webnovel

BERITA MENGEJUTKAN

Beberapa waktu keadaan di Cogong Temedak berjalan seperti biasa. Kegembiraan dan kepuasan sewaktu sedekah/perayaan sudah menjadi kenangan yang manis.

Sesekali kenangan pada waktu lalu itu dibicarakan di kalangan warga. Seluruh warga Cogong Temedak, Bukit Balai, merasakan hidup yang begitu nyaman, tenang, tenteram dan bahagia. Mereka belum pernah merasakan hal seperti itu ketika masih tinggal di dusun.

Kebahagiaan tentu saja dirasakan pula oleh Kuris, istri dan kedua putrinya: Haniman dan Kamariah. Dari hasil panen dan penjualan kopi selama bertahun-tahun, telah membuat Kuris dan Majedah menjadi kaya, bahkan terkaya dari yang lain. Hal ini tentu wajar saja, karena kebun kopi mereka paling luas, terpelihara dengan baik.

Sebagai tanda terima kasih warga kepada Kuris yang telah membawa mereka berkebun di dataran Bukit Balai, yang membuat mereka semua kaya, pada waktu-waktu tertentu, tanpa diminta, mereka membukakan kebun-kebun baru bagi Kuris. 

Merekapun bersedia bergantian memeliharanya, dengan merumput dan lain-lain sebagainya. Jadi, tidaklah heran kalau hasil kebun kopi Kuris berlimpah melebihi yang lain. Uang ringgit pun mengalir kepada Kuris sekeluarga tak terhingga jumlahnya.

Tanpa diketahui orang lain, uang ringgit-ringgit perak, yang diperoleh Kuris dan istrinya dimasukkan ke dalam kaleng-kaleng minyak tanah ukuran dua puluh liter, yang banyak dipakai dan dijual waktu itu.

Kaleng-kaleng berisi uang ringgit perak tersebut mereka tanam. Ada yang ditanam di bawah tangga pondok, ada yang di bawah pondok, di kandang sapi, di bawah tengkiang (lumbung padi) dan di kebun juga ada. Semuanya ada tujuh kaleng minyak tanah penuh.

Pada saat warga Cogong Temedak, Bukit Balai, tengah menikmati kebahagiaan, kegembiraan, dan hidup rukun dan damai. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan tiga orang laki-laki ke rumah pimpinan mereka, Kuris.

Hari itu adalah hari Jum'at, tepat empat puluh hari setelah sedekah/perayaan. Seusai sembahyang Ashar, Kuris dan Majedah tengah duduk- duduk ngobrol di beranda pondoknya, ketika tiga orang laki-laki itu datang.

Mereka mengucapkan assalamu'allaikum yang dijawab oleh Kuris dan mempersilahkan mereka naik ke pondok. Mula-mula Kuris maupun istrinya tidak mengenali mereka. Setelah mereka duduk baru Kuris ingat bahwa mereka ini adalah family-family dari dusun Kuris sendiri, yaitu dari Dusun Gunung Meraksa Lama.

Salah seorang dari mereka yang bertindak sebagai Merekapun bersedia bergantian memeliharanya, dengan merumput dan lain-lain sebagainya. Jadi, tidaklah heran kalau hasil kebun kopi Kuris berlimpah melebihi yang lain. Uang ringgit pun mengalir kepada Kuris sekeluarga tak terhingga jumlahnya.

Tanpa diketahui orang lain, uang ringgit-ringgit perak, yang diperoleh Kuris dan istrinya dimasukkan ke dalam kaleng-kaleng minyak tanah ukuran dua puluh liter, yang banyak dipakai dan dijual waktu itu.

Kaleng-kaleng berisi uang ringgit perak tersebut mereka tanam. Ada yang ditanam di bawah tangga pondok, ada yang di bawah pondok, di kandang sapi, di bawah tengkiang (lumbung padi) dan di kebun juga ada. Semuanya ada tujuh kaleng minyak tanah penuh.

Pada saat warga Cogong Temedak, Bukit Balai, tengah menikmati kebahagiaan, kegembiraan, dan hidup rukun dan damai. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan tiga orang laki-laki ke rumah pimpinan mereka, Kuris.

Hari itu adalah hari Jum'at, tepat empat puluh hari setelah sedekah/perayaan. Seusai sembahyang Ashar, Kuris dan Majedah tengah duduk- duduk ngobrol di beranda pondoknya, ketika tiga orang laki-laki itu datang.

Mereka mengucapkan assalamu'allaikum yang dijawab oleh Kuris dan mempersilahkan mereka naik ke pondok. Mula-mula Kuris maupun istrinya tidak mengenali mereka. Setelah mereka duduk baru Kuris ingat bahwa mereka ini adalah family-family dari dusun Kuris sendiri, yaitu dari Dusun Gunung Meraksa Lama.

