webnovel

Revenge Of The Black Hare

Kehadirannya selalu membuat nyawa melayang layaknya sesosok malaikat pencabut nyawa. Padahal sosok hanyalah seekor kelinci. Lebih tepatnya 2 ekor kalau melihatnya dengan indra keenam. Warna hitam dengan nampak yang mengerikan hanya bisa ditangkap mata itu. Pertumpahan darah di mana-mana menyambut kedatangan mereka. Tapi ini bukan perang. Kelinci hitam itu bukan dari dunia nyata. Itu perwujudan sebuah balas dendam seorang gadis yang bernama Lizzie dari masa lalu. Balas dendam yang benar-benar susah untuk dihilangkan dan melakukan berbagai cara supaya dendamnya terpenuhi. Sedangkan kelinci yang dapat dilihat tanpa indra keenam merupakan perwujudan seorang anak laki-laki bernama Thomas dengan tujuan yang sama dengan Lizzie. Ia juga ingin mengetahui keberadaan adiknya yang saat ini sedang tinggal bersama orang yang sudah membunuhnya dengan kejam. Ya, Lizzie dan Thomas sudah mati, dan salah satu diantarnya beruntung bisa berenkarnasi. Akankah mereka bisa memenuhi hasrat dendamnya untuk membunuh orang itu? Atau sebaliknya? Apa mereka akan pergi dengan damai, agar tidak makan korban lagi karena 'kejahilan' kelinci itu? Siapa sebenarnya Lizzie dan Thomas?

tahraanisa · Horror
Sin suficientes valoraciones
277 Chs

Tommy and Kimmy

Sepasang kakak-beradik itu selalu merasa mereka dilahirkan mungkin untuk tidak diinginkan oleh kedua orangtuanya. Sudah 7 tahun mereka menempati panti asuhan sederhana itu. Walau begitu, mereka tidak merasa menyesal. Mereka sangat bahagia bisa memiliki anggota keluarga yang menyenangkan di sana.

Tapi mereka jadi bimbang saat sepasang suami istri ingin mengambil mereka sebagai anak adopsi. Sedih, tapi juga senang. Sedih karena harus tidak bisa bersama dengan teman-temannya--walau sebenarnya bisa mengunjungi panti asuhan sesekali, tapi juga senang karena akhirnya ada yang mau mengadopsi. Sebenarnya calon ayah dan ibu angkat mereka itu hanya ingin mengambil Si Adik, tapi Si Adik tidak mau berpisah dengan kakaknya. Untungnya sepasang suami-istri itu tidak keberatan dengan keinginannya.

"Thomas, jangan sampai lupakan kami, ok?" kata seorang anak laki-laki berkacamata.

"Aku tidak mungkin melupakanmu, Chip," balas Thomas. Ia memandang kawannya itu sejenak, lalu memandang sekitarnya. Tidak ada siapapun selain mereka berdua. "Kami? Memangnya Ashley lagi di sini?" tanyanya dengan nada pelan.

Anak yang bernama Chip itu mengangguk. "Dia ada di sebelahmu saat ini." Lalu ia melirik ke arah kanannya yang sebenarnya tidak ada siapa-siapa itu. Kemudian ia tertawa sekilas tanpa sebab.

"Di-dia bilang sesuatu?" Thomas sedikit gugup saat makhluk astral yang katanya senang berada di sisinya itu berbicara sesuatu yang membuat Chip tertawa.

"Iya. Katanya dia akan merindukan ekspresi takutmu itu saat ia menjahilimu," ujar Chip.

Thomas melangkah ke kiri Chip sedikit demi sedikit, menjauhi sosok yang tidak bisa dilihatnya itu. "Mu-mungkin aku akan merindukannya juga nanti."

Tiba-tiba saja pintu kamar mereka terbuka sendiri tanpa sebab. Cukup membuat Thomas kaget.

"Ashley membukakan pintu untukmu. Katanya, ini terakhir kalinya ia akan menunjukkan keberadaannya padamu," jelas Chip.

"Maksudmu menunjukkan wujudnya? Ehm... Tidak terima kasih," sela Thomas. "Membayangkan wujudnya saja sudah merinding, apalagi melihatnya langsung."

