webnovel

Mentari

Sasya mengusap badan motor milik El dengan lap yang sudah ia beri sabun. Gadis itu tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. Tentang Sastra. Aih, lelaki itu benar-benar tampak aneh hari ini. Sasya saja bingung Sastra kenapa. Lelaki itu benar-benar terlalu tertutup.

"Jangan ngelamun kalau nyuci motor!"

Sasya tampak terlonjak kaget di tempatnya, gadis itu memekik pelan saking kagetnya. Dan selanjutnya mengubah mimik kesalnya, ia mengungkapkan El penuh sinis.

"Gue lempar juga ni lap ke muka lo ye," sahut Sasya penuh rasa kesalnya.

El pelan terkekeh, lelaki itu berdiri, bersedekap dada sembari membocorkan Sasya yang kembali melanjutkan kegiatannya. Di atas ketenangan cukup lama. Sebelum akhirnya Sasya yang kali ini lebih dulu membuka suara.

"El, gue mau nanya dong. Abang gue udah bayar biaya kampus buat semester ini?" Sasya mengeluarkan pertanyaannya.

El sesaat kemudian, sebelum akhirnya menjejakkan kaki pelan, "Belum, dia udah masuk nunggak kayanya. Kemarin udah ditagih," pelan pelan.

Benar dugaan Sasya kalau El bohong. Sasya menghela napasnya dengan berat.

"Dia bohong ke gue, katanya udah bayar," ujar Sasya pelan.

El menghela napasnya dengan penuh berat, "Gue sama yang lain udah nawarin buat pinjem uang kita enggak apa-apa. Tapi Abang lo nggak mau. Dia tuh harus nunggu bener-bener mepet dulu baru minjem ke gue sama yang lainnya." El berujar begitu.

Sasya sebal di tempatnya. Gadis itu sewaktu-waktu sebelum mendongakkan kepala ke arah El.

"El, kalau lo gaji gue gimana?" Sasya mengeluarkan suara untuk bertanya.

El yang mendengar hal itu mengernyit dahi tidak pada tempatnya, "Maksudnya?" tanyanya dengan pelan.

Sasya menyengir lebar kali ini. Tak seperti biasa yang hanya sinis dan ketus jika dengan El. Maklum saja, kan lagi ada maunya. El sendiri mengungkapkan gadis itu dengan penuh kebingungan.

"Eh, ini maksud gue tuh... kan gue nyuciin motor lo. Kenapa nggak lo gajian aja biar gue makin semangat? Itung bantu abang, El. Kan lo temennya." Sasya berujar dengan cengiran lebarnya.

El geleng geleng kepala, "Lo pengen dapet duit?" tanyanya pada Sasya.

Sasya menganggukkan kepalanya dengan kuat, "Pengen banget, lo tau caranya?" tanyanya

El menghela napasnya berat, "Gue sebenernya ada restoran punya bokap, lo bisa kerja di sana. Tapi dengan syarat harus izin ke abang lo dulu. Gue takut diamuk."

Sasya tersenyum lebar, gadis itu langsung bangkit saking senangnya, "Bener lo? Tapi gajinya dibanyakin ya, El," lagu dengan kekehan pelan.

Katakan saja Sasya tak tahu diri. Tapi biarlah, palingan El.

El sendiri mendelik, ia geleng geleng kepala tidak pada tempatnya, "Lo nggak ketus sama gue kalau ada maunya aja ya?" sindirnya dengan penuh sinis.

Sasya menyengir lebar, gadis itu mengedikkan bahunya pelan, "Boleh ya? Tapi jangan bilang Abang gue. Nggak usah izin. Kita bisa sembunyiin ini."

El mengulum ekspresi menahan senyumnya, "Ada syarat lain tapi," kamu dengan kekehan pelan.

Sasya mengernyitkan dahi, "Apa?" tanyanya dengan suara penuh semangat.

El terkekeh di tempatnya, "Masa hukumannya ditambah dua Minggu lagi."

Sasya mendelik, namun urung saat melihat El mengulas senyum tipis yang tak bisa ia artikan maknanya. Gadis itu berdehem pelan, dan termenung ke mana-mana. Dan cukup detik kemudian gadis itu mengangguk dengan kuat.

