Matahari mulai tinggi, pantai ini pun mulai ramai. Angin bertiup cukup kencang. Langit hari ini mendung.
"Kakak, bisa minta tolong foto in kita?"
Aku menoleh pada segerombolan anak muda yang memanggilku.
"Bisa", jawabku. Setelah mengatur posisi, aku mengambil gambar mereka berkali-kali.
"Terima kasih kakak, kakak mau kita fotoin juga?", tanya salah satu dari mereka.
"Tidak terima kasih" ,jawabku. "Sendiri aja kak? ", goda lainnya.
Aku mengembalikan kamera digital miliknya. "Iya, sesorang akan menjemputku."
"Cie, cowoknya ya pasti?" ,kata mereka kompak dan tertawa.
Aku hanya terseyum dan meninggalkan mereka. Aku kembali berjalan di sepanjang pantai ini. Merasakan angin, melihat air yang terus begerak. Ini bukan pantai dengan pemandangan alam yang hijau. Tapi bukan berarti tidak bisa disyukuri.
Aku berhenti dan melihat perahu yang membawa beberpa orang. Ada juga perahu yang hanya diisi dua orang, mereka seperti sepasang kekasih.
"Vina?", kata seorang ibu memanggilku dan mengahampiriku. "Apa kamu sudah siap?" tanya wanita itu. Ia terlihat berumur lima puluh tahun. Ia mengenakan pakaian yang indah.
"Apa benar kamu akan meolong kami?",kata suaminya yang berdiri di sampingnya. Ia menggandeng istrinya dan terlihat cemas menantikan jawaban keluar dari mulutku.
"Benar, apa kamu sudah pikirkan baik-baik resikonya?", tanya istrinya lagi.
"Saya sudah memikirkannya."
Kedua orang itu terlihat lega. "Baiklah, ayo ikut kami.", kata istrinya. Aku mengikuti pasangan ini dan meninggalkan pantai Ancol. Mereka memarkir Mobil mewah mereka tak jauh dari pantai. Mereka terlihat begitu lega.
Aku sudah tak membawa apapun. Di perjalanan, sang istri terus bicara padaku. Aku hanya menanggapi sebisaku. Selebihnya, hanya lamunan memandangi gedung-gedung pencakar langit yang tinggi dan megah.
Tiba di tempat tujuan, wanita lain yang terlihat masih muda menangis dan memelukku. Ia memelukku sangat erat. Aku bisa merasakan kesedihan mendalam dari ibu muda ini.
"Kakak, terima kasih. Aku tidak akan melupakan jasa kakak selamanya.", Isaknya.
Seorang pria mendatangiku lagi. Ia tak berani memelukku, tapi ada kesedihan mendalam yang aku bisa lihat dari matanya.
"Nona, aku tak tahu harus bilang apa. Saya benar-benar merasa tertolong. Jika ada yang bisa saya lakukan, katakan saja. Saya akan mengabulkannya."
"Aku tidak ingin apapun. Setelah ini semuanya akan selamat." Kataku. "Anak ibu, akan selamat. Suami kamu akan hidup. Istri anda akan bangun."
Mereka semua menangis dan mengucapkan terima kasih.
Aku berjalan menuju ruang operasi. Di depan ruangan itu ada dokter Chen.
"Covina, Venn. Apa permintaan terkahir anda?" tanya dokter itu.
Aku terdiam sejenak. "Tidak ada. Aku tidak ingin apapun. Tolong katakan saja, terima kasihku pada orang yang namanya aku tulis di sini."
Aku menyerahkan selembar kertas. Dokter itu membuka kertas itu.
"Baiklah, suster tolong antar Nona Vina ganti pakaian. Kita akan segera mulai operasinya"
Aku masuk ke ruang operasi paling akhir. Aku melihat seorang anak laki-laki. Seorang wanita dan seorang pria dewasa. Mereka adalah orang-orang yang akan mendapatkan organku. Mereka akan selamat setelah ini. Keluarganya pasti akan senang.
"Vina, kau sudah siap?" tanya suster itu. Ia meneteskan air mata.
"Tentu." Ia menyuntikkan obat bius. Aku menghela nafas perlahan dan menghitung sesuai anjuran dokter. Satu dua tiga…
Setelah ini, anak itu akan mendapatkan ginjalku. Suami wanita tadi akan mendapat hatiku dan istri suami orang tadi akan mendapatkan tulang belakangku.
Kepalaku terasa berat sekali. Semakin berat dan semakin berat. Disaat saat seperti ini, aku mengingat semua hal yang terjadi di dalam hidupku. Semuanya dari awal aku masih kecil hingga kejadian yang baru saja kau alami. Semua terasa baru kemarin terjadi. Waktu memang berjalan begitu cepat.
Aku akan meninggalkan semua hal ini. Aku tidak akan bangun lagi. Saat aku bangun, aku yakin. Semua akan terlihat berbeda. Tidak ada kesedihan lagi. Tidak ada rasa sakit hati lagi. Tidak ada penyesalan lagi. Semuanya sudah berakhir.
Aku akan segera menghadap Tuhan dan kembali ke rumahnya. Aku beruntung, bisa menyelamatkan tiga orang sekaligus. Ini adalah sebuah kehormatan besar. Sebuah kehormatan yang tidak bisa didapatkan oleh semua orang.
Aku beruntung, tidak jadi mengikuti kegiatan tidur dua puluh tahun. Jika aku mengikutinya, aku akan mati sia-sia. Aku tidak akan bisa membantu menyelamatkan nyawa siapapun.
Tuhan terima kasih, sudah memberiku hidup. Ini sangat mengagumkan. Berikutnya aku siap mendengar Engaku memangil namaku.
~VINA~
Aku mulai bisa mendengar suara Tuhan.
~Vina, Vina~ kata suara itu lagi.
Aku merasakan bukan hanya mendengar suara Tuhan tapi juga merasakan gengaman tangannya. Sangat hangat. Apa Tuhan selalau sehangat ini? Mengapa masih ada orang yang tidak mau mati dan beusaha hidup abadi? Apa mereka bodoh? Andai saja mereka tahu semua ini, pasti tidak akan ada lagi orang yang mecari keabadian.
~Vina Bangunlah~ katannya lagi
~Buka Matamu~
Tentu Tuhan, aku akan membuka mataku. Aku sudah menantikan untuk bertemu denganMU selama ini.
~Kau bisa mendengar suaraku?~
Aku dengar Tuhan, aku mendengarnya. Aku suka suara Tuhan. Tunggu aku, aku akan bangun. Aku sedang berusaha membuka mataku. Berat sekali. Kenapa seberat ini hanya untuk membuka mata?
~Vina, aku di sini. Bangunlah! Buka matamu~
Aku ingin membuka mataku, tapi kenapa ini berat. Bukankah harusnya, aku sudah bisa membuka mataku otomatis Tuhan? Bukankah harusnya roh tidak akan tertidur?
Sesak, kenapa aku merasa sesak? Tidak, apa aku akan masuk ke neraka? Ini sesak sekali.
~Vina, Vina, Vina.~
Suaranya makin keras, tapi aku semakin berat. Semakin sesak. Apa yang harus aku lakukan? Aku meraksan tubuhku terguncang. Tangan Tuhan mulai dingin. Tidak Tuhan, aku tidak mau ke neraka. Aku tidak bunuh diri. Aku menyelamatkan tiga anakmu yang membutuhkan organ. Tidak Tuhan, aku tidak mau ke neraka!
Hanya ada gertak gigi dan kesengsaraan abadi di sana.
Aku tidak mau pergi. Tidak!!!!!
"Bangun VINA!"