Salah seorang dari mereka yang bertindak sebagai ketua rombongan bernama Husin, kakak sepupu dari Kuris, dua orang lainnya juga masih family dekat. Setelah saling bertanya kabar, mereka ngobrol sambil menikmati minuman hangat.

Setelah merasa cukup berbasa-basi dan menikmati hidangan dari istri Kuris, Majedah, maka Husin mengatakan bahwa mereka datang hendak menyampaikan suatu hal yang sangat penting. Namun, Kuris mencegahnya 

mengatakan sesuatu.

"Keperluan kalian nanti saja menyampaikannya. Kita sholat maghrib dan makan malam dulu," kata Kuris kepada para tamunya. Kemudian Kuris mempersilahkan tamu-tamunya beristirahat dan mandi dulu di pancuran.

Setelah makan malam, Kuris mempersilakan Husein menyampaikan pesan penting yang dibawanya dari dusun. 

Pesan yang disampaikan oleh Husin ternyata sebuah berita duka tentang meninggalnya Depati Jalal dua minggu yang lalu. Dia meninggal setelah 8 tahun berkuasa (1881-1889) menggantikan Depati Kecik. Kuris dan Majedah sangat terkejut mendengar berita itu.

Depati Jalal delapan tahun lalu (1881) menggantikan jabatan Depati Ahmad alias Depati Kecik yang meninggal dunia.

Depati Kecik, adalah kakak Kuris seayah lain ibu, sekaligus mantan suami pertama Majedah. Depati Kecik adalah orang yang berjasa mendidik dan membesarkan Kuris. Depati Kecik juga terkenal sebagai pemimpin dan saudara berhati mulia.

Kuris dan Majedah teringat pada saat pernikahan mereka. Semua biaya pernikahan dan pestanya ditanggung oleh Depati Kecik, termasuk mas kawinnya. Dia juga memberikan hadiah empat ekor sapi untuk Kuris.

Menurut Husin, Depati Jalal meninggal dunia setelah sakit yang tidak terlalu lama. Kepergian Depati Jalalmenghadap Sang Khalik sangat menyedihkan bagi keluarga dan rakyatnya. Dia terkenal baik hati, suka menolong orang sehingga semua ahli famili dan masyarakat sangat kehilangan.

Dalam musyawarah ahli famili, kata Husein, semua menghendaki agar Kuris pulang dan menggantikan Depati Jalal sebagai Pasirah Marga Gunung Meraksa. Untuk menyampaikan keputusan tersebut itulah, Husin datang dengan dua orang pengiring.

Mendengar berita yang dibawa Husein itu, Kuris dan Majedah, sedih sekaligus terkejut. Mereka diminta pulang dengan meninggalkan kebun dan warga Cogong Temedak yang telah dipimpinnya lebih dari tujuh tahun.

Hal itu terasa sangat berat bagi Kuris. Dataran Cogong Temedak yang telah dibangunnya dengan susah payah harus ditinggalkan begitu saja. Berkat kepemimpinan Kuris, lebih dari lima puluh keluarga di Dataran itu dapat hidup makmur.Semua warga sudah dianggapnya seperti anak sendiri. 

Mereka sudah merupakan suatu keluarga besar, yang hidup secara rukun. Kuris yang sangat disegani, disayangi dan dipatuhi oleh semuanya.

Kuris termangu-mangu sambil membayangkan bagaimanakah keadaan mereka nanti kalau ditinggalkan.

Biarpun masih ada Mantap, tapi wakilnya itu tidak seperti Kuris. Mantap memang orangnya baik, tapi lemah dan jiwa kepemimpinannya kurang.

Di hati Kuris ada suatu perasaan yang timbul, bahwa pemukiman di Bukit Balai dengan kebun-kebun kopi yang bagus-bagus, pondok-pondok yang menyenangkan, kincir penumbuk kopi dan padi, kolam ikan yang luas, tepian mandi yang sangat menyenangkan pula, akan berangsur-angsur hilang ditelan hutan kembali.

Sebaliknya permintaan ahli famili semuanya yang meminta dia pulang guna memangku jabatan Pasirah Kepala Marga merupakan sesuatu yang tidak diduga sebelumnya. Adalah suatu kehormatan yang besar bagi Kuris dan istrinya menerima kepercayaan itu.

Kedudukan Pasirah Kepala Marga adalah jabatan yang sangat terhormat, sangat berkuasa dan dapat berbuat banyak sekali untuk kepentingan rakyat.

Setelah tamu-tamu dipersilahkan beristirahat di kamar, Kuris dan istrinya, Majedah, berunding. Sungguh suatu pilihan yang sangat berat, yang disadari sepenuhnya oleh mereka, pulang atau tetap di Bukit Balai.

