Chapter 5: Suasana Canggung
.
"ciee, itu lho, lampu hijau"
.
.
Besok paginya, selesai membantu ibunya menyiapkan sarapan. Ina berencana mengunjungi teman masa kecilnya.
"Lah, Nak Kemal mau kesini lho."
"Kan urusannya sama ayah, Mah."
"Iya, tapi kan dia temanmu."
Ina langsung meralat kalimat ibunya. "Kenalan." Ia segera mengenakan jaketnya dan pamit. "Duluan, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, temeni po o nak. (Temani dong)" Ina sudah mengambil sepeda dan mengayuhnya keluar halaman.
Dijalan, sisi kanan kirinya hanya ada pemandangan hijau dari pepohonan dan sawah padi. Rumah Ina menuju rumah rumah di kampung memang berjarak cukup jauh karena dipenuhi sawah dan kebun orang. Ia menikmati pagi itu, bernostalgia dan merindukan hari hari dulu ketika ia biasa mengayuh sepeda di jalan ini.
Setelah pertigaan dan jembatan diatas sungai, sampailah Ina di rumah kawan masa kecilnya.
Terlihat seorang perempuan memakai gamis hitam dan hijab berwarna merah muda tengah menyapu di halaman depan.
Ina mendekati gadis itu diam-diam.
"Assalamu'alaikum, rumah mba Mira sebelah mana ya?"
Gadis berhijab pink itu menghentikan kegiatan menyapunya dan menengok ke sumber suara. Sontak ia melepaskan sapunya dan berlonjat memeluk Ina.
"Ina yaampunn!!"
Ina tertawa kecil. Menerima pelukan sahabat kecilnya
"Wa'alaikumussalam, waalaikumussalam Inaaa" dua kali salam dua kali lebih erat pelukannya.
Hari itu Ina menghabiskan waktunya bermain di rumah Mira. Lebih tepatnya bercerita bagaimana hari-hari Ina selama kuliah di luar kota, cerita horor ketika pengabdian walau sebatas dengar dr warganya saja, serta kegiatannya selama pandemi.
Untunglah kampung halaman Ina hanya terdapat satu jalan besar yang mana memudahkan skrining serta pemeriksaan keluar masuknya warga. Apalagi masyarakat kampung Ina memang sibuk di lahannya sehingga jarang keluar kampung.
"Iya, wilayah kita sudah ditandai sebagai area hijau oleh pemerintah." Sahut Mira.
Ina mengambil kue lidah kucing, "alhamdulillah. Ngomong-ngomong, Kota tempatku kuliah belum ada penetapan karena beberapa area masih nakal masyarakatnya." Tambahnya, lalu ia memakan kue kering itu.
Mira menghela napas, "duh, kok ga mikir to. Lihat nyoh, hari ini naik kasusnya." Mira menunjukan handphonenya pada Ina.
Hari itu penuh percakapan yang panjang dan berganti ganti. Begitu waktu sudah menunjukan pukul tiga sore, Ina pamit untuk kembali. Mira yang baru saja merapikan lagi mukenah menemaninya keluar rumah.
"Besok, aku main ke rumah yaa"
"Ho oh, (iya)"
Berpisah di depan rumah Mira, Ina menaruh sebungkus kue buatan ibunya Mira di keranjang depan lalu segera mengayuh sepeda tua itu pulang.
Tepat sebelum belokan menuju rumah Ina, ia menemui mobil serta tiga orang berpakaian serba hitam. Dua diantaranya Ina kenal.
"Assalamualaikum, Ina?" Sapa kak Kemal. Ina berhenti tepat di sebelah mereka.
"Waalaikumsalam Dokter Kemal. Sudah nemui ayah saya?"
"Iya sudah keliling juga." Sahutnya. "Baru main ya?"
Ina mengangguk "mau pulang dok?"
"Mau kembali, " sahutnya sembari menoleh pada kedua orang dibelakangnya, Kak Mil dan...seorang perempuan memakai setelan jas hitam dan kemeja putih, rambutnya berwarna pirang pendek dan diikat ekor kuda. orang asing lagi rupanya,
Seperti biasa kepekaan kak Kemal sangat tinggi, tidak luput tatapan penasaran Ina.