Lagi-lagi Chip tertawa. "Ashley sudah tahu itu, Thomas. Ia sendiri juga sebenarnya malu menunjukkan sosoknya yang setengah badan atasnya hangus terbakar juga wajahnya yang hancur di depanmu. Ia sendiri juga tidak tega membuatmu insomnia hanya gara-gara dia." Kali ini Thomas tidak suka dengan ocahan Chip tadi. "Maaf," ucap Chip yang berusaha meredakan tawanya.

"Baiklah, sebaiknya aku pergi sekarang," kata Thomas sambil mengangkat tas ranselnya.

"Hati-hati di jalan. Semoga hari-hari barumu menyenangkan! Oh iya, Ashley bilang kalau dia ingin menemanimu sampai ke depan," info Chip. "Dia akan tersinggung kalau kau menolaknya," sela Chip saat Thomas membuka mulutnya dan bermaksud menolak.

Thomas terdiam sesaat. Berencana membangun kembali keberaniannya. "Sampai jumpa, Tobias Clooney!"

Chip tersenyum tipis mendengar nama aslinya keluar dari mulut kawannya. "Sampai jumpa lagi, Thomas!"

Thomas sedikit mempercepat langkahnya supaya lekas sampai di depan panti. Ia mulai tidak nyaman saat tangan kanannya terasa dingin tanpa sebab. Padahal seluruh tubuhnya tidak dingin sama sekali.

"Thomas! Kami sudah lama sekali menunggumu!" Sebuah gerutuan dari seorang gadis kecil menyambut kedatangannya. Wajahnya menggembung lucu dan alisnya bertaut dalam. Kedua tangannya memeluk erat boneka kucing yang ia bawa sebagai pelampiasan.

"Maaf," kata Thomas santai. Tiba-tiba saja tangan kanannya kembali menghangat. "Sudah pergi?" gumam Thomas.

"Siapa yang sudah pergi?" tanya seorang lelaki yang akan mengadopsi mereka itu.

"Ehm... teman?" jawab Thomas ragu.

"Thomas, Kimberly." Seorang wanita paruh baya menghampiri kedua anak itu. "Kalian jangan nakal ya di sana. Aku tahu kalian berdua anak baik, jadi patuhi dan sayangi kedua orang tua baru kalian. Kalau terjadi sesuatu atau merindukan kami, hubungi kami atau berkunjung ke sini. Kami selalu menerima kedatangan kalian kapan saja. Mengerti?"

"Kami mengerti," kata kakak-beradik itu.

"Anak pintar," pujinya sambil mengelus lembut kedua rambut mereka.

•••

Untuk pertama kalinya, mereka masuk ke dalam sebuah mobil mewah. Sangat beruntung orang tua yang mengadopsinya adalah keluarga berada.

Walau dengan kedua mata tertutup, mereka berdua terlihat tidak sabar untuk melihat rumah yang akan mereka tempati.

Sejam kemudian, mereka baru boleh membuka kedua penutup mata mereka setelah keluar dari mobil.

"Selamat datang di rumah!!"

Akhirnya mereka sampai di rumah. Tapi tidak terlihat seperti rumah pada umumnya, bisa dibilang sebuah istana! Sangat mewah dan megah. Tidak henti-hentinya mereka menatap kagum istana yang akan mereka tempati itu. Apalagi dengan pemandangan langit senja. Matahari yang akan terbenam tepat di sebelah rumah itu, membuat siapa saja mendambakan untuk tinggal di sana.

"Whoa! Jadi Papa tinggal di sini?" kagum Kimberly saat kami baru saja turun dari mobil.

Ia sempat tertegun saat mendengar kata 'Papa' yang ditujukan padanya dari mulut gadis itu. "Papa?"

Kimberly menoleh ke arahnya dengan kedua alis terangkat. "Jadi tidak boleh memanggil Papa? Maaf, karena hanya sebutan itu yang aku tahu saat sudah mempunyai orang tua angkat," ujarnya sambil merunduk, memperhatikan boneka kucing abu-abunya.

"Jadi kami harus memanggil kalian apa, Tuan?" tanya Thomas. Ia tidak bicara dengan nada sarkastis, justru lebih kepada sopan.

Lelaki itu menggeleng. "Bukan begitu," katanya. "Aku tidak pernah mendengar sebutan itu padaku dan istriku dari seorang anak, karena istriku mandul. Sebenarnya aku sangat senang mendengarnya." Lelaki itu mengembangkan senyum manisnya.

