Jakarta
Anika POV
Bagi sebagian orang mengalami perubahan besar terasa sulit. Tekanan yang terlalu besar menimbulkan perasaan lelah. Namun begitu timbul kemauan besar, kita bisa menjadi tonggak untuk
melanjutkan hidup. Takut menghadapi keadaan tidak lagi menjadi hambatan. Semuanya bisa dilakukan begitu saja. Mengalir.
Aku memakai sunglasses menyusuri bandara. Sudah dua jam berlalu sejak keberangkatannya dari Bandung.
Ini hidup baruku. Dan aku harus bisa melewatinya.
Aku tertegun saat melihat wallpaper ponselnya: diriku, ibu, ayah, dan Mina terlihat begitu bahagia. Kalau saja waktu bisa diulang, aku akan berusaha mengumpulkan kebahagiaan yang mungkin takkan pernah lagi aku raih.
Sebenarnya bagaimana keadaan ayah dan keluarga barunya lima tahun itu? Well, aku tak terlalu ambil pusing. Penolakan keluarga tiriku menyakiti hati. Aku sulit melupakan tatapan jijik Luna aunty. Panggilan "gembel" yang dia lontarkan, seperti orang tak berpendidikan saja. Aku menggeleng pelan. Aku harus menyingkirkan segala hal yang mengganggu pikiranku.
Life must go on. You have to move on!
Aku berada di antrean pengambilan bagasi. Begitu berhasil menemukan dua koper besar, Aku langsung menariknya cepat. Baru selangkah aku berjalan, ponsel dalam kantong jaket berdering keras. Nama Om Sultan terlihat di layar ponsel.
Aku berikrar dalam hati, tidak ada yang boleh mengetahui masa laluku sekarang. Siapa pun. Cukup aku dan orang-orang yang terlibat. Masa lalu menjadi pil pahit yang tak ingin aku telan lagi.
Aku menghela napas. "Halo, Om?" jawabku ramah, mencoba bersikap seperti biasa.
Terdengar tawa khas pamannya dari seberang sana. "Kamu terdengar bahagia, berbeda dengan beberapa hari lalu."
Aku tersenyum kecil. "Ada apa?" Suaraku kembali seperti kemarin-kemarin.
Om Sultan menghela napas panjang. "Sikap dinginmu datang kembali. Bagaimana bisa kamu jadi moody seperti itu? Om hanya mau bertanya, kamu mau tinggal di apartemen atau rumah keluarga Om? Om rasa kamu cocok tinggal di apartemen, mengingat kamu terbiasa di asrama putri saat di Hamburg. Bagaimana?"
Aku menerawang. Aku tak punya tempat tinggal di ibu kota.
Aku tak ingin tinggal di apartemen. Suasana sunyi bisa membuat keadaanku tambah buruk. Namun saat mengingat ukuran rumah yang terlalu besar untuk ditinggali sendiri, aku merasa getir.
Kesepiankah aku nanti?
Pro dan kontra berebutan mengisi pikiranku. Setelah menimbang cepat, aku membulatkan tekad. "Aku tinggal di rumah keluarga Om saja."
"Tapi, Anika…" Suho samchon terdengar protes.
"I'm okay. Om tidak usah khawatir." aku tahu Om Sultan begitu mengkhawatirkanku.
"Baiklah, Anika, jemputanmu datang sebentar lagi. Kamu tidak apa-apa menunggu sebentar? Mereka bilang, ada kecelakaan di jalan, jadi mereka terjebak macet."
Aku mengernyitkan dahi. "Mereka?" tanyaku bingung.
Om Sultan terkekeh. "Lihat saja siapa yang akan menjemputmu."
Tuuuttt...
Sambungan telepon terputus. Alisku bertaut. "Mereka? Berapa banyak orang yang akan menjemputku?"
To Be Continued