webnovel

MENINGGALKAN BUKIT BALAI

Setelah pertemuan di Balai usai dan ketiga utusan dari Gunung Meraksa sudah meninggalkan Bukit Balai, Kuris dan Majedah berunding di pondoknya. Suami-istri itu membicarakan berbagai hal tentang rencana keberangkatan ke Gunung Meraksa.

Yang pertama mereka bahas adalah masalah uang ringgit perak simpanan mereka. Uang-uang ringgit mereka sebanyak tujuh kaleng yang dipendam di beberapa tempat. 

Tentu harta mereka yang banyak ini akan dibawa serta, sebab kemungkinan mereka tidak akan kembali lagi ke Bukit Balai. Maklumlah, tidak akan diketahui perkembangan selanjutnya.

Kaleng-kaleng uang ringgit mereka gali dengan dibantu oleh Mantap, orang kepercayaan Kuris. Mereka juga menyiapkan 3 ekor sapi jantan yang besar-besar penarik "pasangan" untuk membawa semua uang dan perabotan rumah milik Kuris dan Majedah.

Satu pasangan khusus akan dimuati kaleng uang ringgit yang sengaja ditutup secara rapat agar tidak menarik perhatian orang lain. Mantap dan beberapa keluarga terdekat lain akan mengantar sampai ke dusun Lampar. 

Pondok dan sapi-sapi yang tinggal akan dipelihara oleh Mantap, begitu juga kebun-kebun.

Tepat pada hari ke-lima mereka berangkat. Seluruh warga hadir mengucapkan selamat jalan. Banyak yang menangisi kepergian Kuris sekeluarga.

Meskipun berat mereka sudah ikhlas melepas keberangkatan Kuris. Tapi dari air muka mereka masih kelihatan sedih atas kepergian pemimpin yang mereka cintai itu. Mereka tampak tidak bergairah, seakan patah semangat, seperti lampu kehabisan minyak.

Rupanya kepergian Kuris menimbulkan pengaruh yang begitu besar dan mendalam di hati warga.

Setiba di Dusun Lampar Kuris sekeluarga disambut dengan suka cita oleh semua penduduk. Penduduk Dusun Lampar sudah mendengar berita tentang kedatangan Kuris, sebab seorang utusan telah lebih dulu tiba di sana dan menyampaikan kabar itu.

Kepala Dusun Lampar hadir menyambut kedatangan Kuris sekeluarga di tepi sungai Musi saat baru turun dari rakit. Warga Dusun Lampar sangat menghormati Kuris. 

Mereka mengenal Kuris sebagai seorang yang sopan santun, pekerja keras, suka menolong sesama.

Rasa hormat mereka kepada Kuris bertambah setelah melihat kesuksesan Kuris di Bukit Balai. Karyanya berupa kebun-kebun kopi yang luas dan subur, pondok-pondok yang teratur rapi, kerukunan yang mengesankan serta kepatuhan mutlak warga terhadap Kuris.

Sekarang dia datang sebagai orang yang kaya dan tak lama lagi akan menjadi Pasirah Kepala Marga dari suatu marga yang besar dan terkenal di daerah Lintang.

Warga Dusun Lampar juga tidak dapat mengingkari bahwa di dusun mereka sekarang sudah berdiri belasan rumah baru dan besar. Rumah- rumah itu adalah milik sanak famili mereka yang ikut berkebun ke Bukit Balai.

Mereka mengakui bahwa kesuksesan sanak famili mereka itu adalah berkat bimbingan Kuris. Mereka mengagumi Kuris yang mampu mengubah hutan lebat menjadi hamparan perkebunan kopi dan pemukiman yang sangat bagus.

Setelah sempat beristirahat dan bermalam di Dusun Lampar, Kuris mengirim utusan ke Gunung Meraksa untuk menyampaikan bahwa dia dan keluarga sudah ada di Dusun Lampar. Lima hari lagi akan berangkat ke Gunung Meraksa.

Dua hari setelah mereka tiba, kepala dusun Lampar mengadakan sedekahan untuk menghormati kedatangan Kuris sekeluarga. Sekalian juga dibacakan dan dipanjatkan 

doa bagi keselamatan mereka dan keluarga yang nantinya akan pindah ke Gunung Meraksa.

