webnovel

Pembelaan

"Ada apaan ini? Sore-sore rame sekali, sampai-sampai kedengeran sampai depan rumah?" tanya Manaf Berjalan mendekat ke arah kerumunan orang di dapur itu, dengan menghentakkan kakinya yang sangat berwibawa.

Igho merasa tersudut kalau pria berjas hitam itu sudah datang. Pasalnya Igho tahu, pasti Manaf akan membela Alyn dan Ibunya dalam setiap moment apapun.

"Gak ada apa-apa kok. Hanya saja tadi bola Igho gak sengaja terlempar ke sini. Mereka saja yang lebay," elak Igho memasang wajah datar.

"Tidak tuan Manaf. Tuan muda berbohong sekali. Tadi tuan muda sendiri yang melempar bola itu ke arah Nona Alyn hingga sayur panasnya tumpah mengenai tangan Nona Alyn." sambung Bi Tini memberi pembelaan pada Alyn.

Mata Igho sontak membelalak ke arah Bi Tini dan menunjuk lurus tepat di depan wajah pembantunya itu.

"Diam kamu Bi! Jangan asal ngomong!"

Bi Tini benar-benar ketakutan hingga lututnya bergetar saat melihat ancaman dari Igho. Ia mengerutkan lehernya jadi semakin pendek lalu ia bersembunyi di balik punggung Ibu Daniah.

"Enggak kok yah. Bi Tini asal ucap aja." kilah Igho lagi.

Alyn dan Ibu Daniah hanya diam tak bergeming saat melihat Igho semakin menusukan pandangannya seperti sebuah ancaman.

Manaf sudah bisa mengira dan menimbang mana yang benar dan mana yang salah.

Ia menoleh ke arah Daniah, lalu selang detik selanjutnya Manaf melirik Igho dengan tajam.

"Ayah lihat kamu dengan mata dan kepala ayah sendiri kalau kamu menyakiti Daniah juga Alyn tadi. Apa kamu masih tidak mau mengaku? Kamu ini laki-laki atau bukan sih?" sentak Ayah Manaf menaikan tangga nada bicaranya. "Jika kamu berani melakukannya, maka kamu harus berani mengaku!" lanjut ucap Manaf.

Sejenak Igho terdiam dan melirik ayahnya dengan tajam. Igho tak mau dirinya di sebut sebagai pengecut.

"Okai. Aku akui aku sengaja melempar bola itu pada perempuan itu. Apa ayah sudah puas?" ucap Igho sangat angkuh.

"Jaga sikapmu Igho!" Ayah Manaf sudah mulai bingung mengatasi anak semata wayangnya yang terus bertingkah semena-mena. Hingga tangannya sudah benar-benar gatal ingin menampar Igho. "Ayo minta maaf pada Daniah dan Alyn sekarang juga!"

"Enggak. Igho ga mau minta maaf pada cewek-cewek gak tahu malu itu!"

Emosi Manaf sekarang sudah mulai melambung.

Hingga tangan Manaf hendak mengayun dan ingin menghantam pipi Igho, Ibu Daniah berhasil menjeda pergerakan Manaf.

"Tunggu. Hentikan Manaf! Jangan begitu sama Igho!"

Manaf menoleh ke arah Daniah lalu tangannya tiba-tiba melorot lemas dan menghentak turun sampai sejajar dengan tubuhnya.

Daniah melarang Manaf untuk bertindak kasar pada anaknya itu dan seketika Manaf jadi seorang penurut.

"Yah, Mami selalu berbicara dan mengingatkanmu soal apapun itu, tapi kenapa ayah tidak menurutinya? sedangkan hanya karena perempuan ini, Papa langsung menuruti semua ucapannya? Kenapa Yah? Kenapa ayah tidak adil? Aku punya hak untuk marah mewakili Mami yah. Faham!?"

Igho benar-benar sangat marah hingga ia berani berbicara lantang pada ayahnya sendiri.

Kekecewaannya terlampaui di luar batas kesabarannya.

Ayah Manaf berdiri dengan lesu, sedangkan Igho segera lari tunggang langgang dan menubruk pundak Manaf yang sedikit menghalangi jalannya.

Blak!

"Igho! mau kemana kamu?"

Igho tidak memperdulikan panggilan dari ayahnya itu dan ia langsung menghidupi motor besarnya untuk segera angkat kaki dari rumah itu.

Brummmmzzz.

Sedangkan Alyn berusaha lari keluar ingin menghentikan kepergian Igho, sayang sekali dia pergi secepat kilat sampai sulit untuk di kejar.

