webnovel

Kado Untuk Abang

"Apaan?" tanya Arash menatap adiknya bingung.

Pasalnya, baru saja pulang dari cafe tempat ia kerja, tiba tiba Sasya membukakan pintu dan menyodorkan sebuah bungkusan kado ke depan wajahnya tepat.

Sasya sendiri yang ditanya seperti itu menyengir lebar di tempatnya, "Aku kasih kado spesial buat Abang Arash tersayang," ujarnya pelan.

Arash menatap sang adik dengan dahi yang berkerut, sebelum akhirnya melangkahkan kakinya masuk ke rumah dan menutup pintu. Lelaki itu abaikan ocehan Sasya yang memaksanya untuk segera menerima hadiahnya.

"Abang, ini tolong diterima dong," ujar Sasya merengek pelan.

Arash fokus melepaskan sepatunya dulu dan meletakkannya di rak sepatu. Lelaki itu menoleh ke arah Sasya, menatap adiknya cukup lama. Tatapannya turun pada kado di tangan sang adik. Lelaki itu menghela napasnya berat, mengulas senyum tipis dan segera menerimanya.

"Dalam rangka apa?" tanyanya pada sang adik.

Sasya menyengir untuk kesekian kalinya, "Ya pumpung Sasya punya uang hehehe, pengen aja kasih abang sesuatu. Soalnya kan selama ini Abang yang ngasih Sasya terus," jawabnya dengan ringan.

Arash mendudukkan diri di kursi makan, lelaki itu meletakkan kado dari Sasya di meja makan, "Sebenarnya Abang juga nggak berharap kamu kasih, soalnya kadang kamu nggak bener," ujarnya merasa hawa hawa tak enak karena sejak tadi Sasya tersenyum sumringah.

Senyum Sasya luntur, gadis itu menatap Arash dengan sebal, ia mengerucutkan bibirnya maju beberapa senti meter, "Abang kok gitu, orang Sasya ngasihnya beneran. Buka aja kalau nggak percaya," jawabnya sengit.

Siapa yang tak sebal kalau yang kita beri tidak berucap terima kasih? Setidaknya seperti sosok kakak yang sering Sasya lihat di televisi, romantis sekali. Arash? Bukannya berucap terima kasih, responnya malah begitu.

Arash terkekeh dengan pelan, lelaki itu menepuk pelan puncak kepala Sasya dua kali, "Iya iya, makasih," ujarnya.

Sasya hampir saja tersenyum kalau saja sedetik kemudian Arash tak--

"Itu bukan hasil colongan kan, Sya, isinya?"

Kampret memang.

Sasya menarik napas panjang, sebelum akhirnya gadis itu bangkit dan buru-buru mengejar Arash yang sudah lebih dulu berlari. Kakinya terlalu kecil, makanya untuk mengejar Arash terasa jauh sekali. Dan pada akhirnya Sasya menyerah. Gadis itu segera menghentikan langkahnya.

"Besok lagi aku nggak mau ngasih ya, Bang!" seru Sasya kesal.

Gadis itu lantas berbalik ke meja makan dengan langkah kaki yang dihentak-hentakkan. Sasya pikir, Arash akan mengejarnya seperti di sinetron sinetron. Nyatanya lelaki itu malah tampak tak peduli dan masuk ke dalam kamar sang Bunda.

"Nyebelin banget! Tau gini mending jaketnya gue jual, kan lumayan bisa buat jajan," ujar Sasya tampak sebal.

Gadis itu menghela napasnya sekali lagi. Menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Ia terkekeh pelan sebentar macam orang gila saat melihat bungkus plastik berisi dua nasi goreng yang Arash bawa. Jujur saja ia sudah lapar sejak tadi. Menanti Arash membawakan makanan seperti biasanya.

Maka dengan buru-buru, Sasya lantas segera meraih piring dan sendok. Kemudian membuka satu bungkus nasi goreng itu untuk ia makan.

Belum juga sesuap nasi goreng itu masuk ke mulutnya, Sasya kembali meletakkan sendok itu ke piring. Gadis itu menoleh ke arah kamar sang Bunda. Ia menghela napas berat sebelum akhirnya memilih untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam sana. Hanya untuk menanyakan--

"Abang udah makan belum?" ujar Sasya bertanya, membuat sang kakak menoleh ke arahnya. Lelaki itu sendiri sedang berbincang bersama Bundanya tadi.

