webnovel

Ruby Jane

WARNING: 1. Mengandung muatan dewasa. 2. Buku ini terinspirasi dari novel Melanchocolates. Summary: Namaku Ruby, Ruby Jane... Ruby adalah batu yang kuat dan berkilauan, tapi aku tidak begitu. Saking berkilaunya sampai aku dibuat lemah. Cinta membuatku hidup dengan kegilaan. Cinta ibu dan ayah berhenti ditengah jalan. Cinta sahabatku berakhir ketika ia memutuskan untuk menikah. Cinta kekasihku melimpah namun aku tidak sanggup menadahinya. Adakah ketulusan itu? Jika pun ketulusan dan kasih sayang bisa dibeli dengan uang, maka aku akan membelinya. Semua perjalanan itu adalah harta yang tak ternilai untukku, semuanya sudah hancur. Namun seseorang disana tengah berusaha meyakinkanku untuk terus menjalani kehidupan ini sampai saatnya aku kembali pada-Nya. Seseorang itu telah memberiku sekotak kecil Pandora untuk tidak berhenti berharap. Namaku Ruby Jane, dan ini kisahku..

nyenyee_ · Historia
Sin suficientes valoraciones
17 Chs

Dewi Penolong

"Antrean nomor lima, Nona Ruby". Ruby menatap Jack dengan tidak yakin. Perempuan itu merasa baik-baik saja namun tidak mengerti kenapa Jack membawanya ketempat praktik psikiater ini lagi? Sementara itu Jack tidak punya pilihan lain, ia mengikuti saran dokter untuk membawa Ruby ke pskiater. Jack tidak mau melihat Ruby lebih hancur lagi dari kemarin. Kondisi Ruby waktu itu sangat menyedihkan, Jack takut perempuan itu akan bertindak lebih jika tidak cepat-cepat ditindak lanjuti.

"Jika kamu mencintaiku, ah lebih tepatnya menghargai pendapatku sebagai seorang kekasih. Masuklah ke dalam". Ujar Jack lembut berusaha meyakinkan Ruby jika semua akan baik-baik saja. Tangan besar lelaki itu merangkum penuh jari jemari Ruby hingga rasa hangat dan nyaman menjalar sampai ke hati.

"Hem...". Jack menepuk kepala Ruby pelan dan memberikan senyuman lembut karena perempuan itu menuruti permintaannya. Kemudian ia mengamit lengan Ruby dan menuntunnya masuk ke ruangan pskiater.

"Selamat sore, silahkan duduk. Ada masalah apa?". Sapa dokter Sonia dengan ramah. Sikapnya tempo lalu terkesan tidak profesional sehingga perempuan itu agak merasa tidak nyaman dengan kehadiran Ruby. Ruby pun sama, malu karena sudah bertindak kurang sopan pada dokter yang keliahatannya lebih tua darinya itu. Ia pun memilih diam dan membuang muka, membiarkan Jack yang mengobrol dengan dokter Sonia.

"Bukan saya, tapi kekasih saya Dok". Sahut Jack seraya menggenggam erat jemari Ruby.

"Kenapa dengan kekasih anda?".

"Beberapa hari yang lalu saya menemukannya tergeletak karena mabuk. Sebelum itu dia sedang mengecat dinding, padahal setahu saya dia tidak suka melakukan pekerjaan berat seperti itu. Kemudian saya membawanya ke rumah sakit dan dokter bilang ada gejala depresi pada Ruby. Ketika sedang tidak sadar dia terus memanggil-manggil nama ibunya". Jelas Jack panjang lebar. Ruby hanya diam menyimak tidak mencoba buka suara kendati dirinya lah yang mengalami kejadian itu.

"Memang ibunya kemana?".

"Saya tidak tahu. Dia jarang bercerita tentang keluarganya... mungkin sudah meninggal". Jack dan Sonia menatap Ruby yang sedari tadi diam mematung dengan prihatin.

"Hmmm... baik, saya akan memeriksanya. Bisa anda meninggalkan kami berdua?".

"Baik, Dok. Tapi sedari pagi dia tidak mau bersuara sedikitpun".

