webnovel

9. Ternyata Itu Cinta

Tak lama mata Gangga menitikkan air mata.

"Lhoh, kenapa? Aku nyinggung ya?"

"Nggak kok, Kak. Bisma, temenku itu udah meninggal 1 bulan yang lalu."

"Ya ampun maaf banget, Ngga. Aku bener-bener nggak tahu."

Gangga mengusap air matanya dan kembali berlatih presentasi.

Stella datang menghampiri mereka berdua dengan membawa makanan dan minuman.

"Hey, Kak Ken, kamu apain temenku kok nangis begitu?" protes Stella yang melihat sisa-sisa air mata di sudut mata Gangga.

"Enggak kok, Stel. Aku aja yang cengeng," bela Gangga.

Mereka bertiga agak lama terdiam karena Gangga juga mengalihkan perhatian pada latihan presentasinya besok.

"Ehm, mata kuliah apa sih yang buat presentasi besok?" Kendrik mencoba mencairkan suasana.

"Sprechen für Anfänger," jawab Gangga, singkat.

Singkatnya jawaban ini biasanya menghentikan orang untuk bertanya lebih jauh. Tapi karena Kendrik mempunyai modus, dia malah bertanya lebih jauh.

"Apa tuh?"

"Sprechen itu artinya berbicara."

"Jadi besok kalian presentasi metode berbicara?"

Gangga menoleh ke arah Kendrik dengan jengah. "Besok kami menceritakan obyek wisata dalam bahasa Jerman lalu kami harus praktik percakapan. Kayak drama gitu."

"Lhoh, tapi nanti drama ada mata kuliah sendiri kan?"

"Iya, tapi maksudnya ini bukan termasuk drama yang kayak gitu. Ini cuma praktik percakapan kalau kita di tempat wisata aja."

"Owh, gitu."

Stella memelototi Kendrik yang tidak henti-hentinya mencecar Gangga dengan pertanyaan.

"Eh, kalau kalian ini saudara? Sepupuan atau gimana? " tanya Gangga kepada Stella dan Kendrik.

"Gini ...."

"Gini ...."

Stella dan Kendrik bersamaan menjawab, seolah berebut untuk berbicara. Sayangnya, Stella lebih cepat.

"Gini lho, kakakku Daniel yang sering aku ceritain itu nikah sama kakaknya Kak Kendrik, namanya Kak Karen," jelas Stella.

Gangga mengangguk, sedangkan Kendrik menginjak kaki Stella karena tidak memberi kesempatan bicara padanya.

"Aaarrrggghhh, sakit Kak Ken!"

"Sorry, kakimu dari tadi teriak-teriak minta diinjek."

Tak lama kemudian, orang-orang yang tadinya di dalam rumah menghambur keluar. Gangga menyaksikan tiga pasangan yang masing-masing membawa buah hati mereka.

"Kayaknya bahagia banget ya," takjub Gangga. Melihat gambaran keluarga bahagia membuat Gangga teringat ayahnya yang begitu kejam terhadapnya.

"Bahagia itu di mata orang yang lihat aja, Ngga. Mereka punya masalah dan perjuangannya sendiri-sendiri," terang Kendrik. "Itu yang anaknya udah 2, namanya dokter Nathan. Istrinya itu pernah hilang lama sebelum mereka nikah, sampai stres orangnya. Terus yang itu, dokter Dion, dia 9 tahun nikah baru diberi momongan."

Gangga mengangguk.

"Setiap orang punya masalah masing-masing."

"Nggak juga, kakak kalian lancar-lancar aja kayaknya," tebak Gangga.

"Justru mereka itu yang paling drama, Ngga," kata Stella. "Mereka dijodohkan lho."

"Masak sih? Kok kayaknya cinta cinta aja."

"Akhirnya cinta tapi awalnya nggak."

Ponsel Gangga berbunyi. Adam memanggil ....

Gangga tak segera menjawab, malah hanya memandangi layar ponselnya.

"Cieee ditelpon Kak Adam. Diidolain senior nih ye," seloroh Stella.

"Apaan sih, yang idola itu kamu. Si gadis cemerlang yang dikejar-kejar para senior sampai sembunyi di toilet."

Stella tertawa terbahak-bahak.

Seketika Kendrik tersentil hatinya mendengar gadis pujaannya didekati laki-laki lain.

"Selesai!" teriak Gangga. "Kamu udah pelajarin bagianmu, Stel?"

"Udah, tinggal pelajarin tambahan dari kamu."

Gangga mengeluarkan ponsel dan siap memesan ojek online. "Stel, bentar lagi aku pulang ya."

Kendrik menginjak kaki Stella dan mengedipkan matanya.

"Kenapa matanya Kak, kok kedip-kedip? Sakit?"

Kendrik pun mengirim pesan Chatsapp kepada Stella.

