Kedatangan Bela bersama ucapan percaya dirinya telah menikamku pada situasi menyesalkan. Kenapa aku harus menaruh suka pada suami sementara ini? Aku terjebak oleh jeratan yang dibuat oleh keluargaku yang mengenal mereka semua.
Bela menyorot visus ke arahku, menjatuhkan dua tangan hingga terempas pelan. Membalikkan badan tidak memedulikan posisiku yang menjadi tuan rumah. Dia menginjakkan kakinya ke tengah ruangan, menduduki kursi dengan santai dan tenang.
Wajahnya seakan tidak berdosa tanpa harus memperhatikan ke wajahku. Sementara aku yang tersinggung harus menahan rasa sakit karena ucapannya, bibirku sedikit menipis sambil menggerutu dalam hati.
'Emang lo pikir gue suka sama suami lo, nih orang pede amat ngomong kayak gitu. Ngeselin!'
Mataku naik mengarah dua tatapan santainya, kali ini giliranku menyorot dengan menikam penglihatan bersaing.
"Kenapa? Lo nggak suka kalo gue dateng sepagi ini. Udah jam sepuluh kok!" tunjuk Bela mengarah dinding belakang—tempat posisiku berada.
Kepalaku spontan menoleh karena dia menunjuk angka yang ada di balik punggungku. Jam dinding yang memang sudah menunjukkan kalau hari semakin terik. Dengan pelannya aku berbalik dan masih tetap berdiri tegak untuk mengawasi pergerakan istri sah Jose.
"Kenapa lo ke sini? Apa cuma pengen ngomong yang tadi doang?" tanyaku sambil mengerutkan kening.
Telingaku hendak bersiap mendengar ucapan istri sah Jose ini. Rupanya memang lumayan, berkelas tinggi dengan penampilan yang sudah tidak diragukan lagi. Bela yang sempat duduk akhirnya kembali beranjak mendekati posisiku berada.
Kami hampir sama tinggi, saling menatap penuh. Tapi tatapan Bela lebih gesit dariku, sedangkan aku hanya bisa menahan emosi memualkan.
Bela mengacungkan jemarinya lalu menekan bagian bahuku, "Ya, gue dateng cuma pengen ngomong itu ke e lo. Tapi, gue juga pengen tahu banyak hal tentang hubungan kalian berdua. Gue udah baca perjanjian pernikahan kalian. Kita berdua senasib karena sama-sama dibodohi."
Bela memundurkan kepalanya, kembali menatapku sendu, berubah. Ketika tadi dia harus menatapku tegas, kali ini dia melenturkan kepercayaan diri. Matanya berkedip lemah, bibir bergetar pelan, hingga tak sanggup menatapku lama.
Dia melakukannya seolah-olah menyimpan kepedihan. "Ya, gue rasa kita senasib."
Aku memutar pandanganku pelan, mengernyitkan dahi, lalu berani berucap. "Tenang aja! Setelah kontrak itu berakhir, gue juga pergi dari sini. Gue juga nggak akan naruh suka sama suami e lo, gue punya pilihan sendiri buat kehidupan nanti."
Hening.
Setelah ucapan ini, kami menciptakan keheningan di tengah ruang tamu minimalis. Kakiku bahkan tidak bergerak dan berbalik, wajahku memutar ke arah sofa sambil terdiam sesaat. Bela merunduk perlahan, mendekap dua tangannya, sampai-sampai tas tangan hampir merosot jatuh. Dengan cepat dia berbalik, lalu aku pun menoleh karena pergerakannya.
Bela mendatarkan sebelah tangannya, memberi seulas senyum kecil, tipis dan sedikit memiringkan wajah. "Mungkin, kita bisa jadi teman, teman istri Jose. Menjalani hubungan baik karena kontrak yang telah berjalan satu minggu."
Apa ini?
Bela ingin aku berjabat tangan dengannya, apa aku harus menerima jabatan atau malah menolaknya? Karena keinginan bersahabat, jemariku mencoba terangkat pelan. Walau hatiku sempat tersinggung, merasa hilang karena ukiran senyuman wanita ini.
Tanganku jatuh dan menyambut jemarinya, Bela mengukir raut wajahnya begitu hangat. Entah dia memaksa atau tidak? Tapi aku sudah menyambut dan menerima kebaikan hatinya yang terpendam.
Bela menarik jemarinya, memudarkan senyuman sambil mendongakkan dagunya ke atas langit ruangan. "Gue nggak bisa lama-lama. Gue bakal dateng lagi ke sini buat ngelanjutin pembicaraan tadi."