Arash terdiam sebentar, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya pelan, "Udah, itu abang beli dua buat lo sama Bunda. Punya Bunda nggak pedes, pake karet warna hijau," ujarnya pelan.

Sasya menatap Arash ragu, "Abang ... enggak bohong kan? Nasi gorengnya sebungkus kan isinya ada banyak, semisal abang belum makan kan bisa bagi dua."

Arash terkekeh pelan, "Nggak mau, ntar berbagi jigong sama lo. Jijik ah, sana lo tinggal makan aja susah."

Sasya mendelik sebal, gadis itu lantas segera berbalik. Tak lupa mengingatkan Bunda agar wanita itu segera ke meja makan untuk makan.

Sepeninggalan Sasya, Arash menghela napasnya pelan. Lantas menoleh ke arah sang Bunda dengan senyum manis.

"Bunda, ayo makan," ujar Arash diiringi langkahnya ke belakang kursi roda sang Bunda.

Bunda berdehem, "Abang beneran udah makan kan?" tanyanya mengulangi pertanyaan Sasya tadi.

Arash terkekeh pelan di tempatnya, "Abang udah makan, Bunda."

Tadi pagi.

***

Sasya menghela napasnya dengan penuh berat. Ia benar-benar merasa gusar entah karena apa. Padahal ia sudah makan tadi. Sudah memasukkan uang lima puluh ribuan hasil antarnya pada cowok tadi ke celengan ayam kesayangannya yang entah sudah menyimpan berapa juta uang tabungannya.

"Kenapa ya?" tanya Sasya bingung.

Tak mau dirundung gusar, gadis itu memilih untuk segera bangkit dari kasurnya. Ia segera berjalan keluar kamar. Dahinya mengernyit saat melihat lampu dapur masih menyala. Menghiraukan rasa takutnya pada dedemit, Sasya segera melangkah pelan menuju ke arah dapur. Gadis itu berjalan mindik mindik ke arah sana.

Ia menghentikan langkahnya tatkala tahu bahwa Arash yang ada di sana. Gadis itu mengigit bibir bawahnya tatkala melihat Arash yang memakan nasi sisa tadi pagi. Nasi. Hanya nasi.

"Bang Arash bilangnya kan udah makan?" gumam Sasya amat pelan, sebisa mungkin agar tak terdengar Arash yang sedang sibuk makan di depan sana.

Mata gadis itu berkaca-kaca, ia hendak berbalik untuk kembali ke kamar.

"Sasya?"

Suara Arash mengalun, membuat langkah kaki Sasya terhenti. Sudah kepalang basah, maka Sasya segera berjalan mendekat ke arah Arash. Ia tersenyum getir saat melihat sepirin nasi sisa tadi pagi yang Arash sembunyikan.

"Sasya udah lihat, Bang." Sasya berujar begitu, dengan mata yang berkaca-kaca.

Arash menatap gadis itu kaget, "Maksud kamu apa, Sya? Udah lihat abang?" tanyanya berusaha menyembunyikan.

Sasya menghela napasnya dengan penuh berat, "Enggak, nggak apa-apa."

Gadis itu tersenyum kemudian, "Abang ngapain malem malem di sini?" tanyanya memilih untuk mengalihkan pembicaraannya.

Sasya dapat melihat Arash yang menghela napasnta lega. Gadis itu sebisa mungkin menahan air matanya agar tidak turun sekarang juga.

"Abang haus tadi, sekalian bikin kopi buat nemenin nugas," jawabnya berbohong.

Sasya ber-oh ria, lantas menganggukkan kepalanya pelan. Gadis itu memilih untuk pamit ke kamar lagi.

"Lo sendiri ngapain ke dapur? Lupa bawa air putih?" tanya Arash pada sang adik.

Sasya menganggukkan kepalanya dengan pelan. Padahal ia sudah menyiapkan sebotol air di kamarnya seperti biasa. Untuk jaga jaga saat haus agar tidak keluar kamar berhubung ia termasuk tipe yang penakut sekali.

"Tapi ga jadi ah, ga haus. Sasya ke kamar dulu ya, Bang."

Arash menganggukkan kepala. Namun sesaat kemudian ia bersuara.

"Oh ya, jaket yang lo kasih kok mirip sama jaket temen gue ya, Sha? Bukannya itu mahal ya?"

Sasya menghentikan langkahnya. Gadis itu menelan ludah dengan susah.

"Mampus, gue lupa abang kan kuliah di tempat yang sama kaya cowo itu."