📱Kendrik: Biar aku yang anterin Gangga. Bantuin! Cepetan, keburu dia pesen ojol.

📱Stella: Hish

Stella merebut ponsel Gangga.

"Udah nggak usah pesen ojol, biar dianter Kak Kendrik," kata Stella.

"Nggak mau ngrepotin akh. Kasian Kak Kendrik musti ke kosku," tolak Gangga.

"Searah kok."

"Searah?"

"Iya, aku mau mampir kampus ngecek mahasiswa yang lagi praktikum di lab."

"Emangnya Minggu malam ada yang praktikum ya?" tanya Stella.

Bukannya bantuin, nih anak. (Kendrik).

Kendrik lupa bahwa Stella masihlah orang yang polos, agak mirip dengan Daniel kakaknya. Dengan geram Kendrik menjawab, "Ada Stel, praktikum nggak kenal hari dan waktu," kata Kendrik sembari memelototi Stella.

Setelah dibujuk, akhirnya Gangga mau diantar pulang oleh Kendrik. Score lagi untuk Kendrik.

~

Kos Seruni

Kendrik mengantar hingga di depan kos. Seorang pemuda dengan motornya telah menunggu di depan kos Gangga. Adam, kakak tingkat Gangga.

Akankah ada baku hantam? Atau malah jambak-jambakan? Atau mereka lebih suka main tung ting tas, batu gunting kertas untuk memperebutkan si gadis.

Yang pasti, tidak bisa menggunakan metode hompimpah alaihum gambreng karena mereka kurang jumlah. Mungkin jika Pak Wardiman atau Linggom ikut, baru bisa dilakukan.

"Oh, Kak Adam. Lagi nunggu siapa?"

"Nungguin kamu lah, dari tadi aku telpon nggak diangkat."

"Maaf, tadi lagi ngerjain tugas."

Kendrik masih berdiri di sana seperti nyamuk nguang-nguing mengganggu orang yang sedang pendekatan. Kecanggungan tercipta saat Adam melirik ke arah Kendrik.

"Ojeknya belum kamu bayar, Ngga?" tanya Adam.

Kendrik melotot.

Wuasu ik. (Kendrik).

Rebel mind voice: Dia itu sengaja ngomong gitu. Padahal tahu sendiri kamu nggak pake atribut ojol. Ya kan? Hajar sudah.

Eh belum tentu juga, sekarang kan ada apilkasi On Driver yang nggak pake atribut ojol. (Kendrik).

"Kakak ini bukan ojek, dia ini ..."

"Iya benar, aku ojeknya Gangga," kata Kendrik sembari tersenyum. Sepertinya Kendrik malah menemukan kebahagiaan tersendiri dikatakan sebagai ojek. (Maunya sih ojek pribadi).

"Uhm, Kak Adam ada apa ke sini malam-malam?"

"Aku mau mastiin kamu nggak apa-apa. Kamu nggak jawab telpon, bikin aku khawatir."

Cih, brot. (Kendrik).

"Aku nggak apa-apa kok."

Ini gimana sih, Kak Adam udah liat keadaanku baik-baik aja tapi nggak segera pergi. Kak Kendrik juga nggak segera pamit. Aku mau belajar woy, besok presentasi pertama selama kuliah. Nervous, tahu! (Gangga).

Siapa sih orang ini, kok nggak pergi-pergi? (Adam).

Ini yang waktu display UKM main cegat gadis gambasku. Pengen aku culek matanya. (Kendrik).

Kecanggungan tercipta lagi. Bayangkan saja mereka berdiri di depan kos bertiga. Tadi Kendrik berada agak jauh, namun sekarang mereka bertiga berdiri melingkar seperti mafia sedang rapat gelap.

Mereka saling melirik namun tetap diam. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri.

Dan Kendrik memiliki misi besar yang harus tercapai malam hari ini yaitu meminta nomor ponsel Gangga. Bagian terperih baginya adalah, kakak tingkat Gangga yang berada di hadapannya ini sudah memiliki nomor ponsel gadis itu.

"Mbak Gangga, kok belum masuk kos? Jam 10 ditutup lho." Mbak Wati sang penjaga kos keluar dari dalam kos, memecah ketegangan.

Terimakasih Tuhan telah mengirim malaikat penolong bernama Mbak Wati. (Gangga).

"Oh iya Mbak Wati. Sebentar," balas Gangga. "Kakak berdua, maaf banget kosnya bentar lagi tutup. Maaf ya, bukannya ngusir, tapi emang iya. Kakak harus pergi."

Kendrik dan Adam belum bergeming, malah saling pandang dengan tatapan tak bersahabat. (Ya iyalah, rival masak mau cipika cipiki).

"Kak Adam, Kak Ken, jangan saling pandang gitu nanti lama-lama naksir lhoh. Kasihan jutaan wanita di bumi ini."

Huwek. (Kendrik).