"Ya, hanya hati dan pikirannya yang bicara". Sonia mengelus punggung tangan Ruby memberikan afeksi agar perempuan itu merasa nyaman. Jack pun bangkit dari duduknya kemudian mengecup dahi Ruby sebelum keluar dari ruangan.

Diluar ruangan Jack mondar-mandir, duduk, bangkit, duduk lagi seperti seorang suami yang sedang menunggu istrinya melahirkan. Sementara itu di dalam ruangan masih hening, Sonia sekuat tenaga berusaha melupakan kejadian menyakitkan tempo lalu. Ruby adalah seorang pasien dan Sonia adalah dokter yang pekerjaannya mengobati pasien.

"Hai Ruby, apa kabar?". Ruby memandang Sonia dengan kosong. Tak mau menyerah, Sonia kembali membuka suara.

"Ruby ingat aku? Maaf sudah bertindak kasar padamu saat itu". Sonia bangkit dan memeluk Ruby. Ruby masih terdiam. Perempuan itu layaknya patung yang tidak bernyawa.

"Aku tidak habis pikir denganmu. Beberapa bulan yang lalu aku melihatmu bahagia sekali. Sekarang kamu kembali dihadapanku seperti ini. Kenapa kamu hanya diam dan melamun seperti orang gila? Orang gila yang cantik... sayang sekali. Apakah kamu sadar jika kamu cantik sekali? Kamu harus sembuh dan menjadikanku temanmu. Aku tahu kamu membutuhkanku. Apa yang terjadi padamu? Bicaralah, ceritakan semuanya padaku". Bujuk Sonia dengan mata memancarkan ketulusan, Ruby terpaku karenanya.

"Aku butuh kasih sayang". Akhirnya Ruby bersuara, Sonia senang sekali mendengarnya.

"Tentu Ruby. Banyak orang yang akan menyayangimu. Kekasihmu, aku. Lalu apalagi yang kamu butuhkan?". Ruby kembali diam tidak bersuara. Sonia menunggunya beberapa menit, lalu menghela nafas panjang. Perempuan itu memanggil Jack agar masuk kedalam.

"Siapa namamu?".

"Jack".

"Jack, Ruby itu pasien lama saya. Sedikitnya saya tahu permasalahannya. Saya akan membantunya sebagai teman, bukan sebagai dokter". Ujar Sonia sungguh-sungguh.

"Dokter pernah menanganinya?". Tanya Jack agak kaget. Setahunya ia hanya mengantar Ruby berobat dua kali.

"Ya, saya pernah menanganinya sebelum kamu bertemu Ruby".

"Jadi, benarkah selama ini dia depresi? Saya tahu dia sakit, tapi tidak menyangka akan separah ini".

"Seingat saya dia pernah mengurung diri dirumah. Dulu dia menelepon saya dan tidak mau datang ke sini. Dan sepertinya memang lebih baik jika saya yang datang kerumahnya".

"Dokter mau kerumahnya?".

"Ya, setiap hari". Kata Sonia dengan sangat yakin. Senyum lega terpatri diwajah tampan Jack, harapan besar agar Ruby bisa sembuh total dan terbebas dari bayangan kelamnya.

"Terimakasih Dok, saya ingin dia sembuh".

***

Sonia datang untuk yang pertama kalinya ke rumah Ruby. Ia disambut Jack yang nampak rapi dengan setelan jas.

"Pagi Jack, maaf jika lama menunggu".

"Tidak apa-apa. Silahkan masuk". Jack mempersilahkan Sonia masuk ke dalam rumah. Rumah Ruby terlihat rapi dan wangi. Tentu saja semua itu karena Jack, lelaki itu begitu sabar merawat Ruby. Semuanya diatur dengan sebaik mungkin agar Ruby merasa nyaman dan yang paling penting agar kekasihnya tidak suntuk.

"Bagaimana kabar Ruby?".

"Pagi ini dia sedikit bicara. Bahkan dia membuatkan saya sarapan". Sahut Jack dengan wajah sumringah.

"Benarkah? Sekarang dia dimana?". Sonia menatap sekitar mencari sosok Ruby.

"Sedang mandi".

"Sudah selesai". Potong Ruby. Ia tampak lebih segar memakai dress berwarna biru laut diatas dengkul. Syukurlah suasana hati Ruby mulai membaik, ia sudah tidak memakai baju berwarna gelap lagi.

