"Tunggu, tunggu, siapa itu nama kamu tadi?"
Simon, si CEO Berondong menganga tak percaya. Asisten pribadi yang baru bekerja, kacamatanya macam pantat botol, menyebut nama musykil di telinga sang cowok ganteng. Mana mungkin sih kebetulan gitu? Suer, itu nama yang dikasihkan bokap nyokap lo? Simon membatin dan mengukur-ukur tubuh jangkung berbalut setelan hitam-hitam itu. Kayaknya tingginya hampir sama kayak gue, Simon membatin.
"Nama saya Simona, Pak. Sumpah, itu nama asli saya."
Buset. Nama bosnya Simon, asistennya Simona. Panggilannya Mon? Jujur Simon benci kata mon yang mengingatkannya pada monyet. Elo kaya gak, Mon? Iya lah, kaya, tapi kaya monyet!
Simon dulunya kaya, putra pemilik gerai berondong Poppin Corn yang bercokol di bioskop-bioskop berkursi empuk. Tahu kan jagung berondong kayak apa? Buat kalian yang kebule-bulean pasti ngeh dengan nama seksi yang satu ini, popcorn! Itu dia bisnis keluarga Simon turun temurun, sejak kakek dari kakeknya masih hidup, mereka sudah jualan popcorn di bioskop-bioskop se-Nusantara. Sayangnya selera orang berganti dan zaman berubah dengan cepat.
Tahu-tahu bioskop tak diminati lagi di tahun 2030 ini. Hanya kalangan tertentu yang menonton bioskop belakangan ini. Cuma segelintir bioskop eksklusif berlabel VIP masih bertahan. Juga satu bioskop vintage yang beroperasi di Kota Tua, itulah sisa-sisa kejayaan layar lebar yang tak mungkin lagi berkibar.
Tampuk pimpinan beralih ke Simon terhitung hari ini. Ayahnya darah tinggi dan stres berat. Simon baru 23 tahun bulan depan. Terlalu muda untuk sebutan CEO perusahaan. Ah, tetapi tugasnya enteng, kok. Paling menyiapkan perusahaan untuk pailit in peace. Rest in peace, istilah manusia yang mangkat, meskipun perusahaan termasuk benda mati, tetapi boleh dikatakan hidup, karena dulu hidup keluarga Simon bergantung pada perusahaan popcorn ini.
Tiba-tiba ibu Simon mengutus asisten cupu untuk membantu urusan pailit perusahaan mereka. Simona yang kacamatanya sekeren pantat botol dan baju kantornya setrendi vintage masa 80'an dulu. Mantap bana!
"Jadi kamu 29 tahun? Bagus, berarti pengalamanmu matang dan serba bisa, kan? Soalnya kamu bakal jadi one stop shopping di sini. Siap?" Simon berujar sambil mesem-mesem sekenanya.
"Hah? Kantor kosong begini, kok bisa buat shopping, Pak?" Simona tercengang hingga lensa tebalnya melorot seketika.
"Ouh, sorry. Maksudnya one stop solution. Soalnya kamu dituntut serba bisa sebagai satu-satunya karyawan di sini. Jangan banyak menuntut, diam saja, dan siap-siap angkat kaki. Deal?"
"Apa tak ada jalan lain, Pak?"
"Jalan ke jurang, maksud kamu? Ya, paling angkat tangan aja solusinya. Perusahaan kan memang mati hidup sekarang. Mati pun tak ada bedanya lagi."
"Angkat tangan maksudnya menyerah, Pak? Kalau sekarat berarti masih hidup. Ada kemungkinan hidup lagi, lain halnya kalau sudah mati betulan, Pak. Napasnya sudah tak ada." Simona menceramahi bos barunya.
"Eh, stop. Kamu gak usah lanjut. Aku paling alergi sama pelajaran Biologi. Dulu gurunya ngeselin banget."
"Maksudnya saya tak lanjut kerja alias di-PHK, Pak?"
"Duh, bukan, bukan. Maksudnya kamu gak usah lanjut berceramah soal hidup mati gitu. Deal, kan?"
Siap, Pak. Lumayan, untuk ukuran CEO gembel macam Simon, masih bisa merasakan disapa 'pak' dengan hormat. Anak buah satu-satunya di kantor pailit ini lumayan menghibur Simon, terkecuali untuk namanya. Simona. Setelah orat-oret ngawur di sehelaian kertas, Simon mantap dengan keputusan akbarnya.
"Ehm. Kamu bakal kusapa Mona, ya, dan kamu kularang panggil aku Pak Mon. Panggil aku Pak saja, oke?"
"Siap. Dimengerti Pak Mon. Ups, kalau begitu tugas saya selanjutnya apa, Pak Sim?"
Hah? Pak Sim? SIM yang artinya Surat Izin Mengemudi? Duh, perempuan tuh merepotkan banget, deh! Semua sama kayak nyokap gue! Simon menggebrak meja kerjanya keras-keras. Wadidaw! Akibatnya ia malah kesakitan sendiri.