Dua hari Kuris sibuk mengatur harta benda milik mereka, seperti kebun kopi dan kelapa, sapi-sapi yang ada 6 enam ekor ditambah tiga ekor yang dibawa dari Bukit Balai, juga mengatur rumah. Dengan persetujuan istrinya, kebun-kebun diberikan kepada adik iparnya, yang selama ini mengurus rumah mereka di dusun. Sapi-sapi diurus adik iparnya dengan bagi hasil.

Di saat Kuris dan sekeluarga tengah mempersiapkan segala sesuatu untuk berangkat ke Gunung Meraksa, mereka justru dikejutkan kedatangan serombongan utusan dari Gunung Meraksa. Para utusan itu datang untuk menjemput mereka. Rombongan penjemput ini membawa kuda-kuda, juga gerobak-gerobak.

Salah satu gerobak ini berdinding setengah dan pakai atap, yang dinamakan "Pir". Disebut pir, karena di atas sumbu rodanya ada per (pegas) yang dipasang untuk meredam getaran, sehingga terasa empuk dan menyenangkan bagi yang duduk diatasnya.

Dalam "pir" ini digelar pula kasur tipis (lihap) di atas permadani. Gerobak dicat dengan warna yang menarik dan bagus dan dipasang pula tirai-tirai. Bepergian dengan naik pir ini, merupakan suatu peristiwa yang istimewa.

Besok paginya dengan dilepas warga dusun Lampar, rombongan Kuris sekeluarga berangkat menuju ke Gunung Meraksa. Setelah menyeberangi sungai Musi dengan rakit, maka diaturlah Majedah bersama anak-anak berada dalam pir, sedangkan Kuris menunggang kuda.

Beberapa penunggang kuda mengawal di depan dan beberapa lagi berada di belakang gerobak berisi barang-barang.

Suatu iring-iringan yang sangat mengesankan yang membuat penduduk kampung yang dilalui, berlarian ke pinggir jalan guna melihat rombongan ini. Sebelas penunggang kuda termasuk Kuris yang berkuda di samping "pir", di atas kuda-kuda yang gagah-gagah kuat dan bagus-bagus. Sebuah "pir" yang bagus ditarik sapi putih besar, dan diiringi tiga gerobak berisi barang-barang yang ditutupi dengan kain-kain.

Mereka berjalan cepat, dengan perhitungan agar sebelum magrib, di hari masih terang telah tiba di Gunung Meraksa. Tentu nanti mereka akan disambut secara ramai sekali, karena kedatangan Kuris sudah dinantikan sejak lama.

Orang-orang Gunung Meraksa sudah mendengar tentang kesuksesan Kuris berkebun di Bukit Balai. Tentang kepintaran Kuris membuat pemukiman yang asri disana. 

Keberhasilan Kuris memimpin warganya sehingga hidup rukun dan damai serta kaya pun sudah mereka ketahui pula.

Seorang penunggang kuda diperintahkan berangkat lebih dulu. Dia diutus untuk menyampaikan kabar bahwa rombongan Kuris sudah berangkat dan meninggalkan Dusun Lampar. Utusan itu berpacu dengan kencangnya menuju ke Gunung Meraksa untuk segera menyampaikan pesan tersebut.

Tiba di Gunung Meraksa.

Sesuai perhitungan, rombongan Kuris tiba tak lama setelah beduk Ashar. Banyak orang menjemput di pekarangan rumah almarhum Depati Kecik menyambut mereka.

Setelah menyalami beberapa tua-tua, laki-perempuan, Kuris, Majedah dan dua orang putri mereka yang masih kecil: Hanimah dan Kamariah dipersilahkan ke mesjid untuk bersembahyang, lalu berziarah ke makam Depati Kecik.

Barang-barang sudah dinaikkan ke rumah sebelah yang akan di tempati oleh Kuris sekeluarga. Hari itu tak putus-putusnya Kuris menerima tamu dari jauh maupun dekat.

Banyak orang dari dusun lain berdatangan pula. 