"Sayang, ini dokter Sonia. Dia akan menemanimu hari ini". Ruby tersenyum dan menyodorkan tangannya. Tanpa ragu Sonia menjabat tangan Ruby dan mereka bersalaman.

"Kalau begitu saya tinggal dulu, saya harus bekerja". Jack mencium dahi Ruby sebelum keluar dari rumah.

Ruby menarik tangan Sonia dan membawa perempuan itu keruang tengah. Didudukannya Sonia ke salah satu sofa sementara ia mengambilkan air putih di dapur. Sonia menurut saja bahkan perempuan itu tersenyum geli melihat tingkah Ruby yang aktif. Jika sedang waras Ruby begitu menggemaskan.

"Ruby, ceritakan apa yang menjadi masalahmu. Dulu kamu pernah mengurung diri. Apa yang membuatmu berbuat seperti itu?". Tanya Sonia setelah Ruby meletakan gelas berisi air diatas meja.

"Entahlah, mungkin aku hanya butuh teman". Jawab Ruby acuh tak acuh sembari memainkan kuku jarinya.

"Jika cuma teman, kenapa kamu harus menyakiti dirimu seperti itu?". Ruby menghela nafas panjang karena merasa tidak suka dengan topik yang dibawa Sonia.

"Dokter, aku tidak tahu. Semua terjadi diluar kendaliku".

"Jangan panggil Dokter, panggil saja namaku".

"Emm... Oke Sonia. Namamu cantik, kamu juga cantik". Puji Ruby namun tidak ada senyum sama sekali diwajahnya, terlihat seperti basa-basi. Sonia duduk dilantai seperti bersimpuh didekat kaki Ruby.

"Aku mau jadi temanmu asal kamu tidak mengurung diri lagi, bagaimana?".

"Yakin mau jadi temanku?".

"Tentu saja". Ruby turun dari sofa dan duduk dilantai bersama Sonia.

"Setuju, sekarang kita teman". Sonia tersenyum dan membiarkan perempuan itu menepuk-nepuk pelan kepalanya.

"Apa yang kamu rasakan sekarang?". Tanya Sonia kemudian.

"Senang. Tak menyangka punya teman baru. Senang sekali". Kata Ruby bak anak kecil yang baru saja mendapatkan teman baru. Senyumnya bahkan lebar sekali, tak tanggung-tanggung deretan giginya kelihatan.

"Usiamu berapa?".

"Menurutmu?".

"Emmmm...". Sonia mengetuk-ngetukan telunjuknya dikepala dan mencoba menebak usia Ruby.

"17 tahun?". Canda Sonia yang membuat Ruby terbahak.

"Haha. Aku 23 tahun".

"Kuliah?".

"Kenapa orang selalu menanyakan hal itu? Kalau aku bilang tidak kuliah atau pengangguran, mereka langsung menjauhiku". Keluh Ruby.

"Tidak semuanya seperti itu, contohnya aku". Sahut Sonia cepat. Ia jadi bertingkah seperti bocah karena Ruby.

"Kamu disini karena uang!". Ruby mulai sensitif.

"Tidak! Tapi sudahlah percuma ku terangkan".

"Iya percuma! Karena aku hanyalah pengangguran bodoh, tidak seperti kamu". Ruby berdiri meninggalkan Sonia yang masih duduk dilantai. Ia berjalan mengelilingi ruangan sambil mengoceh tidak jelas.

"Ruby! Kamu uring-uringan seperti itu karena semalam belum orgasme ya?". Ledek Sonia. Ruby terbelalak mendengarnya kemudian tertawa terbahak-bahak. Sonia tersenyum melihat Ruby tertawa lepas seperti itu. Ia akan berusaha meyakinkan jika bukan karena materi ia ada di sini. Ia mengerti jika Ruby tidak mempercayai pertemanan kilat. Semua butuh proses, dan ini adalah salah satu cara untuk menyembuhkan Ruby.

"Saat ini aku sedang cuti. Aku tidak ada praktik selama satu bulan. Aku bisa menghabiskan waktu bersamamu, jika kamu mau".

"Kenapa cuti?". Tanya Ruby ingin tahu.

