webnovel

Kecurigaan Arash

Sasya menundukkan kepalanya dalam, "maaf, Bang," ujarnya parau. Sebisa mungkin menahan air matanya agar tidak turun karena Arash memarahinya.

Kelemahan Sasya itu satu, keluarganya. Sebab, ia akan biasa saja ketika orang lain yang memarahi. Tapi kalau sudah keluarganya, Sasya benar-benar harus susah payah menahan tangisnya sendiri.

"Tapi nggak biasanya kamu nyelonong gitu aja tanpa nyapa Bunda. Lo ada masalah?" Arash mengubah nada suaranya menjadi lebih lembut.

Sasya berdehem dan menggelengkan kepalanya kuat, "Enggak, aku enggak papa. Tadi capek setelah nyuciin motornya El. Jadi, Sasya langsung ke kamar sakinh ngantuknya. Maaf," jawab Sasya pelan.

Alih-alih percaya, Arash menatap penuh selidik ke arah Sasya. Adiknya itu ... kurang bisa untuk dipercaya. Sasya sendiri yang ditatap seperti itu jadi ketar-ketir. Gadis itu berdehem dengan pelan di tempatnya duduk. Kini mereka sendiri duduk di meja makan. Hanya berdua, sebab Arash sengaja menegur Sasya setelah menunggu Bundanya tidur.

"Lo nggak bohong kan?" tanya Arash sekali lagi, mencoba mencari kebohongan di mata Sasya.

Sasya menghela napasnya dengan berat. Gadis itu lantas menggelengkan kepalanya dengan pelan tentunya.

"Sasya jujur, buat apa juga Sasya bohong? Kalau nggak percaya tanya aja sama Sastra atau Naka. Orang di sekolah aku nggak kenapa-napa," jawab Sasya penuh dusta.

Arash mendengus pelan, lelaki itu menganggukkan kepalanya dengan pelan, "Oke, kali ini abang maafin kelakuan kamu. Tapi besok, nggak lagi. Lo harus sahutin Bunda kalau dia panggil lo. Jangan bikin Bunda sedih, ngerti?" katanya pada Sasya.

Sasya segera menganggukkan kepalanya dengan pelan. Ia menatap sang kakak sedikit ragu. Sasya ingin bertanya, namum takut membuat sang Kakak tersinggung.

"Bang," panggilnya yang membuat Arash mulai sibuk dengan ponselnya menolehkan kepala ke arah sang adik dengan alis yang terangkat.

"Apa?" tanyanya pada sang adik.

Sasya berdehem pelan, "Sasya cuma mau tanya ... apa selama ini Papa ngirimin uang?" tanyanya.

Arash memejamkan matanya sebentar, lelaki itu menoleh ke arah Sasya dengan tatapan yang menajam, membuat Sasya di tempatnya jadi ketar-ketir sendiri. Tapi ia benar-benar penasaran, sangat penasaran. Dia sebenarnya pernah menanyakan hal ini, tapi Arash memberi jawaban jika Papanya memang tak pernah mengirimi uang.

Sasya hanya ingin memastikan lagi ... untuk dirinya sendiri walau sudah tahu jawabannya. Tapi ... apakah Saga memang setega itu pada kedua anaknya? Anak kandungnya yang bahkan memiliki hubungan darah dengan lelaki itu ketimbang Tere yang hanyalah anak tiri?

"Abang kan udah bilang dulu, Papa nggak pernah ngirimin kita uang sepeser pun."

Masih sama. Jawabannya sama. Tidak berubah. Dan dengan bodohnya, Sasya berharap jawabannya akan berubah. Setidaknya, kalau saja jawaban kali ini berbeda, Sasya masih memiliki satu alasan untuk mengakui lelaki itu sebagai Papanya. Ya, sebagai papanya.

"Kenapa kamu nanyain itu lagi?" Arash kembali curiga, lelaki itu menatap Sasya dengan tatapan memicingnya.

Sasya berdehem, lantas menggelengkan kepalanya dengan kuat, "Pengen nanya aja."

"Abang nggak kerja hari ini?" Sasya bertanya pada lelaki itu setelahnya.

Arash menggelengkan kepalanya dengan pelan, "Kerja, bentar lagi gue juga berangkat," jawabnya.

Sasya menatap sosok sang kakak sendu. Lelaki itu ... bekerja banting tulang sambil kuliah. Yang mana ... pasti lelaki itu kelelahan sekali. Sasya tak bisa membayangkan lelahnya Arash. Lelaki itu kerja banting tulang untuk membayar biaya kuliahnya, biaya sekolah Sasya, dan untuk kehidupan sehari hari mereka seperti makan.