"Dasar anak keras kepala, Egois,. dan tidak punya tatakrama!" cemooh Alyn di bibir pintu.

Hingga suara-suara kecil di area dapur semakin mengejutkan. Alyn bergegas kembali ke tempat Ibu dan Om Manaf berada.

Tapi sayang sekali nasib buruk menimpa Ibu Daniah.

Ia tak sanggup menahan semua rasa letih di hatinya saat melihat Igho marah besar. Hingga akhirnya Ibu Daniah benar-benar tak sadarkan diri.

"Ibu! Ibu! Apa yang terjadi pada Ibu Om?" sergah Alyn saat Om Manaf memboyong Daniah ke dalam kamarnya.

"Ibumu pingsan tadi,"

Mendengar itu wajah Alyn benar-benar layu. Kalau bukan tingkah Igho yang kekanak-kanakan, mungkin saja semua itu tidak akan terjadi pada Ibunya.

Sebelum kedatangan Igho, Ibunya baik-baik saja. Sekarang Alyn benar-benar khawatir karena melihat ibunya sudah terkapar lemas.

"Bu, sadar Bu!" Alyn terus menggoyahkan tubuh Daniah yang seperti mayat hidup.

Manaf terus mondar mandir di depan ranjang berpikir kemana anaknya itu pergi.

"Alyn, maafkan sikap Igho. Om akan memberi pelajaran pada anak itu agar tidak mengulanginya lagi."

"Tidak om. Biarkan Igho berpikir sampai dia sadar kalau tingkahnya itu salah."

"Tapi, semakin didiamkan kelakuan Igho semakin menjadi-jadi?"

"Entahlah Om. Aku juga gak tahu apa yang Igho inginkan. Sebenarnya Alyn sama sekali tidak keberatan kalau Igho memperlakukan Alyn bagaimanapun juga. Tapi, Alyn minta izin pada Om kalau Igho bertingkah kasar pada Ibu lagi maka Alyn akan bertindak, gimana? Gak apa-apa om?"

Manaf mengangguk dengan permintaan Alyn. Ia mengerti bagaimana khawatirnya dia pada ibunya itu.

"Om tahu kamu anak yang bisa di andalkan. Lakukan saja yang terbaik menurut kamu Alyn!"

"Terimakasih Om!"

Alyn nampak serius meminta izin untuk bisa menindak Igho jiga ia bertingkah semena-mena lagi.

Di sisi lain Igho pergi ke sebuah tempat sepi.

Ia duduk dengan tubuh sedikit membungkuk.

Tak terasa air matanya terjun begitu saja membasahi pipinya. Ia benar-benar kecewa melihat Ayahnya yang terus membela Alyn.

Padahal Igho mengingat semua hal yang terjadi pada Maminya saat wanita itu menghembuskan nafas terakhirnya.

Beberapa Minggu yang lalu Igho masih bisa menggenggam tangan Maminya saat ia sedang di rawat di rumah sakit.

"Mi, mami pasti kuat. Bersabar ya Mi!"

"Igho, mana ayahmu?"

"Ayah belum datang Mi. Sabarlah, ayah pasti datang sebentar lagi."

"Igho, jika Mami sudah tidak ada lagi di dunia ini maka Mami mohon tolong jagakan dia untuk Mami."

"Tidak Mi. Tidak! Mami jangan bicara seperti itu. Mami pasti akan sembuh. Mami akan pulang kerumah lagi bersama kita!"

"Mami tidak kuat, Igho!"

Suara satu itu terdengar semakin hambar, Igho benar-benar kebingungan dalam kondisi menghadapi Maminya yang sedang sekarat sendirian sedangkan ayahnya tak kunjung datang juga.

Mami Igho memegang lembut Pipi Igho saat itu. Rasa dingin semakin menjalari tangan Maminya itu hingga Igho benar-benar kelimpungan tak tahu apa yang harus ia lakukan.

"Igho, Mami sangat menyayangi kamu nak! Sangat!"

"Mami! Bertahan Mi aku mohon!"

Hingga detik selanjutnya tangan Maminya Igho semakin melemas dan terhempas di atas blankar rumah sakit itu.

Ia menghembuskan nafas terakhirnya tepat di hadapan Igho.

Igho teriak histeris melihat Maminya sudah tak bernyawa lagi. Nafasnya terhenti dan bibirnya semakin membiru.

"MAMI!" jeritnya meronta memeluk wanita yang melahirkannya itu.

"Tidak! Tidak! Sampai kapanpun Igho gak terima kalau ayah akan menikah sama Ibu Daniah. Aku tak terima!" ucapnya menggeleng kepala saat mengingat masa-masa menyedihkan itu.