Mereka ingin melihat dan berkenalan dengan orang yang menjadi buah bibir masyarakat itu. Mereka ingin tahu lebih banyak tentang orang yang tak lama lagi akan menjadi pemimpin mereka selaku Pasirah Kepala Marga yang baru.

Kedatangan tamu yang tak kunjung sudah itu membuat Majedah kewalahan melayani dan menjamu mereka. Untung saja Majedah membawa beberapa orang gadis dari Dusun Lampar yang dapat membantu kesibukan sepanjang hari sampai malam.

Tamu- tamu diberi minum, dan tetamu yang datang pada waktunya makan tentu pula disuguhi makan. Keadaan terus berlangsung dan lebih-lebih sibuk lagi ketika hari menjelang saat pelantikan tiba. Tetapi yang menyenangkan, ialah semua warga Gunung Meraksa membantu.

Dilantik Menjadi Pasirah

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Yakni, hari pelantikan Kuris menjadi pasirah kepala marga. Kuris dilantik oleh wakil pemerintah pada masa itu, yakni Residen.

Kuris dilantik dan mendapat gelar Depati Natayuda (Notoyudo) sebagaimana pendahulunya (buyut, kakek, ayah, dan kakaknya). Maka dengan resmi dinyatakan bahwa mulai hari itu Kuris bergelar Depati Kuris Natayuda.

Hadir pada acara itu para demang, dan seluruh pasirah kepala marga di daerah Empatlawang, tokoh adat, dan tetua-tetua dusun. Hadir pula tamu- tamu penting dari Lahat, Tebingtinggi dan Pasemah. Sungguh luar biasa meriahnya pada waktu pelantikan.

Untuk memeriahkan acara pelantikan itu, dibuka pula gelanggang selama satu minggu. Gelanggang ialah tempat orang menyabung ayam dengan pakai taruhan. Beratus-ratus penyabung ayam berdatangan dari tempat yang jauh-jauh.

Sebagai hiburan dan memeriahkan suasana, Rebab dan gendang ditabuh tak.henti-hentinya. Seluruh warga hadir di Gunung Meraksa. Siang malam orang menanak nasi, memasak gulai dan lauk-pauk. Semuanya yang hadir harus diberi makan.

Selesai pelantikan kesibukan berangsur-angsur berkurang. Depati Kuris Notoyudo mulai memikirkan rencana-rencana selanjutnya. Dari Pembarap, Wakil Kepala Marga, dia mendapat keterangan dan penjelasan tentang keadaan Marga K.M. Lintang yang dipimpinnya. Pembarab melaporkan jumlah dusun dan jumlah penduduk.

Tak puas dengan keterangan Pembarap, Depati Kuris Notoyudo mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendetil tentang berbagai hal, termasuk yang sekecil-kecilnya. Pembarab terperangah dan takjub, dia merasakan bahwa Depati Kuris adalah seorang yang cerdas. Dia dapat meraba dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Depati 

Kuris Notoyudo, yang begitu mendalam. Setelah lima hari Depati Kuris sudah mendapat gambaran lengkap tentang wilayah yang dipimpinnya. Hal itu bukan hanya didapatnya dari Pembarab, tetapi juga dari sumber-sumber lain. Depati Kuris sudah mendatangi banyak orang untuk menggali berbagai informasi.

Berbekal informasi yang didapat dari berbagai sumber itu, Depati Kuris Notoyudo berkeliling mengunjungi dusun-dusun yang ada dalam kekuasaannya. Dia menunggang seekor kuda jantan yang gagah dan kuat. Dua orang pengawal berkuda mengiringi perjalanannya.

Depati Kuris Notoyudo beserta dua pengawalnya berkeliling selama seminggu. Mereka mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat dan para tetua di setiap dusun. Rumah rakyat biasa pun mereka kunjungi. Dalam perjalanan itu pula Depati Kuris memeriksa batas-batas dengan marga tetangga.

Dalam perjalanan itulah, Depati Kuris melihat/menjumpai suatu dataran yang luas, rata. Lokasinya berbatasan dengan Marga Muara Danau. Melihat dataran yang begitu luas, dataran subur, langsung dalam benak Depati Kuris timbul satu gagasan yang besar yang akan dibangunnya. Gagasan ini tak lepas dari pikirannya dan membaja dalam hatinya untuk melaksanakannya.

