webnovel

Satria Braja

Sebagai calon pendekar tingkat sanak, Satria Braja termasuk salah satu yang terpayah dalam penguasaan cakra. Rupanya, ia punya rahasia besar sekaligus potensi yang bisa mengantarkannya mewujudkan impian sebagai seorang senopati. Mampukah ia mencapai impiannya? Maukah ia tetap setia pada mimpinya, jika sang raja yang harus dilindungi oleh seorang senopati adalah pembunuh dari ayah Satria Braja. Sementara rival sekaligus teman akrabnya, Istungkara, mempunyai dendam dan cita-cita membunuh sang raja. Satria Braja dan Istungkara juga terlibat cinta segitiga pada Kirana Maheswari yang merupakan senior mereka di padepokan. Mari simak kisahnya!

Sute_Soe · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
24 Chs

Kitab Bhadra

Pagi datang. Mbah Putih dan Kirana Maheswari telah mengemasi barang-barang mereka. Ketika mereka hendak pergi dari ruangan tempat menginap tiba-tiba datang dua pengawal istana menghadang dengan menyilangkan tombak di depan mereka. Mbah Putih dan Kirana Maheswari terkejut.

"Ada apa, ini? Mengapa kami tak diperbolehkan untuk pergi?" tanya Mbah Putih.

"Mohon maaf, Tuan. Kami mendapat perintah untuk menggeledah barang-barang anda," jawab salah satu pengawal.

"Mengapa harus digeledah? Kami diundang ke istana untuk menginap dan makan malam seperti yang disampaikan oleh Pangeran Aryasuta Cadudasa," protes Kirana Maheswari.

"Memang betul begitu, Puan. Namun tadi malam ada seorang maling menyusup ke istana."

"Maling masuk istana?"

"Betul. Oleh karena itu kami diperintahkan oleh Pangeran Aryasetya Danadyaksa untuk menggeledah barang-barang kalian."

Dari kejauhan tampak Pangeran Aryasuta Cadudasa berjalan menuju tempat mereka. Keempatnya langsung berdiam diri menunggu kehadiran kakak dari Aryanti Ratnadewati itu. Begitu ia tiba di hadapan mereka, sembah hormat segera diterima oleh sang Pangeran.

"Ada apa ini kok pagi-pagi sudah ribut?" tanya Pangeran Aryasuta Cadudasa dengan lembut.

"Mohon maaf, Pangeran Aryasuta Cadudasa. Kami diperintahkan oleh Pangeran Aryasetya Danadyaksa untuk menggeledah barang-barang mereka karena tadi malam ada maling yang masuk istana."

"Tidak perlu. Lagi pula tidak ada yang hilang. Tidak ada satu orang pun di istana ini yang merasa kehilangan," jelas sang pangeran.

"Sendiko dawuh, Pangeran Aryasuta Cadudasa. Mohon maaf atas kelancangan kami terhadap tamu pangeran," ucap keduanya sambil menghaturkan sembah hormat sekaligus pamit undur diri. Sebelum mereka pergi, keduanya menyampaikan permohonan maaf kepada Mbah Putih dan Kirana Maheswari.

Selepas kedua pengawal pergi, Pangeran Aryasuta Cadudasa melirik Kirana Maheswari.

"Mohon maaf atas kelancangan kedua pengawal tadi dan perintah Kakanda Aryasetya Danadyaksa. Semua itu tiada lain hanyalah bentuk kehati-hatian Kerajaan Bantala Nagara. Tidak ada sedikit pun maksud untuk menuduh kalian yang melakukan. Jadi mohon jangan tersinggung," kata Pangeran Aryasuta Cadudasa dengan nada menyesal.

"Tidak apa-apa, Pangeran. Kami sama sekali tidak tersinggung. Kami hanya heran, bagaimana mungkin seorang maling bisa masuk istana yang penjagaannya sangat ketat ini," tutur Kirana Maheswari dengan tenang.

"Terima kasih atas kemurahan hati anda. Sila melanjutkan perjalanan ke desa Danta Bhumi. Mohon berhati-hati. Oh iya, mungkin kita bisa bertemu di lain hari karena aku akan sering menetap di Jawi Bhumi," ucap Pangeran Aryasuta Cadudasa sambil menatap Kirana Maheswari.

Sang pangeran lalu memberikan senyum termanisnya yang penuh keakraban. Kirana Maheswari sempat terkesima melihat senyum manis Pangeran Aryasuta Cadudasa. Senyumnya begitu lepas, tak terbatas oleh kasta. Kirana Maheswari merasa aneh dan canggung. Ia segera melempar pandangan dari wajah sang pangeran ke kaki sendiri.

"Terima kasih atas kebaikan Pangeran. Semoga bahagia dan panjang umur. Kami mohon undur diri melanjutkan perjalanan," pamit Mbah Putih yang ditutup dengan sembah hormat yang diikuti oleh Kirana Maheswari.

