webnovel

Rumah Leluhur

Aku harus pindah ke rumah kakek-nenekku di desa untuk merawat kedua sepupuku yang ditinggal mati oleh kedua orangtuanya. Namun di sana aku menghadapi masalah besar. Rumah itu hendak digusur untuk perluasan Bandara. Kami bersikeras mempertahankan tanah dan rumah warisan leluhur tersebut. Dan itu tidaklah mudah. Kami selalu mendapatkan tekanan agar segera pergi dari sana. Di saat pertentangan sengit terjadi antara kami dan pemerintah, tiba-tiba saja rumah itu hidup!

cahyonarayana · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
9 Chs

Mau Kemana?

Seusai berlatih Tai Chi, aku tak tahu lagi harus melakukan apa. Rasanya seperti benar-benar seorang pengangguran. Di kota, aku juga pengangguran, tapi selalu ada yang kukerjakan. Dan tetap tak ada hasilnya.

Apa lebih baik santai-santai begini saja di desa daripada sibuk di kota tapi tak menghasilkan uang?

Dan terngiang-ngiang kata Mbok Gendhuk tadi. Apa benar aku bakal jadi orang besar? Jadi pemimpin mereka? Lalu siapa yang akan dipimpin? Semua orang sudah pergi.

Tapi kakekku tak pernah berkata bohong.

Ah, mungkin lebih baik aku ke kota. Ternyata lama-lama di desa bosan juga. Apalagi jika sendirian. Apakah karena aku sudah terbiasa menjadi manusia urban?

Dulu, kupikir bakal menyenangkan hidup di daerah sepi dekat pantai begini. Hidup serasa tenteram dan damai. Tapi itu mungkin hanya angan-angan orang kota yang hidup penuh dengan kesesakan. Bagi mereka yang terbiasa hidup di pantai, suasana sepi begini tidaklah spesial.

Kuputuskan untuk ke kota, sekalian ke rumah untuk mengambil PC. Mungkin aku bisa melakukan hal-hal menarik dengan PC-ku selama di sini. Yah, meski tak tahu akan sampai kapan aku di sini. Mungkinkah kami akan terus bertahan melawan penggusuran? Ataukah suatu saat nanti mengalah dan pergi? Tak tahu!

Perjalanan ke kota membutuhkan waktu sekitar dua jam menaiki sepeda motor. Naik mobil mungkin satu setengah jam. Dan hanya perlu satu jam bagi yang edan (baca; ngebut).

Bisa dibayangkan waktu yang diperlukan untuk mengejar jadwal pesawat dari kota. Harus berangkat setidaknya dua jam lebih awal. Dan orang-orang edan (baca; suka ngebut) itu sudah menodai jalan propinsi ini dengan keedanan mereka.

Yah, bandara baru dan desaku memang terletak di sisi jalan antar propinsi yang cukup penting. Sering dilewati oleh bus-bus antar propinsi. Juga oleh truk dan trailer pembawa berbagai macam komoditi.

Dan jalur penting begini bukanlah jalur yang nyaman. Penuh dengan kendaraan besar dan mobil-mobil pribadi yang melaju dengan kecepatan tinggi. Membuat penat kepala dan hati.

Kecelakaan bukan hal yang aneh lagi. Polisi bahkan memajang sebuah mobil ringsek akibat kecelakaan sebagai tugu di pinggir jalan untuk mengingatkan para pengemudi. Tapi para pengemudi edan (baca lagi; suka ngebut) memang susah diingatkan.

Meski malas melewati jalan ini, namun inilah satu-satunya jalan yang menghubungkan daerah kami dengan dunia luar. Jalan raya yang mirip hutan rimba. Penuh pengemudi edan dan tak sopan. Apalagi setelah dibangun bandara baru itu. Semua semakin keedanan karena tak ingin ketinggalan pesawat.

Saat melewati jalan kampung untuk menuju jalan besar, kupapasi sebuah pesawat terbang di atasku hendak mendarat. Bandara ini memang belum beroperasi penuh. Baru sedikit pesawat yang datang dan pergi.

Dan kubayangkan, bagaimana hidup kami nanti setelah banyak pesawat datang? Pasti sangat berisik. Karena itukah pemerintah mengusir kami? Untuk menyelamatkan kami dari kebisingan pesawat terbang - sang pembikin polusi suara dan udara terbesar di langit itu?

