webnovel

Royal Family Series : Pengantin Sang Raja (The King's Bride)

Richard adalah raja yang tak pernah menikah. Itu adalah sumpahnya setelah melihat penghianatan yang dilakukan ibunya. Namun bagaimana jika adik lelakinya yang merupakan pewaris tahta akhirnya meninggal dan memohon agar Richard menikah sebagai permintaan terakhirnya? GalaxyPuss

Galaxypuss · Historia
Sin suficientes valoraciones
55 Chs

Vatikan

"Ini sudah terlalu jauh," Justin mendesah sementara ia menatap sosok gadis dalam layar macbooknya di balik gelas minumannya yang berbau seperti cairan pembersih jendela. "Ya kan Justin? Penderitaan di sini benar-benar tidak berakhir. Mataku rasanya sembab."

"Hn. Hn," Justin menjawab apatis. "Menyedihkan memang."

"Bagaimana di sana? Baik? Kudengar kau dikirim ke Vatikan, Bos senang sekali mendengarnya kau tahu?"

"Tahu," Pria muda itu menaruh gelasnya dan meraih macbooknya sebelum membawa kameranya menghadap jendela kamar hotelnya. "Vatikan ini benar-benar neraka, kan?"

"Neraka sekali," ucap gadis itu saat ia kembali menatap Justin. "Rasanya aku ingin ke sana juga dan menyelesaikan segala hal gila ini. Aku ingin ke Desmarais sebenarnya, bulan ini aku belum berziarah."

"Ke dermaga?"

"Iya."

"Kau jatuh cinta pada orang yang salah dan pada kisah yang menyedihkan. Huh? Kau dianggap sebagai sahabat saja kan?"

"Aku memberitahumu bukan untuk kau ledek," gadis itu melotot. "Sampah masyarakat."

"Oh," Justin apatis. "Katakan itu pada sampah masyarakat yang berbicara ini, dasar lesbian."

Gadis itu menghela nafas berat, "Cinta tidak hanya diantara pria dan wanita. Cinta itu universal, kau hanya tid-"

"Oh," Justin mengerang main-main. "Hentikan ceramah konyolmu itu kaum pelangi."

"Brengsek, kau pikir aku kuda poni?"

Justin tertawa, membuat gadis itu mendelik.

"Sudahlah fokus aja, tugasmu jauh lebih mudah tahu? Aku ini main ganda, capek sekali rasanya. Jaga saja apa yang kau bawa itu baik-baik, permainan ini akan selesai dengan segera. Kau tahu? Aku selalu lebih suka ending bahagia. Selalu."

...

Justin memandang bangunan di depannya dengan wajah yang nyaris tak kuasa, ia mengusap wajahnya dan turun dari mobil BMW hitam yang ia sewa di rental dekat hotel, ia menutup pintunya dan menyebrang jalan batu kecil di hadapannya.

Pria muda itu berhenti melangkah saat seorang biarawati yang akan menutup gerbang gereja menatapnya lekat.

"Posso aiutarti?"-ada yang bisa saya bantu-.

Justin mengerjab, agak terkejut karena biarawati itu ternyata memperhatikannya. "Uh, voglio andare in chiesa."-saya ingin mengunjungi gereja-

Biarawati itu tersenyum dan cepat-cepat membuka gerbang."Oh, scusa. per favore entra, chiudo il cancello perché a volte ci sono macchine parcheggiate con noncuranza nel cortile."-Maaf,saya menutup gerbangnya karena beberapa mobil parkir sembarangan di halaman gereja-

"Da dove sei tu?"-dari mana asalmu-

Justin balas tersenyum, "Sto da chevailer."-saya dari Chevailer-

"Oh," biarawati itu tersenyum. "Chevailer?" ia melanjutkan dalam bahasa inggris. "Raja Richard?"

Justin mengiyakan, "Iya. Raja Richard."

"Aku turut berduka atas apa yang menimpa negerimu dan Ratumu," biarawati itu menunduk iba.

"Terimakasih," balas pemuda itu.

"Masuklah, ayo masuklah." biarawati itu meraih lengan Justin dan membawanya memasuki gereja. Justin mengikuti dengan penuh perhatian dan memperhatikan setiap detail gereja setajam mungkin.

Standar, sebenarnya. Seperti selayaknya gereja katolik diseluruh dunia isinya juga sama saja. Kursi-kursi kayu coklat tua yang berjajar, lorong panjang dan meja altar berisi lilin serta salib besar yang dipelitur hitam mengkilat di dindingnya.

Dinding-dinding gereja dibuat dari marmer dan begitupun juga tiang-tiangnya, hanya saja dibagian kubah altar ada karpet merah bergambar maria yang menutupinya. Justin sendiri masih asik mengamati, saat wanita itu tiba-tiba berucap dengan nada tenang. "Siapa namamu anak muda?"

"Justin," sahutnya cepat. "Justin Curry."