"Hanya merasa jenuh dengan pekerjaan". Ruby tidak menanggapi. Perempuan itu mengajak pindah ke ruang televisi. Ruby mengeluarkan kue coklat dan menghidangkannya untuk Sonia.

"Jack suka coklat, kamu juga suka coklat?". Tanya Ruby.

"Tidak seberapa, aku lebih suka... emmm... sebentar". Sonia terlihat mengorek isi tasnya dan Ruby menunggu dengan sabar.

"Aku lebih suka jeruk, rasanya segar. Dan ini seperti pipimu". Sonia menempelkan jeruk keprok ke pipi Ruby yang membuat perempuan itu cemberut.

"Pipiku tidak seperti jeruk, aku juga tidak suka jeruk. Tapi karena kamu memberikannya padaku... termakasih". Ruby bangkit dari duduknya kemudian menuju kulkas untuk menyimpan jeruk pemberian Sonia.

"Aroma jeruk itu segar sekali, kalau kamu sedang penat cobalah untuk menghirup aroma jeruk. Saat pusing aku akan makan banyak jeruk dan ajaibnya pusingku langsung sembuh, hahaha". Sonia asyik sendiri sementara Ruby nampak acuh.

"Oh".

Sonia menunggu Ruby bertanya. Hampir lima belas menit hening dan sunyi. Sonia mengharapkan perbincangan timbal-balik, namun Ruby hanya diam menikmati kuenya.

"Ruby kok diam?".

"Aku pusing, kamu bicara terus".

"Ini kan untuk menemanimu".

"Heem. Jangan marah". Ruby sedikit tak enak dan meneruskan pembicaraan.

"Kalau kamu usianya berapa?".

"27, kenapa? Kamu tidak mau berteman dengan orangtua?".

"Coba berdiri". Sonia berdiri dihadapan Ruby yang menatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Kamu sangat tinggi. Cantik sekali seperti Dewi Yunani. Meski usiamu sudah 27 tapi masih terlihat sangat muda". Sonia tersenyum mendengar penilaian Ruby.

"Terimakasih. Jam berapa sekarang?".

"Kenapa? Mau pulang?".

"Kamu ngusir?".

"Tidak. Biasanya orang yang bertanya jam karena ada janji. Bukannya ngusir". Sonia belum terbiasa dengan sikap Ruby yang cepat berubah. Kadang kasar, kadang sopan. Ia mencoba mengabaikan perkataan yang menyinggung perasaannya. Baginya yang penting Ruby sembuh.

"Aku ada janji. Aku pulang dulu ya". Pamit Sonia seraya memeluk Ruby. Ruby membalas pelukan Sonia kali ini, senangnya punya teman seorang Dewi.

***

Pukul 23.00 Ruby tidak bisa tidur. Ia merasa terganggu dengan obrolan semi dewasa bersama Sonia tadi. Ruby bangkit dari tidurnya kemudian berjalan kearah komputer, dibukanya website porno walau ia tak begitu suka. Gambar-gambar itu tidak bisa membuat Ruby orgasme, ia lupa rasanya orgasme. Entah kenapa malam ini Ruby merindukan Jack, rindu penis kekasihnya. Ia rindu lidah Jack yang pernah membuatnya menggelinjang dan mengerang. Tidak mungkin menemui Jack selarut ini, tapi Ruby rindu.

Lama menatap gambar dan video porno dikomputernya, mata Ruby mulai pedih. Ia memutuskan untuk mematikan komputer dan berbaring kembali di ranjang. Ruby menatap langit-langit kamar dengan perasaan gelisah. Mencoba memejamkan mata namun tidak bisa. Perempuan itu justru mulai berimajinasi.

Malam ini tiba-tiba Ruby ingin bercinta dengan Jack. Tidak hanya sekedar menempel seperti malam itu, melainkan masuk sepenuhnya. Long Dick, Big Dick milik Jack. Celana dalam Ruby sedikit basah hanya karena mengingat benda itu. Disambarnya ponsel yang ia letakan diatas nakas dan segera menghubungi Jack.

"Sayang, aku ingin". Pinta Ruby dengan manja sesaat setelah Jack mengangkat telepon darinya.

***