Aku yang sudah menulis beberapa menit berlalu, rasanya jemariku sedikit pegal. Apa lagi dua halaman penuh menjadi coretan pena yang berkesan di hati. Pikiran dan tanganku seolah-olah bekerja sama. Ini seperti air mengalir di atas tanah berbatu.
Memang ada sedikit bergelombang, tetapi air itu terus mengalir dengan deras. Kepuasanku untuk melupakan kejenuhan adalah tulisan. Maka, tulisan adalah pelarianku untuk menenangkan lagi menyenangkan.
Sulit untuk membuat diriku tenang, terhibur dengan cara sendiri. Karena hobiku masih sama seperti dulu, untuk apa aku lepas begitu saja. Membaca dan menulis adalah satu hobi yang tidak terpisahkan.
Mereka ada hubungan erat yang sering berbolak-balik. Setelah dibaca, lalu dikenang, dan dipahami, biasanya aku menulis ulang dengan versi gaya penulisanku. Tapi kali ini berbeda, aku menceritakan cerita baru seorang diri.
Cerita tentang gadis yang harus menjalani hidupnya seorang diri di ujung desa paling terpencil. Dia harus menyamar menjadi pria yang kuat, sekaligus ibu dalam kesehariannya. Untuk memasak, makan, minum, beserta memenuhi kebutuhan sehari-hari. Semua dia lakukan seorang diri tanpa adanya bantuan orang lain.
Sanak saudara, bahkan orang di sekitar dirinya hanyalah beberapa pohon dan aliran sungai dengan gubuk tua di atas pohon.
Satu cerita sudah selesai aku karang, aku menutupnya dengan ending yang bahagia. Tiga halaman lebih, rasanya jemariku sudah kaku tidak bisa bergerak sama sekali.
Berikut yang kutulis belumlah selesai. Ini hanya berupa outline kasar, premis, serta plot yang akan menjadi buku. Dua tanganku merentang ke atas bahu sambil menguap selebarnya.
"Huaaaa!!!"
Tak sengaja mataku berpindah penglihatan pada sisi jam dinding di kamar tidur sempit ini. Di sana, pukul sudah menunjukkan 01.45 malam. Mataku langsung terlonjak, dua kakiku berdiri dari kursi meja.
"Udah malem??" Mulutku layu, lalu geloyor ke arah tempat tidur. Tidak peduli tubuhku harus jatuh terngkurap menyambut kasur yang empuk berukuran satu orang.
Dua tanganku merentang ke dua samping yang berbeda, dua mataku terpejam sesaat. Dengan sengaja, aku membalikkan posisi tubuhku untuk beranjak kemudian mematikan lampu yang paling terang di atas posisi kepalaku. Tentang cerita yang akan segera aku tulis, yakni seorang gadis bertemu dengan seorang pria tampan dan baik, mereka menikah dan hidup bersama di hutan. Kisah seorang gadis desa dengan seorang pria yang tersesat itu menjadi kenangan malam.
Bahkan sebuah mimpi yang berhubungan dengan isi cerita pun ikut bersamaku.
Lantas, apa yang harus aku lakukan? Mataku sudah layu, sayup terang lampu tidur masih menyala di atas meja tempat aku menulis. Tidak sanggup lagi untuk merangkak ke sana, hanya ada kelopak lemah dan terpejam.
***
Tidak ada derap kaki di rumah ini. Walau terlihat mewah, elegan, dan minimalis. Tapi aku tidak melihat orang-orang yang berisik di dalam rumah. Jari-jemariku mengaduk kuah dalam panci panas, sedangkan tatapanku menyorot ke seluruh ruangan.
Ini sepi.
Semalam aku bermimpi sama seperti outline yang aku tulis. Hidup seorang gadis yang sendirian, lalu menikah dengan pria asing. Tapi, di dalam cerita itu sangatlah berbeda, tidak seperti kenyataanku.
Menikah dengan orang kaya, tampan, dingin, tidak jujur, ketus, suka menyalak, menatap tajam, sangat terlihat keburukan di raut wajah suami sementara itu.
Kepalaku menggeleng, tak ingin mengingat adegan kasar ketika dia menyeretku ke dinding anak tangga.
"Ih, ngapain juga gue inget sih?! Ngeresahin aja."
Aku memindahkan panci panas ke atas meja yang sudah dilapisi oleh tatakan rotan bulat.
