Lelah, setelah pulang kerja. Seharusnya malam itu dia langsung tidur saja. Tapi karena kedatangan Nana, sahabatnya yang mengajaknya pergi ke kelab malam itu. Membuatnya mengurungkan diri untuk tidur.
"Ada Rafael," bisik Nana dengan antusias.
Siapa yang tidak tahu Rafael? Lelaki yang menjadi idola saat ini, yang digandrungi para idola perempuan dari remaja sampai bibi tetangga sebelah.
"Serius?" Mata Karen membulat sempurna, seperti anak simpanse yang baru saja diberikan pisang oleh tuannya.
"Tentu saja, maka dari itu. Ayo kita pergi malam ini, apa kau tidak bosan di rumah terus? Bekerja tidur bekerja tidur, mau kau apakan uang uang itu?" ledek Nana.
Karen berpikir. Rafael jarang ada di kota kecilnya. Kota pinggiran yang jauh dari ingar bingar. Di kota Karen, hanya ada satu kelab malam, satu mall dan satu minimarket.
Kota—bukan, sebenarnya jika harus ke kota Karen, kalian harus menaiki kapal feri agar sampai di sana.
"Apa dia sedang liburan?" tanya Karen pada Nana.
"Bisa jadi, ini aku yang memberitahu temanku yang bekerja di sana. Ini rahasia, sih. Tapi kalau kau tak mau aku tak memaksamu."
Nana hendak berdiri. Namun wajah Karen menampakan jika dia sangat ingin pergi ke sana.
Tapi untuk keluar dari rumah itu, dia perlu ekstra kerja keras karena kedua orang tuanya tidak menyukai anaknya keluyuran tengah malam.
Maklum saja, orangtua zaman dulu selalu menanamkan hal itu pada anaknya. Agar tidak terjerumus ke kehidupan nakal.
Kelab malam itu sebenarnya ada juga karena seringa da turis datang ke sana. Tidak sebanyak turis yang sedang berlibur ke pulau, hanya saja mereka ingin ke sana karena jauh dari keramaian.
"Bantu aku keluar dari sini, ibuku akan membunuhku kalau ketahuan aku ke kelab malam. Tapi ngomong ngomong, apakah Rafael di kota ini lama?"
"Sepertinya iya, dia sudah memesan hotel sejak satu hari yang lalu. Dan rencana check out dua hari lagi."
"Wah, dari mana kau tahu hal itu?"
"Temanku yang bekerja di hotel mengatakannya kepadaku."
"Enaknya?" Karen berkata dengan nada iri. Teman teman Nana semuanya tahu jika Rafael ada di sana lebih cepat dari pada dia.
"Ada Liam juga," lanjut Nana menambah keirian pada diri Karen.
**
"Kalian mau menginap? Ken bersama kalian tidak?" tanya ibu Karen ketika dia meminta izin ibunya untuk pergi keluar dan menginap di rumah Nana.
"Tidak ada, lagi pula kenapa harus ada dia sih Bu?"
"Dia adalah lelaki yang akan menjagamu, jadi tentu saja dia harus ada—"
"Bu tolong lah—"
"Tidak, kalau Ken tidak bersama kalian. Maka kalian tidak usah pergi."
Dan itu sudah seperti keputusan terakhir yang tidak dapat diganggu gugat. Jadi mau tak mau, Karen harus menurutinya.
Ken dipanggil ibu Karen malam itu, kebetulan dia adalah tetangga Karen sejak kecil. Dan kebetulan juga sudah menyukai perempuan itu. Jadi hanya butuh satu menit bagi lelaki itu untuk memelesat sampai di depan hidung Karen.
"Saya akan menjaga Karen seperti boneka kaca tante," kata Ken dengan penuh semangat.
"Baiklah kalau begitu, kalian bisa pergi."
Mereka bertiga akhirnya pergi, di dalam mobil rupanya sudah ada Galen, salah satu teman mereka juga.
Sebenarnya pas jika dikatakan kencan ganda. Tapi sayangnya, Karen sama sekali tidak menyukai Ken. Dia hanya menganggap lelaki itu sebagai sahabatnya saja tidak lebih.