Gagasan besar, yang akan memberikan kemakmuran bagi rakyat marganya dan mungkin pula rakyat marga yang berbatasan. Selanjutnya dalam berkeliling ini, terpikir juga oleh Depati Kuris untuk mencari tempat guna memekarkan Dusun Gunung. Meraksa.

Memang letak Desa Gunung Meraksa (lama) sangat cocok sekali dan memenuhi syarat sebagai dusun dan juga berfungsi sebagai benteng menghadapi pihak Belanda. Tetapi, jumlah penduduknya sudah padat.

Mencetak Sawah dan Membangun Irigasi

Setelah tiga tahun menjadi Pasirah Kepala Marga, Depati Kuris mulai menggarap rencana besarnya, ialah menjadikan dataran yang luas yang telah ditemukannya, untuk dijadikan sawah-sawah.

Untuk mendukung rencana itu, yang pertama dilakukannya adalah membuat siring (saluran irigasi) guna mengairi hamparan sawah. Airnya akan didapat dengan membendung ayek (sungai) Lintang di Dusun Tanjung Alam, Marga Muara Danau.

Siring induk yang akan dibuat adalah sepanjang lebih-kurang 10 kilometer, ujungnya nanti akan berada di tempat baru dimana Depati Kuris akan memindahkan Dusun Gunung Meraksa.

Kemudian Depati Kuris mulai sibuk dengan rencananya. Perundingan berkali-kali dengan Pasirah Muara Danau agar mendapat izin membikin siring di daerahnya.

Dibicarakan pula tentang pengaturan dan pembagian air, ganti rugi tanah penduduk Tanjung Alam yang akan dilalui siring. Dibahas pula rencana tempat bendungan akan dibangun.

Perundingan dengan Pasirah Kepala Marga Muara Danau tidak mengalami kesulitan. Semua berjalan lancar. 

Kepala Marga Muara Danau menghormati Depati Kuris sebagai kepal marga yang berwibawa dan dicintai rakyatnya.

Dia sudah mendengar tentang siapa sesungguhnya Depati Kuris Notoyudo, yakni seorang pemimpin yang selalu mengutamakan kepentingan rakyat dan selalu berpikir tentang masa depan.

Untuk mewujudkan impiannya itu, Depati Kuris harus bekerja keras bersama rakyatnya. Proyek membuat saluran induk sepanjang lebih sepuluh kilometer, yang dapat mengairi sawah seluas 3.000 hektar, merupakan proyek raksasa pada waktu itu. Apalagi peralatan-peralatan canggih pengukur jarak, dan alat ukur perbedaan tinggi rendahnya medan (permukaan tanah) belum dikenal saat itu.

Pada tahun 1890 pekerjaan besar itu dimulai dengan mengerahkan ratusan orang bergotong-royong setiap hari. Tenaga kerjanya adalah rakyat Marga K.M. Lintang sendiri.

Mereka dikerahkan dari dusun-dusun secara bergiliran seminggu sekali. Mereka membawa perbekalan masing-masing. Disediakan pondok-pondok darurat untuk mereka istirahat dan bermalam selama bekerja.

Penduduk Marga Muara Danau pun ikut membantu, khususnya dari mereka yang tanahnya akan mendapat air untuk dijadikan sawah-sawah. Depati Kuris sendiri hanya sesekali saja pulang ke Gunung Meraksa.

Hampir seluruh waktu dia bersama rakyatnya di tempat pembikinan siring.

Sementara pekerjaan membuat siring ini berlangsung, kegiatan pindah ke dusun baru juga dimulai. Dusun tempat mereka pindah dinamakan Dusun Gunung Meraksa Baru.

Yang pertama pindah ialah Majedah dan anak-anaknya, setelah rumah baru di Gunung Meraksa Baru selesai. Dapat dikatakan seluruh pekerjaan pindah, diawasi oleh Majedah. Rumah lama bermubungan (susun atap) susun tiga ditinggalkan kosong. Mereka menempati rumah baru.

Sementara itu banyak pula rumah-rumah lain yang telah ditegakkan. Ada juga rumah-rumah lama dari Gunung Meraksa Lama yang dibongkar dan ada pula rumah-rumah yang dibuat baru.