Sarapan pagi sudah disajikan dengan baik, lidahku selalu ingin menikmati kuah hangat di pagi hari. Memang sudah biasa, tidak seperti orang-orang yang selalu makan roti.
Aku hanya perlu nasi putih dengan dua sendok makan, beserta aroma sup atau makanan berkuah lainnya. Pas di perut, hangat di mulut, rasanya enak.
Beberapa suap nasi sudah cukup bagiku mengawali pagi. Tiba-tiba kepalaku berputar mencari-cari sebuah benda. "Hp gue," ucapku. Sebelah tangan kananku meraih gelas berisi air putih, lalu menenggaknya.
Kakiku merangkak ke arah meja cermin di tengah, aku meraih ponsel pintar yang sebenarnya bukanlah milikku. "Gue lupa minta hp gue," keluhku terpaku mengingat.
Ponsel baru ini masih saja kupegang dan malah memandang ke lain arah. Pikiranku mengacu pada kenangan di ponsel lama. Bibirku mengerucut kecil, kesal karena tindakan Jose terlalu berlebihan.
"Lagian istrinya juga udah tahu, mending gue telpon aja dia!" putusku tak pikir panjang.
Jemariku akhirnya bergerak gesit di atas layar sentuh, menggeser dan mencari nama suami sementara. Ini benar-benar ponsel meresahkan, dia tidak menaruh satu pun nomor ponsel ibu mau pun teman-temanku. Menyusahkan.
Tuuut!
Akhirnya berhasil untuk memanggil dirinya sepagi ini. Aku sudah tidak peduli lagi, deringan ponsel di kejauhan masih berbunyi dan menunggu diangkat.
("Ya, kenapa?!")
Dia mengangkat teleponku seketika, sedangkan mataku mencelang sesaat dan tidak sanggup menyahut dengan cepat.
("Eh, cepetan bicara! Lo mau apa? Jangan bikin gue terlambat kerja!")
Suara ketus itu tidak lain kalau Jose mulai berangkat kerja.
("Gue mau minta hp gue yang kemarin.")
Akhirnya suaraku menyahut dengan tegas.
("Ambil aja ke Yoanto atau Agam. Mereka berdua yang pegang, bilang aja lo mau hpnya. Puas kan?!")
Dia menutup telepon dariku, begitu ketus dan kasarnya dia menyahut dengan nada yang sedikit menyinggung. Pernyataan dan jawaban Jose membuatku semakin memerah padam. Tanganku yang masih menopang ponsel akhirnya turun perlahan.
"Dasar cowok brengsek!" ketusku seorang diri.
Percuma, dia juga tidak bisa mendengar ucapan kesalku. Mataku merangkak bebas ke arah ponsel baru ini. Dia membeli beberapa perlengkapan rumah, mobil, dan ponsel baru hanya buat istri baru seperti diriku.
Dia memang pria yang boros harta! Dia adalah CEO yang paling menyebalkan. Kupikir orang tampan sepertinya adalah orang yang sangat ramah, ternyata aku salah. Tebakanku hanya sebatas khayalan saja.
Aku melompat mengarah ambang pintu. Kuharap dua pengawal itu sudah datang menghampiriku. Jadwal mengemudi sudah ditentukan hari ini. Aku siap menjalani untuk menerima pelajaran mengemudi mulai sekarang.
Kenapa tidak? Ini kesempatan bagus, bukan?
Akhirnya pintu rumah terbuka, terlihat taman hijau dengan lampu taman telah padam. Namun, kepalaku malah berputar ke kiri dan kanan. Dengan terpaksa, kakiku mendekati gerbang pintu di dekat jalan.
Tidak kusangka, dua pria itu akhirnya datang juga. Dia menggunakan mobil baru berukuran mini. Ini cocok untuk diriku, yang senantiasa menjadi wanita feminim. Dua pengawal itu keluar sambil menyambut diriku dengan tundukannya.
"Nona Ocha, hari ini kita belajar mengemudi, ya. Bersiaplah dari sekarang!" Yoanto berbicara dengan raut tegangnya.
Mereka sama persis dengan Jose, jika bos orang dingin, para bawahan pun ikut dingin. Walau sebenarnya, mereka tidak pernah sama.
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!
Creation is hard, cheer me up!
I tagged this book, come and support me with a thumbs up!
Like it ? Add to library!
Have some idea about my story? Comment it and let me know.