"Justin. Apa kau sudah pernah dibabtis?"

"Ya, nama baptis saya Felix."

"Felix," biarawati itu tersenyum. "Kau punya nama yang bagus, aku harap kau selalu bahagia."

"Terimakasih," balas Justin.

Biarawati itu tersenyum padanya dan menepuk punggungnya, ia kemudian berbalik pergi membiarkan Justin berdiri di altar sendirian. Pria muda itu menghela nafas ... bukan ini tujuanku ke gereja, batinnya. Aku bahkan bukan penganut katolik.

Tapi tetap saja, pria muda itu bersimpuh di depan altar dan menangkupkan tangannya. Mendunduk seraya berdoa kepada Tuhan yang ia yakini.

"Aku," Justin memulai. "Bukan penganut Katolik Roma, kami di Chevailer punya aturan gereja kami sendiri dan kami berkiblat pada Ortodoks. Tapi terserah, kupikir semua Tuhan sama bukan? Kalian Maha Pemurah, aku percaya itu," Pemuda itu menarik nafas. "Tuhan yang baik. Bisakah kau menghentikan semua kegilaan ini? Banyak sekali orang terluka dan banyak kebohongan yang membuat aku muak. Aku hanya ingin melindungi satu saja, walau aku tahu untuk melindungi satu itu aku harus mengorbankan banyak hal. Aku mohon, bantu aku. Amin."

...

"Brengsek sialan," itu ucapan selamat pagi Richard pada ajudannya yang baru berpulang dari liburan.

Tidak, tidak. Ia tidak mungkin mengumpati Charles, dia tidak sekurang ajar itu. Ia hanya kesal karena ia mendapat laporan bahwa hasil perikanan di Pebios mengalami masalah, ada sekelompok warga negara Spanyol yang menangkap ikan di perairan pulau itu. Kepalang kesal warga disana lalu membakar kapalnya dan membuat warga negara Spanyol itu pulang membawa protes ke negaranya. Hebatnya, sekarang mereka menuntut tanggung jawab dari Richard atas perahu mereka yang dibakar.

"Kita bisa langsung mengirim perahu baru Yang Mulia," saran Charles.

"Ya, dan membuat seluruh warga Pebios murka karena aku membela Spanyol?" Richard menggerutu. "Terimakasih Charles."

"Bukan begitu," Charles menyahut tenang. "Kita akan menukari kapalnya, tapi kita buat perjanjian adil. Bahwa Spanyol akan memastikan bahwa ia tidak akan pernah lagi membiarkan warganya masuk. Kita harus menjaga hubungan dengan Spanyol Yang Mulia," Charles mengendik. "Kukira Raja Felipe masih menjadikan anda faforitnya dalan berbisnis."

Richard membalasnya dengan gerutuan, "Hanya karena dia merasa aku adalah dia versi muda dulu," ucap Raja muda itu sebelum kemudian menyeret Macbooknya mendekat dan mulai sibuk dengan kertas di mejanya. "Apa aku kosong untuk beberapa hari ke depan Charles?"

Charles menunduk pada tabletnya, "Ya. Untuk tiga hari ke depan Yang Mulia."

Richard mengendikkan bahu acuh, "Bagus. Aku mau berkunjung ke Pebios, aku ingin melihat keadaan."

Ajudan Raja itu tidak bersuara, tapi sorot dalam matanya mulai tampak jangal. "Berkunjung ke Pebios? Tidakkah itu berlebihan Yang Mulia?"

Raja Muda itu mendongak bertannya, "Bagian mananya yang berlebihan Charles? Aku hanya mencari keadilan untuk rakyatku."

Charles tersenyum, "Anda benar. Maaf saya hanya merasa khawatir."

Balasan Richard hanya sikap apatis.

"Yang Mulia," Charles memulai. "Jika begitu saya akan menemui Kepala Pengawal untuk bicara. Apa anda ingin sesuatu untuk saya bawakan saat kembali?"

"Kopi hitam tanpa gula," jawab Richard cepat.

"Ya, kalau begitu saya permisi."

Richard membuat gerakan mempersilahkan dan segera setelah membungkuk hormat Ajudan Raja itu keluar dan menutup pintu. Di lorong pria itu berjalan dengan langkah pelan, ia melihat sekeliling sebelum dengan cepat masuk ke ceruk kecil di belokan koridor. Tangan pria itu menarik keluar ponsel dari sakunya dan dengan cepat ia mengetik nomor yang sudah ia hapal mati.

"Raja akan pergi ke Pebios," ucapnya bahkan sebelum lawan bicaranya selesai berucap halo. "Ya," pria itu melanjutkan dengan nada tenang. "Aku tahu. Aku sudah mencegahnya tapi tidak bisa. Ya, semua akan baik-baik saja. Lakukan saja seperti apa yang kita rencanakan. Ya... "

Charles diam sesaat.

"Hanya itu caranya. Kita harus menipu Raja untuk kesekian kalinya."

....