"Iya, nggak masalah!" seru Sasya.

El menganggukkan kepalanya dengan pelan, "Lanjut nyucinya. Besok lo udah bisa mulai kerja." Lelaki itu berjalan lantas masuk ke dalam rumah.

Sasya tersenyum lebar, "Tidak apa-apa, deh ya, asalkan bisa bantu Abang kerja. Seenggaknya Sasya bisa ngeringanin beban Abang."

"Eh, ini siapa? temennya El ya cantik? Kok nyuci motornya El?"

Sasya kaget di tempatnya. Gadis itu menolehkan kepalanya dengan mode pelan. Dan ia bisa melihat sosok wanita paruh baya dengan pakaian elegannya sambil menatap ramah. Sasya berdehem pelan, ia segera memainkan tangannya dan menyalami tangan wanita paruh baya yang ia duga sebagai Mamanya El.

"Eh, emm saya adiknya bang Arash Tante." Sasya berujar begitu.

Sosok wanita paruh baya itu tersenyum lebar, menganggukkan kepalanya dengan pelan, "Iya ... Iya saya tau. Adiknya Arash ya, aduh cantik banget. Siapa namanya?" tanya sosok wanita paruh baya itu.

Sasya menunduk sopan, "Nama saya Sasya, Tan. Salam kenal," sahutnya.

Sosok wanita paruh baya itu terkekeh pelan, "Saya Mentari, Mamanya El. Eh ... ayoo ayo masuk dulu. Lagian El ini kenapa cantik-cantik begini di suruh cuci motor sih. Ayo masuk dulu ke rumah."

Sasya tersentak saat Mentari menariknya. Maka mau tak mau Sasya mengikuti langkah wanita paruh baya itu.

"Duduk dulu, Sya. Elnya kemana ya, Sya?" sosok wanita paruh baya itu melongokkan kepalanya ke sana ke mari mencari El.

Sasya hanya bisa manut dan segera mendudukkan diri di kursi tamu atas permintaan Mama El. Saat wanita paruh baya itu ingin melangkah mencari El, orang yang dicari datang dari diri sendiri. Lelaki itu mengernyit dahi melihat Sasya dan sang Mama. Namun ia memilih untuk menyalami sang Mama, mencium tangan wanita paruh baya itu.

"Mama udah pulang? Di anter siapa?" El bertanya pada wanita itu.

Mentari terkekeh pelan, wanita paruh baya itu menarik tangan El agar ikut bergabung duduk di sofa ruang tamu.

"Kamu ini ... anak cantik-cantik begini kok cuci motor kamu?" seru Mentari dengan nada sebalnya.

El berdehem, ia mengusap pelan tengkuknya dengan, "Maaf, Mama, em... itu," ujarnya dengan tergagu.

Mama pelan di tempatnya. Wanita itu membocorkan El dengan mata memicing.

"Kamu enggak bermaksud ini kan, jadiin Sasya jadi pekerja paksa?" tanya Mentari ke arah sana.

Sasya menahan tawa, gadis itu senang sekali melihat wajah El yang tampak bingung mau menjelaskannya dari mana.

"Iya Tante, Kak El jadiin aku tukang cuci motornya selama seminggu pen ... eh jadi tiga minggu penuh." Sasya berbicara dengan mata berbinar. Senang sekali bisa mengerjai El kali ini.

El mendelik, "Heh, lo tuh...kan di--"

"Kok kamu gitu El?! Mama nggak pernah ya ngajarin kaya begitu ke perempuan. Perempuan itu harus kamu, jangan kamu suruh kaya begitu. Apalagi Sasya itu masih sma, masa kamu harus cuci motor kamu yang butut itu!"

El menghela napasnya dengan penuh berat, "Mama ... El jelasin dulu, Mama harus dengerin."

Mentari menggelengkan kepalanya kuat. Wanita paruh baya itu menatap Sasya dengan sendu, "Sayang, maafin anak Tante, ya. Nanti Tante bakal hukum El setelah ini. Kamu diapain lagi sama El selain disuruh cuci motor?" Wanita paruh baya itu bertanya dengan nada menggebu-gebu.

Sasya mengulum senyumnya menahan tawa. Tapi sedetik kemudian ia tak bisa menahannya.