"Terima kasih, Papa!" sahut Kimberly sambil memeluk hangat papa angkatnya itu sesaat.

Saat Thomas masih asik melihat arsitektur bangunan megah di depannya ini, tiba-tiba saja Kimberly menggenggam kedua tangannya dan melompat-lompat kegirangan.

"Thomas! Akhirnya aku bisa sering-sering pergi ke mal dan berpakaian serba mewah!!"

"Gadis kecil dengan pakaian ketat berkilau, sepatu hak tinggi dan bibir merah merona sedang berjalan-jalan di sekitar mal. Aku tidak sabar melihatmu seperti itu hahaha." Ia tergelak saat membayangkan adik manisnya itu berpakaian layaknya wanita dewasa.

Senyum Kimberly mulai masam dan perlahan menghilang karena komentar tadi. Sedangkan Thomas mencoba untuk berhenti tertawa dari bayangan aneh itu tentangnya.

"Ayo kita masuk, Papa," kata Kimberly ketus sambil menarik paksa tangannya masuk ke dalam rumah dan Thomas mengekor di belakangnya.

Walau rumah itu luas, tapi sayangnya hanya ada mereka, seorang supir dan 3 orang penjaga gerbang rumah. Sangat disayangkan melihat rumah mewah tapi sepi.

Ctaarrr!!

Kimberly langsung bersembunyi di belakang Thomas saat sebuah ledakkan konfeti menyambut kedatangan mereka. Potongan-potongan kertas warna-warni alumunium berterbangan dan hampir menutupi pemandangan di depan.

"Hallo anak-anak! Selamat datang di kediaman Flawnsen!" sambut seorang wanita yang ternyata ia lah yang meledakkan konfeti tadi. Hanya dia, yang menyambut mereka di dalam. Tidak terlihat ada tanda-tanda asisten rumah tangga. Rumah itu benar-benar sepi.

"Sebaiknya kita berbincang di ruang keluarga saja," saran wanita bergaun merah itu. Kemudian ia berbalik badan sambil berkata "Ayo ikut aku!"

"Kim, wanita itu benar-benar gambaran dari bayanganku," bisik Thomas.

"Bayangan apa?" balas Kimberly.

"Pakaian ketat berkilau, sepatu hak tinggi dan bibir merah merona," ujarnya sambil kembali menahan tawa.

Kimberly tahu sekali apa yang dimaksud kakaknya itu. Mood-nya yang baru saja dibangun, langsung runtuh kembali. "Kau sangat menyebalkan!" gerutu Kimberly sebelum ia mempercepat langkahnya dan menghampiri wanita itu.

"Adikmu kenapa?" tanya Papa pada Thomas.

"Kesal karena aku menggodanya." Thomas menanggapinya santai.

•••

"Perkenalkan, namaku Nataline Eneby Flawnsen dan ini suamiku, Daryl Flawnsen," ujar wanita berambut pendek sepundak itu. "Aku tahu pasti nama kalian Thomas dan Kimberly," tebaknya.

"Sebelum mengadopsi kami, pastinya kalian melihat data kami, kan. Jadi tidak mungkin kalian tidak tahu nama kami," sambar Thomas. Kimberly menegur Thomas dengan cara menyikunya.

"Memang," Nataline tertawa renyah. "Thomas dan Kimberly, menurutku akan lebih bagus kalau aku panggil Tommy dan Kimmy," usulnya.

Thomas menoleh ke arah Kimberly, bermaksud meminta pendapat darinya. Kimberly mengangguk sambil tersenyum, tanda ia menyukainya.

"Baiklah," ujar Thomas.

"Oh iya, sebaiknya kalian mandi dan ganti pakaian kalian. Lalu--"

"Kami baru saja mandi di panti," sela Thomas.

"Kalian baru saja pindah ke sini dan sudah sepantasnya kalian berpenampilan baru. Pakaian sampai sabun di sini sangat berbeda dengan yang ada di pantimu itu," jelas Nataline sambil menuangkan teh lemon yang tersedia ke gelas anak-anak itu. "Jujur saja, aku tidak suka kesederhanaan, dan pakaian kalian sangat sederhana untuk dipandang. Jadi, setelah kalian habiskan minuman ini, aku akan mengantar kalian ke kamar baru kalian. Lalu berpenampilanlah sekeren dan secantik mungkin." Ia mengakhiri kalimat dengan senyuman manis.

