguasa-penguasa sebelumnya – yaitu karena kita memiliki hati dan perasan. Kita bukan vampir biasa yang tak kenal rasa luka dan kehilangan, sama halnya dengan emosi-emosi lain di kehidupan ini."
Kata-kata itu mulai lolos dengan sedikit payah dari mulut sang raja. Tubuhnya pun bergetar. Namun saat ini, ia terlihat masih terus berusaha untuk menghimpun segala kekuatannya untuk menyampaikan pesan terakhirnya pada Night.
"Tapi aku bukanlah vampir yang bertanggung jawab dan kuat, Ayahanda. Aku bahkan tidak terlalu menyukai kehidupan di istana. Aku sering kabur. Dengan hal itu, bagaimana mungkin aku bisa memimpin kaum vampir seperti yang selama ini Ayahanda lakukan?" Night masih tak mengerti.
"Aku juga bukan seorang vampir yang kuat di masa lalu. Sama sepertimu, aku terkejut begitu ayahanda menunjukku untuk menggantikannya – lebih dari kakak-kakakku yang hebat. Tapi pada akhirnya aku mampu untuk melakukannya hingga akhir hayatku. Karena setiap raja memiliki mutiara yang menjadi sumber kekuatannya dalam memimpin. Kekuatan itu langsung membuatnya menjadi yang terkuat. Sehingga aku yakin kau juga bisa, Night. Kau juga mampu menjadi seorang raja yang kuat dan hebat."
Night tidak mengatakan apapun lagi. Ia akhirnya hanya menganggukkan kepalanya sambil kian menggenggam erat jemari Ayahandanya yang terasa kian mengendur di genggaman.
"Kalau memang ayahanda berfikir begitu, baiklah. Aku akan melakukannya seperti harapan Ayahanda. Aku akan mengemban tugas itu sebisaku, agar tidak mengecewakan Ayahanda ataupun kaum vampir yang lain."
"Bagus, putraku."
Sang raja tampak tersenyum lega. {erlahan ia menggerakkan tangannya yang lain, ikut menggenggam tangan mereka yang awalnya sudah saling bertautan. Mulutnya mulai terlihat berkomat-kamit seakan tengah membaca mantra. Kedua matanya mulai dipejamkan.
Lalu secara ajaib, tiba-tiba sebuah cahaya biru seperti bersinar dari dalam dada sang raja. Tubuh itu mulai bergetar hebat, bersama dengan gerakan bibirnya yang semakin cepat. Wajah beliau terlihat lebih pucat ketika keringat dingin mulai membasahinya.
"A-Ayahanda…."
Night yang menonton kembali kejadian itu seperti ikut terbawa suasana. Ia berteriak, berusaha ikut menyentuh kedua jemari Ayahandanya yang menggenggam erat tangan sosoknya di masa lalu. Namun semua itu percuma karena kini dia hanyalah mahluk kasat mata yang tidak diketahui keberadaannya. Mereka berada di dimensi yang berbeda.
Larry yang berada di sampingnya tampak menepuk pelan pundak Night. Berusaha menguatkan sang Pangeran. Sosoknya di masa lalu juga terlihat melakukan hal yang sama pada sang Pangeran yang kini menangis hebat memandang wajah sang ayah.
Sementara itu Honey tak mampu mengatakan apapun. Dia hanya dapat berdiri di sana sambil menutup mulutnya. Matanya juga ikut berkaca-kaca.
"A-Ayahanda…."
Night mengguncang bahu ayahnya dengan cemas. Diacuhkannya tepukan pelan dari Larry di bahunya ketika guncangan tubuh ayahnya terlihat lebih kencang lagi. Sementara itu cahaya biru tadi terlihat keluar dari dalam dada sang Ayahanda. Menampakkan sebuah mutiara yang berinar dengan menyilaukan.
"N-Night, ja-jagalah mutiara ini…. Kau harus mempertahankannya, karena m-mulai dari sekarang a-akan banyak yang datang k-kepadamu untuk merebutnya. T-Tetaplah k-kuat dan jangan patah harapan, sesulit apapun keadaannya nanti."
Kini ayahnya terlihat lebih lemas lagi dari sebelumnya. Beliau menggenggam lengan kanan Night, lalu meletakkan mutiara tadi di tangannya. Lantas secara ajaib benda itu menembus kulit pemuda itu. Mengikuti aliran darahnya, meniti urat nadinya, hingga akhirnya berhenti tepat di mana jantung Night berada. Benda itu berpijar untuk terakhir kalinya sebelum redup sama sekali.
"Ja-Jagalah mu-mutiara i-ini, Night. Ja-Jangan sa-sampai dddi-ddia be-berpin-dah ke-ke tangan yang salah."
Bersamaan dengan ucapan terakhirnya itu, tangan sang raja lepas dari genggamannya. Guncangan tubuhnya tadi pun kini benar-benar memelan, lebih pelan, hingga akhirnya berhenti sama sekali. Menimbulkan keheningan di ruangan ini.
"A-Ayahanda? Bangunlah Ayahanda. Ayahanda!!" teriak Night begitu menyadari hal yang buruk itu kini benar-benar terjadi.
Sang Pangeran menangis sambil terus memanggil orang tua lelakinya. Sementara pegawai istana yang juga berkumpul di sana tampak ikut larut dalam duka mendalam. Mereka meraung, bersujud ke tanah, memberikan penghormatan terakhir untuk pimpinan mereka.
***