webnovel

Silvy Dan Silvyana

Seorang anak kembar yang selalu mendapat perlakuan yang tidak adil dari kedua orangtuanya. Mereka membencinya tanpa dasar yang jelas. Tapi tidak dengan saudara kembarnya. Mereka menyayanginya dengan tulus dan memberikan seluruh cinta dan perhatiannya. Hari demi hari tekanan yang dihadapinya seringkali menggodanya untuk melakukan sebuah kesalahan yang tidak bisa diampuni. Dia selalu berjuang sekuat tenaga untuk melawan hasratnya yang salah itu. Tapi setiap kali dia melawannya, tekanan emosi itu semakin lama semakin membuatnya depresi hingga selalu menggangunya setiap hari. Hingga suatu hari sebuah petaka datang menimpanya dalam sekejap. Kematian yang sangat cepat dan tak disangka. Yang terjadi karena emosi yang labil. Sampai pada akhirnya dia mengakhirinya dengan menyusul itu karena saudara kembarnya telah memberinya ancaman. Selamat membaca yah teman-teman, semoga mendapat pelajaran yang berharga dari kisah ini. Jangan lupa vote dan komen yah teman Biar makin semangat berkaryanya. NOTE : KARYA PINDAH KE NOVELTOON

Kily_Kiky · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
5 Chs

Bab 1. Kehidupan Ku

Malam itu kedua orangtua ku tidak ada di rumah. Mereka pergi  menghadiri pesta mewah yang sudah menjadi kebiasaan. Malam itu hanya ada kami berdua. Aku dan saudara kembarku. Aku gadis malang yang tertekan sempat berpikir untuk mengirim saudara kembar ku ke kehidupan lain. Masa depan seluruh umat manusia. Aku sangat menyayangi saudara kembar ku dengan sepenuh hati dan segenap jiwa. Sejak kami dibuat di dalam tempat rahasia dan gelap, aku sudah bersamanya di dalam rahim. Begitu banyak waktu yang kami habiskan disana. Kami tumbuh bersama melalui sumber makanan yang sama. Karena itulah aku sangat menyayangi saudara kembar ku. Tapi terkadang aku takut dengan perasaan itu. Perasaan cinta yang berlebihan yang membuat pikiran ku terguncang.

Malam itu tak seperti biasanya. Cukup mencekam bagi dua gadis remaja yang tinggal di rumah besar. Malam itu aliran listrik padam akibat cuaca buruk. Udara malam juga sangat dingin tak seperti biasanya. Angin bertiup kencang dan kilat yang memancar turut membelah udara menambah rasa takut dalam diri ku.

Kami tidak beranjak kemana pun. Dan terus menanti sampai listrik menyala. Di dalam kegelapan itu, saudara kembar ku terus saja memeluk ku sambil meringis ketakutan. Dan aku, aku tidak tahan melihatnya. Maka aku berdiri dan berjalan, berusaha mencari sumber cahaya agar dia tidak ketakutan lagi. Aku membujuknya agar dia tetap tenang meski diri ku sendiri juga takut.

Setelah berjalan meraba-raba ke seluruh tempat, akhirnya aku mendapatkan korek api. Aku menyalakan setiap batang anak korek api itu untuk mencari sumber cahaya yang lebih baik.

Hingga akhirnya aku menemukan sebatang lilin yang cukup besar. Aku segera menyalakannya dan pergi menemui saudara kembar ku.

Diantara remang-remang cahaya itu, aku memikirkan nasib ku.

Remaja yang masih duduk di bangku SMA seperti ku ini, sebenarnya memendam rasa benci dan rasa cemburu. Kami dua bersaudara, dilahirkan di keluarga yang berada. Ayahku adalah pejabat pemerintah dan ibuku seorang wanita karir yang sukses. Setiap hari mereka berdua hanya sibuk dengan urusan pribadi mereka, dan tak pernah memperhatikan ku. Tapi tidak dengan saudara kembar ku.

Meski mereka sangat sibuk, tapi mereka masih menempatkan sedikit waktunya untuk memperhatikan saudara kembar ku. Mereka berdua memberikan cinta dan perhatian di hadapan ku, untuk membuat ku panas hati.

Meski aku selalu mendapatkan predikat terbaik di sekolah, tapi mereka tak pernah sekali pun menghargai upaya dan kerja keras ku. Sedangkan saudara kembar ku, meski tak melakukan apapun, tapi mereka sangat menyayanginya.

Aku tak mengerti apa sebabnya. Dan apa kelebihan yang dimilikinya sehingga mampu menghipnotis mereka.