Setelah berbincang secara panjang-lebar, akhirnya Kuris dan Majedah sepakat untuk pulang dan memenuhi permintaan ahli famili. Salah satu alasannya, adalah kalau di dataran Bukit Balai, Kuris memimpin lima puluh kepala keluarga, tapi kalau sebagai Pasirah Kepala Marga, yang akan diurus ribuan keluarga. Dengan kedudukan sebagai pasirah, Kuris, menjadi orang terhormat dan berkuasa.

Kuris dan Majedah sudah mantap dengan keputusan Biarpun masih ada Mantap, tapi wakilnya itu tidak seperti Kuris. Mantap memang orangnya baik, tapi lemah dan jiwa kepemimpinannya kurang.

Di hati Kuris ada suatu perasaan yang timbul, bahwa pemukiman di Bukit Balai dengan kebun-kebun kopi yang bagus-bagus, pondok-pondok yang menyenangkan, kincir penumbuk kopi dan padi, kolam ikan yang luas, tepian mandi yang sangat menyenangkan pula, akan berangsur-angsur hilang ditelan hutan kembali.

Sebaliknya permintaan ahli famili semuanya yang meminta dia pulang guna memangku jabatan Pasirah Kepala Marga merupakan sesuatu yang tidak diduga sebelumnya. Adalah suatu kehormatan yang besar bagi Kuris dan istrinya menerima kepercayaan itu.

Kedudukan Pasirah Kepala Marga adalah jabatan yang sangat terhormat, sangat berkuasa dan dapat berbuat banyak sekali untuk kepentingan rakyat.

Setelah tamu-tamu dipersilahkan beristirahat di kamar, Kuris dan istrinya, Majedah, berunding. Sungguh suatu pilihan yang sangat berat, yang disadari sepenuhnya oleh mereka, pulang atau tetap di Bukit Balai.

Setelah berbincang secara panjang-lebar, akhirnya Kuris dan Majedah sepakat untuk pulang dan memenuhi permintaan ahli famili. Salah satu alasannya, adalah kalau di dataran Bukit Balai, Kuris memimpin lima puluh kepala keluarga, tapi kalau sebagai Pasirah Kepala Marga, yang akan diurus ribuan keluarga. Dengan kedudukan sebagai pasirah, Kuris, menjadi orang terhormat dan berkuasa. Kuris dan Majedah sudah mantap dengan keputusan itu. Mereka lalu mengumpulkan semua warga Dataran Cogong Temedak, Bukit Balai. Panggilan berkumpul itu mengejutkan semua warga karena datangnya mendadak.

Hal itu menimbulkan berbagai prasangka. Warga saling berbisik dan berspekulasi kira-kira apa yang akan terjadi, apalagi bila dikaitkan dengan kedatangan tiga orang tamu di rumah pemimpin mereka.

Sebagian kecil warga mengetahui bahwa ketiga tamu itu datang dari Gunung Meraksa, dusun kelahiran Kuris. 

Telah menimbulkan bermacam pertanyaan di hati banyak warga.

Selama ini dapat katakan, orang luar yang biasa berkunjung adalah dari dusun Lampar dan dari Talang Padang. Sekarang ada pengumuman agar berkumpul di Balai, tentu ada kejadian penting yang akan disampaikan.

Sekitar pukul 9 pagi, Kuris didampingi Majedah dan Mantap serta ketiga orang tamu memasuki Balai. Tempat pertemuan itu sudah dipenuhi warga, laki-perempuan semuanya hadir. Kuris memperkenalkan tamu-tamunya. Husin sebagai Kepala rombongan sekaligus kakak misannya. Dua orang pengiring Husein juga sebagai famili dekat.

Kemudian, dengan hati-hati Kuris menyampaikan tujuan kedatangan ketiga orang tamu itu. Dikatakan bahwa mereka membawa dan menyampaikan keputusan ahli famili di dusun Gunung Meraksa, terkait atas telah meninggalnya Depati Jalal Pasirah Marga Gunung Meraksa. Sanak-famili memutuskan meminta Kuris pulang guna menggantikan Depati Jalal.

Apa yang disampaikan Kuris itu sangat mengejutkan warga. Belum lagi Kuris selesai berbicara, berpuluh-puluh warga berdiri sambil meneriakkan kata-kata "tidak bisa!", "jangan!", "tidak boleh!", dan berbagai ungkapan penolakan lainnya.

Suasana yang tadinya tenang menjadi ricuh. Masing-masing berteriak agar Kuris jangan menuruti kehendak famili-famili Gunung Meraksa. Malahan ada yang sambil memekik mengatakan bahwa Kuris bukan orang Gunung Meraksa, tapi orang dusun Lampar.