Setelah satu tahun bekerja keras, akhirnya siring induk selesai dikerjakan, yang ujungnya membelah dusun Gunung Meraksa Baru, seperti yang direncanakan Depati Kuris.

Selanjutnya bendungan yang akan dibuat di TanjungAlam mulai dikerjakan. Pekerjaan ini tidak memerlukan orang sebanyak pada saat penggalian saluran, tapi tetap diawasi serta dipimpin langsung oleh Depati Kuris.

Duapuluh meter di hilir mulut saluran induk, beronjong yang dibikin dari anyaman kawat-kawat dipasang melintasi sungai Lintang. Beronjong dipasang di dasar sungai. Ukuran beronjong lebar tiga meter, tinggi enam meter dan panjang dua puluh lima meter. Beronjong lalu diisi dengan batu-batu kali. Pekerjaan itu dilakukan oleh tiga regu pekerja secara berantai.

Berangsur-angsur permukaan air sungai meninggi dan tak lama kemudian air dengan lancarnya mulai memasuki mulut saluran irigasi. Melihat air mulai mengalir memasuki siring, mereka semua bertakbir menyebut nama Allah.

Mereka bersyukur karena pekerjaan besar telah selesai, setelah bekerja keras selama setahun lebih. Depati Kuris dan masyarakat yang bekerja meneteskan air mata karena rasa haru.

Selanjutnya Depati Kuris mengajak warganya yang mau mengikuti dia menelusuri saluran dari kepala sampai ke hilir mengikuti air yang mengalir dalam saluran. Banyak sekali yang ikut serta.

Betapa gembira semuanya karena dengan masuknya air akan mengubah tanah-tanah yang tidak produktif, menjadi sawah-sawah akan memberikan kemakmuran kepada penduduk daerah Lintang.

Suatu karya besar diselesaikan dengan sukses dan hanya satu-satunya pekerjaan besar yang dikerjakan di seluruh daerah Lintang Empat lawang pada waktu itu.

Irigasi ini dinamakan oleh Depati Kuris dengan sebutan Siring Agung. Pasirah Marga Tanjung Raya dan Pasirah Marga Tanjung Raman meminta untuk diizinkan memakai air dari ekor anak Siring Agung. Depati Kuris dengan segala kerendahan hati memenuhi permintaan pasirah dari marga- barga tetangganya itu.

Siring Agung digunakan untuk keperluan penduduk marga-marga tersebut untuk membuat dan mengairi sawah-sawah, kolam-kolam ikan dan sebagainya. Maka penduduk tiga marga mulai penghidupan baru berkat usaha H. Depati Kuris Notoyudo, Pasirah Marga K.M. Lintang.

Selama ini padi ditanam secara berladang, tapi dengan selesainya Siring Agung, penduduk mulai menanam padi dengan bersawah. Perubahan yang besar dan memberikan kemakmuran bagi penduduk. Bukan sawah- sawah saja yang memberikan tambahan hasil, tapi kolam-kolam ikan juga jadi sumber pendapatan penduduk. Hal itu sudah dicontohkan lebih dulu oleh Depati Kuris.

Dia yang pertama kali memelihara ikan mas yang sebelum itu belum dikenal penduduk. Bibit ini diberi oleh kawannya pedagang kopi dari Tebing Tinggi.

Kolam-kolam besar dibikinnya dibelakang rumah, dimana air dari saluran siring atau irigasi dapat dialihkan ke sana. Kira-kira 200 meter di belakang rumah juga dibikinya kolam yang lebih besar lagi dengan menimbun celah dua bukit kecil, yang disebut Tebat Serut.

Luas celah itu sekitar 10 hektar, ditebari bibit ikan mas, ikan sema dan lain- lain. Tenaga kerja untuk menutup celah bukit dikerjakan oleh orang-orang dari Kerinci, Sumatera Barat.

Di belakang rumahnya, Depati Kuris juga membikin kebun kelapa yang sangat luas. Di pinggir Tebat Serut terdapat kandang-kandang sapi, dengan sapi sejumlah 80 ekor. Suatu jumlah yang sangat besar pada waktu itu.