Tapi walau begitu, saudara kembar ku sangat menyayangiku. Dia memberikan perhatian pada ku yang tidak aku dapatkan dari mereka.

Teman-teman ku sering berkata bahwa aku adalah anak yang paling beruntung. Bisa memiliki apapun yang tak bisa dimiliki oleh anak-anak lain. Tapi aku selalu tersenyum membalas setiap ucapan mereka, karena tak tahu harus berkata apa.

Terkadang aku ingin bercerita pada teman-teman ku tentang perasaan ku yang sesungguhnya. Tapi aku takut mereka tidak percaya dan mengatakan aku berbohong. Aku juga melihat teman-teman ku begitu sibuk seolah tidak akan punya waktu untuk mendengarkan cerita ku.

Suatu kali aku membulatkan tekad ku untuk berbicara pada teman ku tentang diri ku yang sebenarnya. Aku menghampirinya, dengan perasaan gugup aku memegang pundaknya sambil mencoba mengeluarkan suara ku yang tertahan.

"Hei Tania, apa kamu sibuk?"

"Oh yah, ada apa? Aku sangat sibuk. Karena sebentar lagi aku akan mengikuti lomba. Kamu tahu kan, aku selalu kalah dari mu? Jadi aku akan belajar lebih keras untuk bisa mengalahkanmu."

Setelah mengatakan itu, dia pergi sambil memalingkan wajahnya. Lalu aku melangkah ke ruang guru dan berniat ingin bercerita dengan wali kelas ku. Aku berharap dia bisa mendengarkan ku dan membantu ku. Tapi ketika aku menghampirinya, guruku malah berkata,

"Hei, kenapa kamu disini? Sana belajar! Kamu kan sebentar lagi akan mengikuti lomba. Bapak sedang sibuk mempersiapkan perlombaan untuk mu. Kamu tahu kan bapak harus terus melatih mu? Jadi kembalilah ke kelas. Kamu harus menjadi juara lagi dan mengharumkan nama sekolah kita lagi."

"Baik pak." Jawab ku dengan suara rendah.

Aku pun kembali ke ruang kelas. Berjalan sambil tertunduk seolah memundak beban berat. Pelan-pelan aku melintasi lorong sekolah sambil terus berpikir.

Sampai tiba-tiba seorang siswa berteriak pada ku.

"Hei, sang juara! Kamu kenapa? Kenapa jalan mu loyo sekali hahahaha...."

Dia dan teman-temannya menertawai ku seolah aku adalah lelucon bagi mereka. Mereka tidak tahu bahwa aku sangat menderita dan tertekan. Meski aku bisa meraih medali di setiap lomba, tapi itu tak berarti bagi ku. Karena yang ku butuhkan hanyalah pengakuan dari kedua orangtua ku dan juga cinta dan kasih sayang.

Aku tidak mengerti kenapa ada sebuah perbedaan bagi dua saudara sedarah. Apa arti semua itu?

Siang itu aku menjadi tidak bersemangat. Maka aku memutuskan untuk cabut dari sekolah dan tidak mengikuti pelajaran seperti yang guru ku inginkan. Untuk pertama kalinya dalam hidup ku aku meninggalkan pelajaran yang membuat nama ku disanjung. Dan nama sekolah dipuji banyak orang.

Aku pergi dan berbohong kepada penjaga. Aku berjalan terus mengikuti keinginan hati yang tidak pasti. Entah kemana kaki ku akan membawa ku.

Saat berjalan tak tentu arah, tiba-tiba seseorang mengagetkan ku dan berteriak kencang.

"Hei, apa kau sudah gila? Kenapa kau tidak memperhatikan jalan? Kau tahu kau hampir saja mati. Dasar anak nakal."

Tapi aku hanya menatapnya saja, lalu pergi.

Aku pergi ke sebuah taman bermain dan melihat anak-anak kecil bermain-main disana. Mereka tertawa, berlarian, dan didampingi orangtua mereka.

Aku terus memandangi mereka sambil duduk di ayunan di taman itu. Sesekali aku menghayal betapa indahnya jika aku bisa menjadi anak mereka.

Di taman itu, tiba-tiba seseorang yang tak dikenal datang dan duduk di sebelah ku dan berkata,

"Hei, kenapa wajahmu murung? Dan kenapa kamu disini? Bukankah seharusnya kamu berada di sekolah?"

Aku diam dan menatapnya berbicara.

"Hei kenapa kamu diam saja?"

Aku tidak menjawabnya sedikitpun lalu pergi meninggalkannya.

Orang itu memanggil ku tapi aku terus berjalan dan sesekali melihat ke belakang.