Setelah dia berkata hangat dan berjabat tangan, aku mengikuti langkah wanita ini sampai ke depan pintu rumah utama. Perintah hatiku untuk segera menutup pintu perlahan dan rapat. Kepalaku merunduk pelan, mendengus napas panjang.
Sebelah tanganku mengusap dada, membalikkan badan untuk mendekati posisi lantai lebih tinggi. Apa maksud dari kedatangan Bela sebenarnya?
Aku bahkan tidak mengetahui dengan niatnya selama ini.
Dua jemariku jatuh ke atas meja, menatap bayangan berkilauan di antara lantai meja batu. Tiba-tiba saja kedatangan Bela dipertanyakan, diawali dengan kata menyesakkan, tetapi berakhir dengan tawaran baik hatinya.
"Apa sih mau nya mereka ke gue?"
Suaraku begitu lirih, daguku terdongak. Kemudian memaksa tubuhku bergerak untuk meninggalkan ruangan dapur menuju anak tangga. Langkahku gesit menaiki anak tangga menyusuri lantai kedua.
Karena kesendirian ini, aku digelutu oleh kejenuhan. Kakiku mendekati ruang kamar kecil tepat di sudut ruangan. Ruangan yang tidak terlalu luas, ranjang ukuran satu orang, sisi jendela terbuka dengan sorotan kehangatan cahaya terik matahari pagi menjelang siang.
Jemariku meraih ponsel di atas meja, siap untuk melakukan tugas luangku. Menulis. Aku lebih suka menulis ketika pikiranku sedang tenang dan baik. Tapi kali ini tidak, aku baru saja mendapati kejadian yang tidak mengenakkan. Karena ucapan wanita tadi, aku merasa sesak.
Jemariku meremas pena dengan kuat, seperti akan patah. Nyatanya, aku tidak akan mampu meretakkan batang pena yang terbuat dari plastik padat ini.
Kepalaku malah jatuh, meringis seorang diri. Harus apa dan bagaimana? Kepalaku miring, tak sengaja menatap kartu nama milik seseorang semalam. Pria yang menabrakku dan mengenalku sekitar lima tahun yang lalu.
Jemariku meraba kartu nama berwarna putih tersebut, kepalaku tegak berdiri perlahan. Mataku memperhatikan kartu nama itu dengan saksama. Mungkin, di sana ada jawaban yang bisa aku capai.
"Kira-kira dia siapa sih? Kok dia ngenalin gue? Lima tahun yang lalu—"
Kepalaku mulai terdongak menatap langit-langit ruang kamar. Berusaha memutar pergerakan waktu menuju kejadian lima tahun yang lalu.
***
Aku mengenakan gaun mini dan panjang, kaki panjang ini melangkah pelan, anggun dan penuh sandiwara. Daguku sedikit terangkat, berjalan mengitari lantai bergaris putih memanjang. Semua orang telah bersorak dan menatap kagum.
Aku sungguh tidak peduli dengan langkahku yang terjadi begitu pelan dan anggun. Pakaian ini sedikit terbuka di bagian bahu, percaya diri seakan benar-benar terkenal.
Namun sayang, kakiku tersandung oleh sesuatu di sana. Tubuhku tak seimbang, roboh dan jatuh ke dalam pangkuan seorang pria. Dia, dia yang mirip dengan pria semalam. Dari atas panggung bergaya itu, aku melompat terkejut karena ada yang mengaitkan kakiku.
Pesonaku hilang dalam sekejap, mereka tercengang mengeluarkan suara riuh. Suara itu menggeliat malu, sampai-sampai aku harus menutup mata.
***
Aku tersadar, dua tanganku menutup wajahku karena malu. Kejadian lima tahun lalu itu membuatku malu seumur hidup.
"Nggak boleh! Itu buat gue malu." Kepalaku menggeleng cepat, mencoba membuka bagian wajahku yang hanya seorang diri di dalam kamar.
Kembali melirik pelan kartu nama yang tertera nama seorang pria. "Tapi, kejadian itu buat gue inget kalau gue emang mau jadi artis, jadi dia orangnya!"
Bersama seruan ini, aku merampas kartu nama beserta ponsel lama. Kakiku terbawa oleh pikiran dan niatku meninggalkan meja belajar yang berdempetan dengan jendela kamar.
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!
Creation is hard, cheer me up!
I tagged this book, come and support me with a thumbs up!
Like it ? Add to library!
Have some idea about my story? Comment it and let me know.