Pasar Pendopo

Pada tahun 1900-an dia diangkat pula menjabat sementara sebagai Kepala Marga Tanjung Raman. Pada waktu itulah didirikannya pasar tempat orang menjual-belikan hasil bumi, ternak dan lain-lain, yang disebut "kalangan". Tempat itu sangat tepat, ialah di Pendopo.

Tempat itu berada di persimpangan/pertemuan tiga jalan, dari arah Gunung Meraksa, dari Tanjung Raman dan dari Tanjung Raya. Di tepi sisi jalan sepanjang satu kilometer dekat "Kalangan Pendopo" ini ditanami dengan kayu-kayu jati.

Penutup

Inilah karya-karya H. Depati Kuris Notoyudo, Pasirah Marga K.M. Lintang, Empatlawang, Sumatera Selatan. 

Sungguh luar biasa dan patut dibanggakan. Beliau wafat pada tahun 1929.

Sepeninggal Depati Kuris Notoyudo jabatannya digantikan oleh anaknya Pangeran Ibrahim. Pangeran Ibrahim melanjutkan pembangunan yang dirintis ayahandanya. Setelah Pangeran Ibrahim wafat jabatan pasirah kepala marga temurun ke anak sulungnya M. Yasin, kemudian temurun lagi ke putra pertama Pasirah Yasin, yakni A. Zaini Yasin.

Berjuta-juta anak manusia meminum air dari Siring Agung ciptaannya. Sawah-sawah yang menghasilkan beras, kolam-kolam yang menghasilkan ikan-ikan, tepian mandi, air bagi orang mengambil wudhu dan sebagainya.

Buah karya Depati Kuris Notoyudo itu ternyata tidak berhenti di masa beliau masih hidup saja. Di kemudian hari, seorang cucunya, H. A. Mukhtar Madjid, Bupati Lahat di era awal tahun 70-an, menyempurnakan karya- karyanya.

Bupati A. Mukhtar Madjid membangun kalangan (Pasar) Pendopo menjadi sebuah pasar yang memiliki pra-sarana paling lengkap pada masa itu.

Bangunan pasar yang semula berkerangka bambu, beratap plastik, diganti dengan rangka besi beratap seng. 

Bangunan dibagi-bagi dalam los-los. Tiap los terdiri dari lapak-lapak.

Beberapa puluh tahun kemudian, pasar itu direhab lagi oleh cicit Depati Kuris Notoyudo, yakni Ir. H. Alex Noerdin, Gubernur Sumsel dua periode (2009-2014 dan 2014-2019). Dengan "segenggam" kekuasaan di tangannya, dia menyulap Pasar Pendopo yang tradisional menjadi Pasar Tradisional Modern berlantai 2.

Gubernur Alex Noerdin juga mengubah Siring Agung menjadi saluran irigasi teknis, yang mampu mengairi 3000 ha sawah. Alex Noerdin menyiapkan sejumlah anggaran dana untuk menggaji petugas yang khusus merawat Siring  Agung.

Darah pemimpin terus mengalir dari generasi ke generasi. Menjelang berakhirnya masa jabatan periode kedua Ir. H. Alex Noerdin, SH., sebagai Gubernur Sumsel, putranya Dodi Reza terpilih sebagai bupati Musi Banyuasin dan dilantik pada 22 Mei 2017.

Masjid Al Ikhlas, peninggalan Depati Kuris Notoyudo di Dusun Gunung Meraksabaru, tak luput dari sentuhan tangan Alex Noerdin. Dia rombak pula masjid itu menjadi sebuah masjid megah berlantai dua.

Karya-karya agung Depati Kuris Notoyudo bisa dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat zaman sekarang. 

Kemudian dilanjutkan, disempurnakan oleh.anak, cucu, dan cicitnya. Amal jariah yang mengucurkan pahala yang tak putus-putusnya.

Kisah Depati Kuris Notoyudo ini dirangkum dalam sebuah catatan pada tahun 1996 oleh cucunya bernama H. Noerdin Pandji bin Pangeran Ibrahim, seorang pejuang kemerdekaan, pensiunan Mayor TNI-AD.

Semoga arwah dan amal ibadah beliau diterima di sisi Allah, Aamiin.

                          TAMAT