Huwek. (Adam).

Akhirnya, tanpa aba-aba, mereka membubarkan diri. Gangga lega telah terlepas dari jeratan dua orang aneh. Yang satu dulunya dia kira predator, yang satu lagi senior tampan. Entah si senior itu pantasnya disebut apa, gigih berjuang atau tidak tahu diri. Gangga tidak begitu merespon Adam tapi dia selalu datang sliwar-sliwer.

Atau mungkin seperti jaelangkung. Tapi bukan, karena Adam datang tak diundang, pulangnya minta diperhatikan. Sedangkan jaelangkung jauh lebih bermartabat karena pulang juga tidak minta diantar.

~

Di kamar, Gangga memasang sprei pinjaman kemudian merebahkan raga lelahnya di atas kasur. Dia teringat pertanyaan Kendrik tentang Bisma yang lagi-lagi menguak luka yang begitu dalam. Luka yang selama ini masih basah yang sedang dia tutup.

Kembali menetes lagi air mata itu. Kembali Gangga tak dapat mengontrol diri. Keluarlah isakan tangis yang agak keras dari mulutnya.

Di luar kamar Gangga telah berkumpul beberapa penghuni kos yaitu Isnu, Imas, Edera dan Ety, 4 sekawan huruf vokal. Mereka mengetuk pintu kamar Gangga. Buru-buru Gangga mengusap air matanya dan membukakan pintu.

"Ada apa ya?"

Mereka berempat menghembuskan napas lega melihat Gangga.

"Jadi selama sebulan ini, kamu ya yang sering nangis?" tanya Isnu.

"Ehm, i-iya. Kedengeran ya? Maaf."

"Kami denger tiap 3 hari sekali. Itu kamu semua?" tanya Imas.

Buset, sampai hafal jadwalku nangis. Berarti selama sebulan ini yaitu 36:3 udah terhitung 12 kali aku nangis. (Gangga).

"Mu-mungkin."

Mereka meminta ijin masuk ke kamar Gangga.

"Emangnya kenapa kok sampai sedih? Cerita aja sama kami dari pada dipendam sendiri," pinta Edera.

"Aku, ehm, gini Ed, aku lagi berkabung aja. 36 hari yang lalu sahabatku meninggal."

"Sahabat kamu laki-laki apa perempuan?" tanya Ety, penasaran.

"Laki-laki."

"Pacar maksudmu?"

"Enggak, sahabat kok."

"Aku juga punya sahabat yang udah meninggal, tapi nggak sampai kayak kamu gini."

"Yah, mungkin level kedekatannya beda. Dan reaksi kita beda, mungkin aku emang mellow jadi nangis mulu."

"Nah itu dia, level kedekatannya beda. Apa kalian itu pacaran yang dilabeli sahabat, jadi kamu ngerasa kehilangan banget sampai kayak gini?" tanya Isnu.

Gangga agak terkejut dengan pertanyaan itu. Selama bersahabat dengan Bisma, dia terlalu nyaman melakukan hal bersama dengan laki-laki itu sehingga tidak memikirkan status. Apa benar di hatinya menyimpan perasaan cinta yang secara tidak sadar samar karena label sahabat?

"Aku nggak tahu juga sih." Gangga bingung sendiri.

"Coba diinget-inget. Kamu begini juga sama teman laki-laki yang lain?"

Gangga menggeleng. Memang hanya Bisma satu-satunya yang dekat dengannya meski tidak pernah berinteraksi fisik seperti orang berpacaran (bergandengan tangan, berangkulan, dll).

"Kalau dia, dia begini juga sama sahabat cewek yang lain?"

Gangga menerawang lagi. Selama hidup, Bisma memboncengkan dirinya saja untuk pergi dan pulang sekolah. Pernah sekali waktu dia diminta mengantarkan Yunda (teman sekelas mereka) pulang, tapi dia menolak dengan 1001 alasan.

"Kayaknya enggak," jawab Gangga, ragu-ragu.

"Kalau gitu, mungkin kalian itu cinta yang belum terungkap aja. Wajar kalau kamu se-kehilangan ini."

"Maaf Ngga, kami bukannya mau ikut campur. Cuma khawatir aja kemarin-kemarin. Sejujurnya sih, takut juga karena kami kira hantu hehe."

"Oh, maaf maaf, lain kali aku lebih kontrol lagi."

~

Gangga terus memikirkan kata-kata teman kosnya Isnu, Imas, Edera dan Ety. Dia terus menanyai dirinya sendiri, apa selama ini dia dan Bisma saling mencintai tapi sama-sama tidak sadar? []

***

Kau buat aku bertanya

Kau buat aku mencari

Tentang rasa ini, aku tak mengerti

Akankah sama jadinya, bila bukan kamu

('Cinta Pertama Dan Terakhir' - Sherina)

Jogja, 5 Oktober 2021