webnovel

SC45 - When the Terra Falling Down

Bumi, tahun 2525 Masehi. Di masa itu kehidupan yang ada sudah sangat tidak terkendali. Kehidupan orang banyak tak lebih baik dari anjing jalanan. Seiring waktu, Bumi tak lagi bersahabat. Eksploitasi berlebihan menghancurkan semua hutan yang ada. Tanah tandus. Sungai mengering, danau menghilang, dan lautan tak lebih dari tempat pembuangan sampah raksasa di mana poluisi dan polutan bercampur baur menjadi racun mematikan. Teknologi memang sudah sangat maju, bahkan perjalanan antar bintang bukanlah sebuah kemustahilan lagi. Dan kala Bumi tak lagi bisa untuk ditinggali, para penguasa baru berbondong-bondong meninggalkan planet kelahiran mereka. Meninggalkan mereka yang tidak berdaya menunggu kematian datang menghampiri. Apakah Bumi akan benar-benar hancur? Lalu, bagaimana dengan nasib mereka yang tertinggal dalam perjuangan mencari keselamatan? Well, temukan semuanya di dalam cerita ini. Selamat membaca.

Ando_Ajo · Ciencia y ficción
Sin suficientes valoraciones
314 Chs

Langkah Selanjutnya

Empat chameleon meluncur beriringan, menuju Kastil Pangandaran, menyusuri tepian pantai yang tak lagi bisa disebut pantai. Seperti ucapan Ryan, terpampang jelas di layar C-Pad meski hanya berupa titik-titik merah, dua chameleon bersisian di depan, diikuti satu chameleon di belakang keduanya. Dan satu chameleon lagi, bertindak sebagai pengawal yang di tengah.

Istri dan anak perempuan Kapten Dharma dalam keadaan terikat di bangku belakang chameleon yang di tengah. Kedua mulut sama-sama tertutup lakban. Dua orang pria di bangku belakang itu mengawasi, sementara seorang lagi di depan.

Jelas raut ketakutan menaungi wajah sang anak—12 tahun, bernama Xian. Ia menyembunyikan ketakutannya di bahu sang ibu. Dan sang ibu—bernama; Yuan Xi—hanya bisa mengumpat perlakuan orang-orang suruhan Penguasa Pangandaran tersebut terhadap diri dan anaknya. Meski, suara yang keluar tak bisa terdengar jelas.

Yuma si pria asal Papua menyiagakan senjata PSG di tangan. Senjata pelontar listrik berukuran besar dengan jenis berbeda dibidikkan mengunci sasaran. Sasarannya, tiga orang yang berada di atas chameleon paling belakang dari rombongan kaki-tangan penguasa Pangandaran tersebut.

Pemuda hitam-manis tersenyum tipis. "Just… go to sleep, baby."

Dan lantas, empat kali Yuma menekan pemicu senjatanya, empat kali pula cahaya biru pendek melesat cepat. Tiga orang pria di atas chameleon paling belakang sama terhenyak. Menggelinjang hebat bersamaan dengan terhentinya laju kendaraan mereka secara tiba-tiba. Jelas sekali Yuma terlihat cukup lihai dan terbiasa dengan hal berbau senjata.

Tiga chameleon di depan tidak menyadari jika rombongan itu telah berkurang. Di persembunyiannya, Yuma sunggingkan senyum mengejek, detik selanjutnya Yuma memacu chameleon-nya menghampiri ketiga pria yang masih menggelinjang.

Kurang dari lima detik, seorang yang berada di atas chameleon di mana istri dan anak Dharma berada, menyadari rekan mereka tidak mengikuti di belakang. Belum lagi keinginannya untuk memberitahukan keadaan mencurigakan itu terlaksana, ia pun harus terperangah saat dua cahaya biru pendek melesat dan menghentikan chameleon rekannya di depan, kiri dan kanan.

"Jahanam…!" teriak laki-laki tersebut.

Ryan dan kawan-kawan segera bertindak, beraksi mendahului.

Laki-laki yang mengumpat tadi berdiri, mengokang senjata dengan cepat. Namun nahas, ia pun harus tersungkur. Seseorang berhasil membekuknya dari belakang. Begitu juga yang terjadi dengan rekannya yang di samping.

Kurang dari satu menit kemudian, chameleon yang membawa anak-istri Dharma telah terkepung oleh rombongan Ryan dan kawan-kawan. Mau tidak mau, pengemudi chameleon tersebut harus menghentikan laju kendaraannya, di bawah ancaman todongan senjata. Namun ia tidak habis akal, tersembunyi dari penglihatan Ryan, Cinnong, Boris, dan Naomi, perlahan satu tangannya bergerak meraih senjata di bawah setang kanan.

"Oi-oi-oi…" Yuma menempelkan moncong senjatanya tepat di kepala belakang pria itu.

Geram, pria itu hanya bisa mengurungkan niatnya. Mengangkat kedua tangan.

"Lu tinggal pilih," sahut Naomi dengan senjata mengarah pasti ke tubuh pria tersebut. "Menggigit bibir elu hingga berdarah, atau… lompat ke tumpukan sampah di bawah sana?"

