webnovel

Sempurna

"Sar, ayo pulang!" Rembulan menepuk lengan Sarah yang sedang memegang gelas. Wajahnya terlihat memerah, Rembulan nggak yakin Sarah bisa pulang sendiri saat melihat keadaannya seperti ini. Sarah mabuk dan Rembulan khawatir melepas Sarah.

Rembulan hanya bisa menghembuskan napas saat Sarah terkekeh melihat wajahnya. "Kalau melihat caramu menghembuskan napas, dengan hembusan napasmu, kamu bisa membelah laut merah."

"Aku bukan Nabi Musa." Rembulan menarik tubuh Sarah dan mencoba memapahnya. Dengan pakaian seperti ini dan sepatu berhak tinggi, sangat sulit bagi Rembulan melakukannya. Apalagi tubuh Sarah terasa berat.

"Kenapa kalian biarkan dia sampai mabuk begini?" Rembulan berkata ketus kepada teman-teman Sarah, matanya memancarkan kemarahan.

Rembulan tak habis pikir dengan teman-teman yang sangat sembrono membiarkan seorang perempuan sampai semabuk ini. Raditya  datang menghampiri, lalu membantu Rembulan memapah Sarah.

"Kamu yang akan mengantar Sarah?" Rembulan hanya mengangguk, dia sedang malas berbicara dengan Raditya.

"Mana kunci mobil Sarah, biar aku yang nyetir, nanti kita berdua bisa pulang sama-sama."

"Nggak perlu, nanti merepotkan kamu."

"Aku nggak bisa membiarkan kalian berdua pulang tanpa pengawalan."

"Aku bisa nyetir Dit! Lagipula..." Rembulan memalingkan wajahnya, melihat ke arah Venita yang berdiri agak jauh dari mereka berdua dan sedang berbicara dengan seseorang.

"Aku akan bicara dengannya, dia pasti mengerti. Tunggu disini !" Raditya berjalan, menghampiri Venita. Rembulan hanya melihat dari kejauhan.

Venita melipat tangannya di depan dada. Rembulan membaca gestur dan raut wajah Venita yang tampak kesal. Raditya terlihat menggerak-gerakkan tangannya, sepertinya Raditya berusaha keras untuk bisa mengantarkan mereka berdua.

Laki-laki ini terlalu keras kepala! Aku bilang bisa mengantar Sarah sendiri, mengapa dia tidak percaya dengan kemampuanku ?

***

Raditya nyaris berlari saat datang kepadanya, senyumnya mengembang, "Ayo, aku antar!"

Rembulan melihat Sarah sudah tidur dengan nyaman di jok belakang. Lagi-lagi dia menghembuskan napas.

"Kamu seharusnya tidak perlu repot-repot mengantarkan kami. Sepertinya teman kencanmu tidak suka." Rembulan memasang raut wajah tidak suka.

"Venita? Nggak apa-apa, aku sudah bicara dan dia cukup mengerti. Hanya sedikit terkejut, aku pulang secepat ini." Raditya seakan tidak peduli dengan ekspresi Rembulan dan nada bicaranya yang sedikit ketus.

"Oh !"

"Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Venita. Dia teman kerjaku, itu saja." Raditya melirik Rembulan yang sedang menatap lurus ke jalan.

"Aku rasa kamu tidak perlu menjelaskan hubunganmu dengan Venita kepadaku. Kita berdua juga hanya tetangga, itu saja." Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Rembulan, dan dia memaki di dalam hati.

Mengapa aku harus bicara seperti itu? Mulutku ini terlalu lancang! Apa yang aku dapatkan dengan bicara seperti itu?

Rembulan melirik Raditya, mencoba membaca raut wajahnya. Wajahnya tetap terlihat tenang, bahkan Rembulan bisa melihat Raditya sedikit tersenyum. Oh Tuhan, apa yang dipikirkan laki-laki itu?

***

Sepertinya perempuan yang duduk disampingku ini sedikit cemburu. Raditya berkata dalam hati. Dia sedari tadi membaca ekspresi Rembulan, membaca gerak tubuhnya dan saat mendengarkan Rembulan menjawab dengan sedikit ketus. Raditya nyaris terbahak, namun ditahannya, dia hanya bisa tersenyum tipis. Dia yakin Rembulan cemburu.

***

Venita memasang wajah cemberut, ketika melihat Raditya pergi dengan perempuan itu. Padahal dia sudah punya banyak rencana untuk menghabiskan malam ini bersama Raditya. Perempuan itu merusak semuanya.