Thomas dan Kimberly hanya mengangguk sebelum mereka meneguk minuman itu dan berterimakasih. Thomas sebenarnya sudah tidak suka dengan gaya bicara ibu angkatnya itu, namun ia tidak bisa berbuat banyak dan mencoba untuk membiasakan diri.

Mereka berjalan menaiki tangga yang tak jauh dari ruang keluarga. Kemudian, mereka melewati koridor rumah yang cukup berliku-liku. Lukisan pemandangan dan hiasan guci berbagai ukuran dan rupa hampir memenuhi koridor yang mereka lewati. Sekalian Nataline menjelaskan satu per satu ruangan yang mereka lewati itu sambil memberikan denah rumahnya.

"Dan ini dia kamar kalian!" seru Nataline saat ia berhenti di depan pintu kayu polos. Kemudian ia membukakan pintu itu.

Tampak luar memang terlihat biasa-biasa saja, tapi di dalamnya, bertolak belakang dengan luarnya. Kamar bercat hijau daun yang luas dengan dua lemari dan dua ranjang tidur yang jaraknya agak jauh. Juga dua kamar mandi terpisah. Tidak lupa dua jendela yang cukup besar dekat tempat tidur mereka yang mengarah pada pemandangan halaman belakang yang luas.

"Semua sudah tersedia di sini. Lebih baik aku beri kalian waktu beradaptasi dulu," ujar Nataline seraya menutup pintu. "Oh iya anak-anak," pintu itu terbuka sedikit dan Nataline melongokkan kepala. "Jangan lupa mandi dan ganti baju ya. Aku tidak suka dengan penampilan sederhana, kalian ingat itu. Dan makan malam jam 7," infonya sebelum ia benar-benar pergi.

Thomas memperhatikan pakaiannya dan adiknya yang menurutnya tidak terlalu sederhana sekali. Jaket rompi biru dan celana jeans untuknya juga gaun merah muda untuk Kimberly. "Sombong sekali," gumamnya sinis.

"Ada apa, Tom?" sambar Kimberly yang samar-samar mendengarnya.

"Bukan apa-apa," jawabnya. Lalu mereka pun menjelajahi setiap sudut kamar. Thomas memilih ranjang dengan seprai cokelat sedangkan Kimberly memilih yang jingga.

Saat Kimberly membuka lemari bajunya, ia memekik melihat betapa bagus dan lucunya baju-baju itu. Cukup untuk membuat Thomas kaget. "Kita pasti akan betah di sini!" girangnya sambil memamerkan baju-bajunya.

"Setahuku, anak yang baru berumur 8 tahun sepertimu, lebih suka masak-masakan dibanding pakaian," kata Thomas jengkel.

"Mungkin aku spesial," angkuhnya sambil menyibakkan rambutnya yang dikuncir dua itu.

Thomas hanya mendengus. "Oh iya, sepertinya kamar luas ini gabungan dari dua kamar," kata Kimberly saat ia merasa ada yang mengganjal dari kamar mereka itu.

"Benarkah?" balas Thomas sambil memilah pakaian yang akan ia kenakan nanti.

"Dua kamar mandi, dua meja belajar dan juga ada tanda sisa-sisa pembatas dinding di sini." Kimberly meraba-raba lantai tempat tanda pembatas dinding itu berada.

"Hmm..." Thomas benar-benar tidak terlalu mempedulikan penjelasan adiknya itu. "Sebaiknya kita bergegas sekarang. Sebentar lagi jam 7 malam," usulnya setelah ia melihat jam bandul besar yang berdiri di antara kamar mereka.

•••

Mereka pun segera ke ruang makan setelah mandi dan berganti pakaian. Tapi mereka sedikit tersasar lantaran Thomas yang sok tahu, memimpin jalan.

"Sepertinya kita sudah melewati kamar kita 3 kali. Tom, kamu yakin sudah mengerti denahnya?" tanya Kimberly.

"Te-tentu saja. Apa sih yang aku tidak mengerti," kata Thomas sambil tertawa miris.

Kimberly memasang ekspresi curiga. Dengan cepat, ia mengambil kertas denah rumah dari tangan Thomas lalu melihatnya. Kemudian, ia pun memimpin perjalanan. Sebentar saja, mereka sampai di ruang makan. Sedangkan Thomas berusaha sekuat mungkin menahan malunya.