Tentu saja pria itu sangat mengerti. Terkena sinar biru itu, sama saja dengan sentruman listrik tegangan tinggi yang mau tidak mau akan membuat tubuhnya mengejang tak keruan, alih-alih menahan sakitnya dengan menggigit bibir, memikirkannya saja sudah membuat ia kecut. Tidak ada jalan lain, demi nyawa, akhirnya laki-laki itu memilih untuk melompat keluar. Terjun bebas ke atas tumpukan sampah di permukaan laut.

Begitu pria tersebut menjauh, Naomi dengan sigap melompat ke chameleon tersebut, mengambil alih kemudi. Gadis yang satu ini masih menyempatkan diri untuk menyapa ibu dan anak yang terikat di bangku belakang dengan kedipan sebelah matanya.

"Anda baik-baik saja, Mrs. Yuan?"

Wanita itu palingkan wajahnya ke kanan, mengangguk menanggapi pertanyaan Ryan. Tak lama, Naomi meraih sebilah belati di paha kanannya, lalu memutus tali yang mengikat tangan serta tubuh ibu dan anak perempuan tersebut.

"Terima kasih," ujar Yuan setelah melepas lakban yang mengungkung mulutnya, kemudian membantu melepas lakban di mulut sang anak. "Ka—lian, siapa?"

"Tenang Mrs. Cantik," potong Naomi, dan beralih pada gadis cilik itu. "Don't be afraid," senyumnya lagi. "Anda membawa alat komunikasi?"

Kembali Naomi mengalihkan perhatiannya kepada Yuan. Namun, karena tidak melihat ada satu pun gadget di tangan wanita tersebut—tidak pula pada anak perempuannya, Naomi akhirnya berkata, "Ahh, ya sudahlah," yaa, tentu saja bajingan-bajingan tadi telah merebutnya terlebih dahulu. "Yan," Naomi memandang Ryan.

Ryan mengerti itu, dan menghubungi Dharma.

Bip!

"Ryan, bagaimana?" tanya avatar Captain Dharma di layar virtual gadget di tangan Ryan. "Kalian berhasil?" tanya avatar itu lagi dengan raut kecemasan berlebihan. "Hei! Jawab aku Ryan, jangan diam saja, berengsek!"

Ryan mendengus, menggelengkan kepala. Ia tidak menjawab pertanyaan bernada kekhawatiran dari Dharma itu, ia justru menyerahkan C-Pad di tangan kepada Yuan.

"Silakan."

"Sayang," panggil Yuan mengenali avatar yang muncul di virtaul screen.

"Bagaimana keadaanmu, Sayang?!" tanya Kapten Dharma dengan antusias dan kelegaan yang luar biasa. "Xian," seru avatar itu lagi. "Xian baik-baik saja?"

"Kami, baik-baik saja," Yuan mempererat rangkulannya terhadap sang anak. "A—apa yang terjadi?"

"Sayang, kuharap kau bisa tenang. Kau berada di tangan yang baik sekarang. Tolong, kembalikan gadget ini ke pria itu."

Yuan merasa lebih baik, dari ucapan sang suami, ia tahu jika lima orang yang sekarang mengelilinginya adalah orang-orang yang sangat dikenal baik oleh suaminya. Paling tidak, bukan bajingan-bajingan kasar seperti mereka yang memaksa dan menyeret ia dan sang anak tadi. C-Pad ia kembalikan kepada Ryan.

"Terima kasih," Yuan tersenyum dengan sedikit anggukan kepala pada Ryan, juga pada yang lainnya.

"Dengan senang hati," sahut Ryan. Laki-laki itu juga menangkap sedikit kegembiraan di raut wajah Xian. "Pak Dharma…"

"Yan. Terima kasih sudah menyelamatkan istri dan anakku. Sekarang, katakan apa rencananya?"

"Anda sudah berada di ruang kokpit, Pak?"

"Dari sepuluh menit yang lalu," avatar dari Dharma terlihat sangat-sangat geram, begitu menggebu ingin meremukkan sesuatu saat itu juga.

"Baiklah," sahut Ryan. "Apa Anda punya C-Pad atau gadget terbaru di rumah, Ma'am?" Ryan mengalihkan pertanyaannya kepada Yuan.

Yuan mengangguk, meskipun ia tidak tahu apa tujuan Ryan menanyakan hal tersebut.

"Pak Dharma," panggil Ryan lagi pada avatar di gadgetnya itu.

"Ya?"

"Tunggu sedikit lebih lama lagi. Kami akan menuju rumah Anda. Akan lebih baik rencana ini menggunakan alat terbaru. Anda bisa mengerti, Pak?"

"Baiklah." Sahut Captain Dharma pula. "Hei, Yan… jangan terlalu lama. Tanganku sudah gatal untuk membalas penguasa jahanam itu."

"Ayolah, Pak. Ingat tekanan darahmu," Ryan menyunggingkan senyum, dan memutuskan komunikasi tersebut sesaat setelah ia mendengar tawa dari avatar Dharma. "Come on, guys… kita menunggu jemputan di rumah Kapten saja."

Empat chameleon sama meluncur tenang, menuju Sidamulih, rumah Kapten Dharma, meninggalkan empat chameleon yang telah rusak di belakang.

***