Tadi dia cukup berbangga saat keluarganya memuji Raditya. Apalagi beberapa sepupunya memandang iri padanya. Raditya "sang idola" berada disisinya. Bahkan setelah Raditya pergi, mereka datang mengelilingi Venita. Meminta cerita lengkapnya. Untuk sementara soal pertunangan Melody terpinggirkan dulu. Ada hal yang lebih seru untuk dibahas, Raditya dan Venita.

"Ven, bakalan masuk berita gosip! Melody kan ngundang temennya yang wartawan juga."

"Venita sih udah biasa digosipin."

"Tapi ini beda, sama Raditya gitu lho."

"Gila lo, berapa cewek yang udah lo singkirkan!"

Semua saling bersahutan, Venita hanya tersenyum lebar menikmati wajah sepupu-sepupunya yang merasa iri.

"Eh, siapa yang diantar sama Raditya? Kok dia malah nggak nganterin lo?"

"Katanya sih tetangganya, lagi mabok, dia gak tega ninggalin."

"Baik banget sih cowok kayak gitu. Ada lagi nggak ya yang kayak Raditya."

"Ngimpi aja Lo !" Venita tertawa terbahak.

Dia tidak peduli bahwa hubungannya dengan Raditya hanya hubungan pertemanan biasa. Dia tidak peduli bahwa Raditya pernah menolaknya. Dia yakin suatu saat dia pasti akan mendapatkan Raditya.

***

"Ada yang salah dengan aku?" Rembulan bertanya pada Raditya yang duduk disampingnya. Setelah pulang mengantar Sarah, mereka berdua memilih naik taksi. Dan Rembulan merasakan kecanggungan yang luar biasa saat harus duduk berdampingan di kursi belakang taksi. Dari tadi Rembulan memilih diam dan memandang lurus ke depan. Saat naik mobil Sarah, masih ada suara musik yang menemani mereka. Namun kali ini yang ada hanya rasa canggung.

Rembulan tahu, Raditya melirik ke arahnya. Mungkin mencoba mengajak Rembulan bicara. Biasanya kalau bertemu selalu ada yang mereka bicarakan. Tapi tidak untuk malam ini. Rembulan sedang tak ingin bicara. Dia juga tak mengerti, kenapa dia jadi begini.

Rembulan mulai jengah, Raditya terus memandang dirinya. Dia merasakan tatapan Raditya yang memandang lekat.

"Nggak ada, menurutku malam ini kamu terlihat sempurna."

"Tadi kamu sudah mengatakannya di pesta."

"Ya, mungkin aku belum bosan untuk mengatakannya."

"Hm, terserah padamu saja. Besok aku sudah berubah menjadi upik abu."

"Dimataku kamu selalu terlihat cantik."

"Mungkin ada yang salah dengan penglihatanmu."

"Aku rasa mataku baik-baik saja."

"Besok coba periksakan ke dokter mata, mungkin dokter akan meresepkan obat untuk matamu."

Raditya tertawa terbahak, "Sampai kapan kamu akan begini?"

"Maksudmu?"

"Marah dan berkata ketus. Ada yang salah dengan diriku?"

Rembulan hanya diam, karena dia memang tidak tahu harus menjawab apa. Mulut dan otaknya sedang tidak dapat diajak bekerjasama.

***

Raditya menggeser duduknya, mendekatkan dirinya pada Rembulan.

"Apakah kamu cemburu?" bisiknya ditelinga Rembulan. Perempuan itu membuang wajahnya. Raditya semakin tersenyum lebar.

"Aku nggak mungkin cemburu denganmu, aku tidak punya hak untuk itu. Kita berdua hanya tetangga, tidak lebih." Terlalu cepat, Rembulan bicara terlalu cepat dan terdengar emosi.

"Kalau kamu cemburu juga nggak apa-apa. Aku suka."

"Aku nggak cemburu!" Suaranya sedikit menghentak.

"Oh...oke. Tapi setidaknya bicaralah padaku. Aku nggak bisa kalau kamu diam terus."

"Nggak ada yang perlu dibicarakan. Aku capek, ngantuk!" Nada suaranya sedikit melunak.

"Aku sudah baca novel yang aku pinjam kemarin, ceritanya menarik." Raditya mulai membahas novel yang kemarin dipinjamnya dari Rembulan. Mungkin kalau membicarakan novel, ketegangan ini bisa mencair. Rembulan mulai melihat ke arahnya.

"Lalu?"

"Ya begitulah, aku suka."

Padahal Raditya belum menyelesaikan membaca novel itu. Bahkan baru beberapa lembar yang dia baca, masih di awal. Namun dia harus terlihat meyakinkan agar hati perempuan yang sedang panas ini bisa mendingin sedikit. Hanya melihat perempuan ini tersenyum saja sudah cukup baginya.