"Kalian terlambat. Ayo duduk," kata Nataline yang sedang membagi spageti ke empat piring.

"Tadi ada sedikit kendala," kata Kimberly sambil melirik Thomas. Lalu mereka pun duduk di kursi masing-masing dan menyantap makanan mereka setelah membaca doa.

Beberapa menit mereka makan dalam diam, sampai Nataline memulai obrolan. "Sejak pertama datang ke sini, sepertinya kamu suka dengan boneka itu, Kimmy."

Kimberly menelan dahulu spageti di mulutnya. Lalu mengangkat boneka yang tadi bersandar di gelasnya. "Iya, aku sangat suka."

"Kenapa?"

"Mama pasti tahu tokoh kartun boneka ini, kan?" tanya Kimberly balik.

Nataline sempat terkejut mendengar kata Mama keluar dari mulut manis anak adopsinya. Ia tersipu. "Siapa yang tidak kenal karakter Tom dari kartun Tom & Jerry, sayang?" balas Nataline lembut.

"Jadi, boneka Tom ini selalu mengingatkanku dengan orang yang paling dekat denganku," katanya.

"Tommy?" tebak Nataline.

Kimberly mengangguk. "Aku sangat suka karakter ini. Sangat mencerminkan sifat Tom... Maksudku Thomas," ia tertawa pelan. "Sok tahu, egois, keras kepala, pemarah, susah mempercayai orang yang tak dikenal--"

"Kamu mengejekku ya?" Thomas tersinggung.

"Seaindainya aku laki-laki dan diberi nama Jerry. Pasti akan sangat keren!" Kimberly tidak menanggapi sahutan Thomas.

"Tidak peduli kamu ini perempuan dan namamu Kimberly, sifatmu sudah sama persis dengan Jerry. Jahil, suka mencari perhatian, mencari bahaya--"

"Tapi setidaknya, Jerry itu pintar, gesit, dan cerdik," sela Kimberly cepat. "Bagaimana denganmu, Thomas?" tantangnya

"Kalau Tom itu..." Ia tidak bisa menjawabnya. Ia merasa tidak ada yang baik dari karakter Tom tersebut.

Nataline dan Daryl tertawa melihat kelakuan anak adopsi mereka.

"Aku tahu kamu tidak bisa jawab." Kimberly tertawa mengejek. "Baiklah, akan aku beritahu. Walau sifat buruknya lebih banyak, tapi Tom itu baik, bertekad bulat, pantang menyerah, kuat dan berani," jelasnya.

"Oh, oke," gumam Thomas lalu melanjutkan makanannya. Ekspresinya biasa saja, tapi sebenarnya ia tersenyum dalam hati.

"Oh iya," Daryl angkat bicara. Ia ingin menyambung, "bukannya Tom itu malah pengecut dan mudah menyerah ya?"

"Papa," tegur Kimberly sambil mengedipkan matanya beberapa kali. Berusaha memberi isyarat.

"Hmm? Jadi tadi hanya gurauan ya?" gumam Daryl dengan wajah tanpa dosanya.

"Bukan! Sifat Tom yang asli memang gurauan. Tapi tadi itu, sifat aslinya Thomas," kata Kimberly cepat. "Bagaimana ya?" Ia bingung dan tidak tahu ingin berkata apa. Karena sudah terlanjur membuat kakaknya merasa terpuruk.

Mereka makan malam sambil bercakap-cakap. Nataline yang membaurkan mereka. Ia cukup bersosial. Membuat suasana makan malam ini berbeda dari sebelumnya yang pernah mereka rasakan. Lebih tenang dan nikmat. Tidak seperti saat di panti asuhan, ramai dan ribut, tapi menyenangkan.

Setelah mereka makan bersama, Nataline mengajak keluarganya untuk bermain sesuatu di taman belakang. Selain untuk membuktikan mereka akan betah tinggal di sini, ini juga berguna untuk saling mengerti dan berbaur satu sama lain. Membuat api unggun dan memanggang daging sudah cukup untuk mereka merasakan bagaimana rasanya mempunyai orang tua. Begitu juga sepasang suami-istri itu yang akhirnya bisa merasakan bagaimana rasanya mempunyai anak.