Dan tampaknya ... Sasya tak tau diri sekali karena selama ini hanya ongkang-ongkang kaki di kamar.

"Abang ... nggak capek?" Sasya bertanya begitu pada sang Kakak.

Arash berdehem, lantas menggelengkan kepalanya dengan pelan, "Nggak," katanya pelan. Namun, Sasya tahu ada sarat kelelahan dalam nada suara sang abang.

Sasya mengigit bibir bawahnya sendiri, "Abang udah bayar biaya kuliah abang bulan ini?" tanyanya pada sosok lelaki itu.

Arash terdiam sejenak, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya dengan pelan, "Abang udah bayar. Ah iya ... biaya spp kamu belum dibayar ya? Mau bayar besok? berapa sih ... abang lupa?"

Sasya menatap lelaki itu sendu, lantas menggelengkan kepalanya dengan pelan, "Belum ... belum waktunya bayar spp, bang," katanya.

Sasya tak tahu, tapi ia bisa mendengar helaan napas lega dari Arash. Dan ... Sasya jadi curiga kalau lelaki itu berbohong sudah membayar uang kuliahnya.

Sebab ... Sasya tahu jadi pelayan cafe memiliki gaji yang kecil. Arash sepertinya berbohong. Dan ... Sasya akan menanyakannya pada El besok ketika ia mencucikan motor lelaki itu.

Arash kan ... teman El. Pasti El tahu mengenai hal ini.

***

Besoknya, Sasya berangkat seperti biasanya. Berangkat bersama motornya yang memang sudah tampak butut. Tapi Sasya tak peduli selagi motornya bisa membawanya pulang pergi ke sekolah.

Sial beribu sial, di lampu merah, Sasya berhenti tepat di samping sebuah mobil yang begitu ia kenali. Mobil Papanya. Mobil Saga. Tak mau berurusan lagi, Sasya memilih untuk menatap lurus ke depan, walau sejatinya ... ingin sekali ia menolehkan kepala. Tapi ia tahan mati-matian untuk itu. Ia sudah memutuskan untuk menganggap Papanya orang asing.

"Sasya, halo!"

Dan sialnya, Tere sepertinya sengaja membuka jendela mobil, dan memanggilnya hingga Sasya reflek memalingkan muka. Dan gadis itu bisa melihat sosok Tere dan Papanya duduk di sana, di dalam mobil bersisian. Miris sekali, Sasya naik motor butut ini, sementara anak tiri itu duduk di mobil, di antar oleh Papanya.

Semesta tak adil memang.

"Sasya, halo!" Tere kembali bersuara dengan ramah.

Membuat Sasya tersentak kaget, gadis itu menatap Tere sinis, lantas segera memalingkan muka. Dan syukurnya, bertepatan dengan itu ... lampu hijau menyala. Membuat Sasya mengucap beribu-ribu syukur dalam hati.

Maka tanpa menoleh sedikit pun, Sasya segera tancap gas. Ia melajukan motornya dengan kecepatan sedang berhubung kali ini gadis itu berangkat tidak mepet jam masuk. Butuh beberapa menit dari lampu merah tadi sampai Sasya tiba di sekolahnya. Yang sial beribu sialnya lagi, ia kembali dipertemukan dengan mobil Papanya.

"Sasyaaa!"

Tere memang tampak sengaja sepertinya sebab gadis itu kembali meneriakinya. Sasya abai, gadis itu memilih mengacungkan jari tengahnya ke arah gadis itu dan melajukan motornya ke parkiran sekolah. Meletakkan motornya di sana.

"Sial bener emang itu orang. Di kira gue bakalan panas apa? Enggak kali, cuma panas banget." Sasya meletakkan helmnya, gadis itu mengipasi matanya yang terasa panas.

Ingin menangis ... tapi gengsi. Sejatinya, tak ada anak yang rela ayahnya lebih menyayangi anak lain yang bukan darah dagingnya alias anak tiri.

"Ck, jangan nangis, Sya." Gadis itu mengipasi matanya dengan telapak tangan, tak lupa dengan mendongakkan kepala ke atas agar air matanya tidak turun saat itu juga.

"Sya?"

Sasya tersentak kaget, gadis itu menolehkan kepala dan menemukan Naka yang berdiri di belakang motornya. Maka Sasya buru-buru menyengir lebar.

"Eh, halo, siapa ya?" Sasya tampak memasang wajah kagetnya.

Naka mendengus pelan, memilih untuk menoyor kepapa gadis itu. Sasya sendiri berdecak sebal di tempatnya.

"Apa kita kenal?"

"Sialan lo."