Atau mungkinkah untuk mencegah kami terlindas jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan? Mungkin ada baiknya mereka mengusir kami. Tak berbayangkan bagaimana hidup di samping bandara.

Rumahku di kota berjarak sekitar tiga kilo meter dari bandara lama. Dan kebisingan yang dihasilkannya cukup mengganggu. Atas rumah sering dilintasi oleh pesawat-pesawat yang memutar untuk mendarat atau lepas landas.

*

Mbok Genduk dan beberapa anaknya menyapaku saat melintasi rumah mereka, "Mau ke mana, Mas?"

"Ke rumah sebentar, Mbok!" jawabku.

Orang desa memang selalu menanyakan orang hendak bepergian ke mana, atau dari mana.

Elizabeth Gilbert, penulis novel Eat, Pray, Love pun sempat kagum dengan budaya itu di Bali. Mungkin di Amerika Serikat tak ada.

Dan kurasa memang benar anggapannya. Orang-orang itu bukanlah sekedar menanyakan tujuan kepergianmu. Tapi menanyakan; mau ke mana hidupmu?

Sama seperti dirinya yang dulu tak mengetahui tujuan hidupnya; tepat seperti yang aku rasakan saat ini. Mbok Gendhuk seolah menanyakan padaku; mau ke mana arah hidupku?

Akankah tetap menjadi pengangguran tanpa harapan begini (dan jomblo)? Atau mau ke mana? Mau jadi pemimpin? Mau jadi orang besar? Tapi lewat mana?

Sampai di jalan besar, kupapasi banyak orang bersepeda menuju bandara baru. Yah, tempat itu telah menjadi tujuan wisata dadakan. Bahkan oleh orang kota dan luar kota yang jauh-jauh datang ke sana!

Tidak hanya bersepeda berkelompok (yang lagi trend), tapi kadang memakai bus pariwisata!

Bandara! Jadi tempat wisata? Begitu udikkah orang-orang negeri ini?

Di kota lain, kudapati banyak orang berwisata di pinggir bandara untuk sekedar melihat pesawat terbang dan mendarat. Kadang membahayakan diri mereka sendiri karena pesawat-pesawat itu terbang dan mendarat di atas jalanan yang sering mereka pakai untuk nongkrong.

Apakah mungkin saking kurangnya tempat wisata gratis bagi mereka, hingga bandara pun dijadikan tujuan wisata? Lengkap dengan para penjaja makanan dan warung-warung nasi di sekitarnya.

Orang desa hanya dapat melihat pesawat dari jarak jauh di langit. Dan ketika dapat melihatnya dari jarak dekat, cukup membuat mereka kagum dan terhibur.

Namun di kota ini, tempat wisata sangatlah banyak. Bahkan kadang sampai bingung untuk memilihnya. Pesawat pun sudah tak asing lagi. Lalu kenapa bandara baru yang belum selesai itu tetap juga dijadikan tujuan wisata?

Mungkinkah karena gratis, atau karena kehausan orang negeri ini akan piknik? Sangat membutuhkan hiburan dari kepenatan hidup.

Atau apakah karena begitu fenomenalnya pembangunan bandara megah ini? Atau karena mereka terlalu bosan dengan jenis wisata yang itu-itu saja?!

Di bandara baru ini pun, mereka hanya berfoto-foto di depan tulisan bandara. Lalu memamerkannya ke seluruh dunia.

Penjaga tak melarangnya, karena tak mengganggu. Tempat itu memang masih sepi. Para pesepeda bahkan diijinkan masuk ke kawasan bandara (yang jalan masuknya mungkin lebih dari satu kilometer). Dan rupanya itu menyuguhkan pengalaman menarik tersendiri bagi mereka. Setelah dibuka resmi kelak, mungkin tak bakal diijinkan lagi.

Mereka tak dapat melihat pesawat terbang secara langsung karena tertutup oleh bangunan tinggi dan besar. Namun nampaknya mereka cukup senang dapat masuk ke bandara.

Bagi yang belum pernah naik pesawat, setidaknya mereka senang merasakan masuk bandara. Dan yang mengherankan, mereka yang sudah sering naik pesawat pun ikut-ikutan antusias berwisata kemari. Entah apa yang dicari. Barangkali korban trend.