***

Ibu Satria Braja membatu di samping batu bertumpuk tiga. Pandangannya kosong. Tapi sesuatu mengganggu pikirannya. Arsi Arsanti, wanita malang yang ingin menumpahkan semua rasa getir di hatinya pada setumpuk batu.

Hampir setiap pagi, ia berbicara dengan batu. Tapi kali ini, bibir Arsi Arsanti membeku tanpa ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Sejak fajar hingga matahari hampir sepenggalah, ia hanya duduk dengan tatapan mata yang kosong, hanya sesekali berkedip. Berdiam diri tanpa gerak.

Seekor capung hinggap di atas batu di sampingnya. Ia melirik capung merah itu. Datang lagi capung lain yang mendekat, kaki ini berwarna kuning. Capung merah buru-buru terbang, mengejar capung kuning yang menjauh dari Arsi Arsanti.

"Kau lihat capung itu, kakangmas? Mereka hidup bebas dan bahagia. Begitu pun aku, saat kita masih bersamamu hari-hariku selalu penuh dengan rasa bahagia. Aku masih ingat betul, saat Satria Braja lahir, kakangmas mengatakan hari itu adalah puncak kebahagiaan dari semua kebahagiaan yang telah kita lalui bersama."

Air mata mulai tak terbendung. Arsi Arsanti menangis. Ia mulai bingung. Dahinya mengernyit.

"Sekarang, anak kita terbaring tak berdaya di padepokan. Aku tak tahu harus bagaimana. Hingga, aku menjanjikan sesuatu yang sangat sulit bagiku. Sepiring tempe. Dari mana aku dapat uang untuk membeli sepiring tempe. Sepotong tempe saja, susah. Tapi nyawa anak kita dalam bahaya. Kemarin, ia tiba-tiba tersenyum saat kujanjikan sepiring tempe. Sungguh seperti keajaiban melihat dia tersenyum dalam kondisi koma, meski setelahnya tetap tak sadarkan diri."

Wanita yang rambutnya disanggul ke atas itu tampak mencoba tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Air mata masih tetap mengalir deras melewati pipi.

"Hanya sepiring tempe yang mampu aku janjikan karena aku tak tahu bunga obat yang kakangmas bawa saat itu dan berhasil menyelamatkan anak kita. Andai kakangmas masih hidup, pasti bisa menemukan bunga obat itu. Bunga penukar nyawa. Selain pandai bela diri, kakangmas juga tahu banyak tentang ilmu ketabiban. Kakangmas suka menulis semua pengetahuan dalam buku...."

Tiba-tiba, Arsi Arsanti tak melanjutkan perkataannya. Ia diam sejenak, lalu beranjak dari tempatnya duduk. Ia bangun, setengah berlari menuju kamarnya. Sesampainya di bilik yang dikelilingi dengan dinding dari anyaman bambu, wanita itu mencari kotak kayu tempat ia menyimpan barang-barang sang suami, Mpu Sitra. Ia tampaknya kesulitan menemukan kotak kayu tersebut. Mungkin, ia lupa. Kakinya berlari-lari kecil berbagai tempat yang dicurigai sebagai tempat penyimpanan kotak kayu, namun ia belum berhasil menemukan.

Ia kembali menurunkan tubuh dan bersiap merangkak untuk ketiga kalinya memasuki kolong tempat tidur. Namun, ia keluar dengan tangan kosong.

"Seharusnya kotak kayu kecil itu ada di bawah sini. Apa mungkin ada yang mencurinya? Atau jangan-jangan dipindahkan oleh Satria Braja? Jika dicuri orang, memang sangat mudah pencuri masuk ke sini, namun untuk apa mencuri Kitab Bhadra? Siapa pun bisa dengan mudah masuk ke rumah ini."

Ia mulai gelisah. Berbagai spekulasi bermunculan di benaknya. Ia sempat berpikir, bisa saja Satria Braja menemukan Kitab Bhadra tanpa sepengetahuan Arsi Arsanti. Maka ia berjalan setengah berlari menuju kamar Satria Braja. Ia mencari di lemari, lalu merangkak di dalam kolong tempat tidur, namun tak ditemukan.

"Aku tidak pernah membuka Kitab Bhadra karena kakangmas hanya berpesan agar memberikan kitab itu saat Satria Braja sudah dewasa. Namun, bisa saja ada penjelasan tentang bunga penukar nyawa dalam kitab itu. Entah itu nama bunga, lokasi bunga, atau cara mendapatkan bunga obat itu."

Arsi Arsanti beralih mencari bukan hanya ke kamarnya dan kamar Satria Braja, namun mencari ke seluruh sudut-sudut rumah. Ia menjadi panik karena belum menemukan kotak kayu yang berisi Kitab Bhadra. Keringat semakin membasahi tubuhnya. Namun, sekuat ia berusaha mencari Kitab Bhadra tetap tak ditemukannya. []

Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!

Sute_Soecreators' thoughts