"Kami orang dusun Lampar lebih berhak menentukan!," teriak salah seorang dari mereka dengan penuh emosi. Banyak juga yang melampiaskan kemarahan kepada tiga orang utusan yang membawa berita mengejutkan tersebut. Ada setengah jam keadaan seperti itu, yang oleh Kuris ditanggapi dengan tenang. Kuris juga heran terhadap sikap warga yang biasanya tenang, tertib bila dia berbicara, tapi hari ini lain.

Kuris adalah seorang yang bijaksana. Dia memahami, apa yang disampaikan hari ini, memang sangat mengejutkan warga. Mereka berpendapat bahwa kelangsungan kehidupan di pemukiman Bukit Balai tergantung pada Kuris selaku pemimpin mereka.

Kalau Kuris meninggalkan mereka, akan hancurlah pemukiman yang telah terbina secara sangat baik selama 7 tahun lebih itu. Sebuah pemukiman yang telah memberikan kemakmuran pada semua warga. Maka sekarang akan ditinggalkan, tentu saja berita tersebut merupakan pukulan sangat besar bagi mereka. Ini disadari oleh Kuris. Tetapi keadaan menghendaki lain.

Seperti yang telah dirundingkan secara mendalam semalam dengan istrinya, Kuris tidak dapat mengabaikan permintaan famili dan dia harus pulang. Telah terlalu banyak pertimbangan sehingga dia bersama istri mengambil keputusan tersebut.

Akhirnya Kuris meminta semua warga agar diam dan mendengarkan baik- baik apa yang hendak dia katakan. 

Warga menjadi diam dan menunggu dengan cemas dan harap apa yang hendak disampaikan oleh ketua mereka.

Kuris menyampaikan bahwa dia telah membimbing lima puluh keluarga di dataran Bukit Balai selama tujuh tahun dan telah menghasilkan kemakmuran bagi semua.

"Ini dapat terjadi karena kerja keras, ketekunan dan kerukunan kita semua, bukan semata-semata karena adanya Kuris. Kalau keadaan tetap dipelihara, biarpun saya sudah tidak di sini lagi, maka apa-apa yang telah dihasilkan selama ini, akan tetap dan tidak berubah. Jadi tergantung pada kita semua," kata Kuris kepada seluruh warganya.

Warga yang mendengarkan terdiam. Mereka tak sanggup berkata-kata lagi. Hati mereka diliputi berbagai perasaan tak menentu: marah, cemas, dan kecewa. Perasaan itu muncul semata karena mereka sangat mencintai Kuris sebagai pemimpin yang mampu mengayomi dan membimbing mereka.

"Yang diminta oleh famili dari Gunung Meraksa agar saya membimbing lebih dari seribu kepala keluarga, sebagai Pasirah Kepala Marga. Jadi yang harus dipertimbangkan oleh warga dataran Bukit Balai, mana yang akan lebih besar manfaatnya, mengepalai 50 keluarga di sini atau lebih 1.000 kepala keluarga kalau saya menjabat sebagai Pasirah.

"Tolong ini dapat dipikirkan baik-baik oleh semuanya," kata Kuris dengan suara agak tersedak. Dia juga tidak dapat menyembunyikan perasaan haru bakal meninggalkan orang-orang yang mencintai dan dicintainya.

"Saya semalam telah mempertimbangkan semuanya bersama istri. Dan, kami berkesimpulan harus pulang. Ini merupakan suatu takdir yang harus saya jalani," lanjut Kuris. Hening semuanya. Lalu di sana-sini terdengar tangis yang tertahan-tahan. Tapi tak ada lagi yang bicara seperti tadinya. Semuanya tidak setuju atas keputusan Kuris.

Tetapi mereka menyadari bahwa Kuris harus memenuhi keinginan famili- famili Gunung Meraksa. Dan mereka sendiri sebetulnya sudah cukup lama mendapat bimbingan dan memperoleh pengalaman dari Kuris, yang telah membawa mereka menjadi makmur.

Menyadari hal ini maka mereka dengan berat hati dapat melepas Kuris dan Majedah untuk pulang ke Gunung Meraksa.

Pada waktu pertemuan itu pula disepakati bahwa Mantap yang selama ini menjadi wakil Kuris, diangkat menjadi ketua. Tengah hari pertemuan selesai dan utusan dari Gunung Meraksa, pamit hendak segera kembali.

Kuris memberitahukan bahwa lima hari setelah pertemuan ini, dia sekeluarga akan berangkat pulang terlebih dahulu berkunjung ke dusun Lampar, menemui mertuanya dan famili-famili yang lain.

"Insya'allah dua minggu setelah pertemuan ini, kami akan tiba di Gunung Meraksa," kata Kuris kepada ketiga utusan.