Trend, saudara-saudara, telah mengalahkan segalanya sekarang ini. Hanya sedikit yang tak menjadi korbannya.

Dan bandara ini juga dekat dengan berbagai wisata pantai. Seusai dari bandara, biasanya mereka ke tempat itu. Jadi mereka hanya penasaran saja dengan bandara ini? Suatu proyek yang telalu megah untuk desa terpencil? Atau bahkan untuk seluruh propinsi?

*

Setelah dua jam perjalanan yang melelahkan, akhirnya aku sampai di rumah. Sepi, karena ibu dan bapakku bekerja. Adikku sudah menjadi PNS pula di luar pulau. Hanya ada seorang pembantu.

"Loh, pulang Mas?" sambutnya heran.

"Iya," jawabku, "nanti bilang ibu ya, aku ambil komputer!"

Tak bisa kuangkut komputer itu sekaligus. Mungkin bisa jika dengan mobil, tapi sedang dipakai ayah bekerja.

Kuangkut bagian-bagian kecil dulu yang bisa kumasukkan ke dalam tas ransel; keyboard, mouse, stabilizer dan yang lain. Ah, aku harus bolak-balik besok untuk mengangkut semua ini. Kenapa harus repot begini? Tapi aku serasa tak bisa hidup tanpa komputer ini.

Kusempatkan mampir ke rumah salah-satu saudaraku di pinggiran kota. Ia membuka cafe dan rumah makan. Entah harus disebut cafe atau rumah makan.

Sekarang baru trend membuka tempat makan yang menyuguhkan kopi ala cafe dipadukan dengan menu makan tradisional. Biasanya berbentuk joglo atau rumah klasik. Dan menu makanannya adalah masakan rumahan; sayur asem, oseng-oseng, kadang sayur lodeh, gudangan dan menu sederhana lainnya. Jadi semacam jualan kopi modern yang digabung dengan makanan tradisional!

Orang-orang kota menyukainya! Seakan bernostalgia dengan makanan dan suasana desa sembari ngopi ala cafe. Dan terutama, foto-foto mereka nongkrong di tempat itu bisa dipamerkan ke media sosial.

Bagi kami orang desa, fenomena tempat makan seperti itu bukan hal luar biasa. Kami selalu makan makanan desa. Dan tak menyukai kopi ala cafe. (Yang jelas karena tak punya uang untuk kopi semahal itu)

Namun pamer foto saat nongkrong; orang-orang desa mulai menyukainya! Lebih-lebih saat mereka mulai mampu membeli ponsel pintar.

"Woi, Rian!" sambut Agung, saudaraku yang mendirikan tempat makan ini, "Dari mana? Katanya kamu ke desa?"

Aku dipersilakan duduk di sudut joglo. "Iya, dari sana!" jawabku.

"Wow, gimana?" ia menanggapiku penuh antusias setelah meninggalkan pekerjaannya, "Jadi mereka tetap tak mau pindah?"

Beberapa pengunjung datang untuk makan. Pada pagi hari, tempat makan ini menyediakan menu soto. Orang luar yang menjualnya, digaet oleh Agung untuk bekerjasama di sini.

Dan tak ada yang memesan kopi ala cafe yang mahal-mahal itu.

"Yah, mereka tetap ngotot!" jawabku.

"Ah, parah deh! Mau kopi?"

"Nggak, tadi sudah ngopi!"

Dan aku teringat kopi buatan Cintya tadi pagi. Hanya kopi hitam biasa kurasa. Tapi entah kenapa terasa sangat enak. Begitu juga dengan pisang goreng yang dibuatnya.

"Kalau gitu, sarapan?" tawarnya, "Biasa, pagi baru ada soto! Gorengan juga ada nih! Pisang, singkong, tempe, gembus, tahu!"

"Aku sudah makan! Cintya yang masak! Dia pintar masak ternyata!"

"Oh ya, masak apa?"

"Semalam sup ikan dan kepiting rebus. Tadi pagi; nasi goreng kepiting!"

"Busyet! Makananmu lebih enak dari menu restoku! Aku dulu juga tinggal di sana, tapi tak pernah makan begitu! Apa sekarang menu orang desa sudah berubah?"

****