Ken menyadari jika Karen sangat tergila gila pada dua lelaki yang bernama Rafael dan Liam itu. Bahkan dulu dia menemani konser mereka dengan alasan menginap di rumah Nana. Padahal sebenarnya mereka pergi ke luar dari sana.
Ibu Karen tentu saja setuju, karena dia sudah begitu percaya dengan Ken.
"Sudah berumur dua puluh satu tahun, tapi keluar saja serumit ini," keluh Karen.
"Ibumu seperti itu karena kamu adalah anak satu satunnya, jadi berhentilah mengeluh," sahut Ken.
"Kalian akan pergi ke kelab malam untuk menemui dua monyet itu, kan?" sindir Ken tak suka.
"Mereka bahkan lebih tampan daripada kau."
"Hmm terima kasih," sahut Ken. Dia tidak menunjukan betapa dia menyukai Karen. Malahan dia menunjukan sisi buruknya di depan Karen.
"Sudahlah, jarang kan mereka ada di sini." Nana menoleh ke belakang, tersenyum pada Karen.
"Tapi bagaimana caranya agar aku bisa melihatnya dengan dekat?" tanya Karen ragu.
"Tenang saja aku sudah memiliki rencana." Nana tersenyum jumawa.
Ken menatap mereka berdua dengan tidak nyaman. Dia merasakan jika apa yang mereka rencanakan itu adalah hal yang tidak baik.
**
Karen memasuki sebuah kubikel, dengan tangan gemetar dia membawakan minuman yang baru untuk Rafael dan Liam.
Mereka berdua, Rafael dan Liam sedang berbicara amat serius. Ketika Karen muncul, mereka berhenti kemudian tersenyum pada Karen.
"Kau masih baru ya?" tebak Rafael.
Karen menaikkan kedua alisnya. ",,,Iya"
"Pantas saja masih kaku," kekeh Rafael. Karen dapat melihat lesung pipi itu, jantungnya berdebar tak karuan dan hampir saja meledak di sana.
"Jangan katakan pada siapa siapa kalau kami berdua ada di sini ya, kami sedang liburan jadi tak mau diganggu," kata Rafael lagi.
Karen hanya mengangguk.
Liam sejak tadi hanya diam. Berbeda saat dia berada di atas panggung lelaki itu terkesan pendiam dan tak banyak bicara.
Karen yang terbengong sesaat tanpa sengaja, menjatuhkan asbak di atas kakinya.
Rafael langsung bangkit, kemudian memungut asbak tersebut.
"Kau tak apa apa?" tanya Rafael khawatir.
"Ti—tidak apa apa," jawab Karen gugup.
"Tapi sepertinya kakimu bengkak. Ini asbak lumayan berat lho."
Dan Rafael seperti dia yang biasanya, dia yang suka menggoda penggemarnya hingga mudah membuat jatuh cinta padanya.
Rafael mengambil es batu kemudian dia bebatkan pada sapu tangannya. Ia melepas sepatu tipis milik Karen kemudian mengompresnya.
"Bisakah kalian tidak beradegan seperti itu di depanku?" Liam berkata dengan ketus.
Karen mendongak, merasakan tatapan tajam dari Liam yang menusuk.
"Kau selalu seperti itu, baik kepada semua orang sampai mereka salah mengartikannya," gerutu Liam.
Liam ternyata seperti anak kecil, Karen mengatakannya dalam hati.
"Aku harap kamu tidak membenci dia, dia memang seperti itu," bisik Rafael. Wajah mereka berdua berdekatan, mungkin menyisakan beberapa senti saja.
Karen mengangguk.
sementara di tempat lain, Ken tidak sabar menunggu Karen keluar dari kubikel tersebut.
"Kau tidak bisa ke sana sekarang. Berikan kesempatan Karen dong." Nana menaik kerah Ken, lelaki itu memundurkan langkahnya dengan terpaksa.
"Bagaimana kalau mereka berdua berbuat macam macam."
"Tak akan."
"Aku—"
"Kalau kau begitu mencemaskannya sebaiknya kau nikahi saja Karen, aku tahu kau menyukainya."
Mata Ken membulat.
"Itu sudah jadi rahasia umum lho."