"Perkenalkan, dia penjaga personalku."
Kak Kemal mempersilahkan perempuan berambut ikl itu berkenalan dengan Ina.
"Silvier Kuila, panggil saja Sila." Ujarnya sembari berjabat tangan dengan Ina.
Tangan Ina meraba tangannya, nampak Sila mengenakan kaos tangan berbahan kulit berwarna hitam
"... Ina Riana, panggil saja Ina."
Setelah beberapa detik penuh canggung alias Ina tidak tahu memulai pembicaraan dari mana, Kemal memulai pembicaraan.
"Kemarin aku lupa menaruh bingkisanmu, sudah kutaruh di rumahmu." Ujarnya
Ah iya, bingkisannya. nyaris saja Ina lupa.
"Terimakasih Dok,"
"Ngomong-ngomong, bagaimana persiapan wisuda mu?"
"Ada beberapa kriteria kelulusan yang belum selesai, Dok. Tapi selama pandemi ini, sedang saya usahakan untuk selesai."
"Oh, soal apa?"
"Pertama sertifikasi TI, tapi sudah ada jadwal tesnya secara online. Kedua, menunggu surat keterangan tugas akhir yang sudah selesai, ini tinggal menunggu tanda tangan kepala program studi. Terakhir, tes tuffèl. Saya masih akan mendaftar tesnya."
Kak Kemal memberi respon hmm sebelum berkata, "untuk kamu yang pernah buka kursus bahasa inggris pasti mudah, ya." Sambil meringis pada Ina.
"Oh haha, kursusnya kan hanya setingkat sekolah dasar. Belum tentu saja bisa setingkat level lanjut." Sahut Ina, "dokter, Kak Mil dan Kak Sila sepertinya lebih expert (jago) daripada saya." Ina bergantian memberi perhatian pada kedua orang di belakang kak Kemal.
Mereka tidak menyahut, sedari tadi hanya berdiri seperti posisi istirahat dan matanya nampak ditutup. SOP sebagai bawahan atau bagaimana kah?
Kemal memberi petunjuk dengan menggerakkan sedikit kepalanya ke samping, seolah memberi isyarat pada kedua orang di belakangnya. Hal ini tertangkap pandangan Ina. Kak Mil dan Kak Sila langsung menyahut setelah isyarat itu.
"Saya bisa bahasa Inggris sebatas keperluan komunikasi saja," kata Kak Sila, mata tetap tertutup namun ia berbincang mengarah posisi Ina seolah sudah tahu posisi Ina dimana.
"Sejujurnya, bahasa inggris yang kami gunakan tidak sekaku ujian tuffèl. Kalau saya boleh menambahkan, menggunakan persis struktur tuffèl terkesan aneh dimata orang yang memiliki ibu bahasa Inggris." Tambah kak Mil.
Ina sebenarnya cukup kagum dengan mereka berdua. Sedari tadi diam namun tidak menyahut apa-apa sebelum diberi kewenangan. Pekerja profesional memang memiliki karisma yang berbeda.
"Haha, begitulah. Tapi kalau kamu perlu bantuan, bilang saja padaku." Kak Kemal memberikan sebuah kartu identitas berwarna hitam dan tulisan tertulis dengan tinta emas. Kartu itu nampak terbuat dari kertas yang tebal dan kuat. Terdapat lambang mahkota dan bulan di bagian depan, lalu dibaliknya terdapat identitas asli kak Kemal, beserta predikat dan nomor handphonenya.
Walau di tuliskan secara rinci diatas, pertama yang muncul di kepala Ina adalah: kartu ini nampak mahal. Ina menerimanya dengan hati hati.
"... te--terimakasih atas kartu... identitasnya..(?)" Yah penuh tanda tanya apakah benar kartu identitas sedangkan kartu itu menurut Ina seperti kartu free pass premium sebuah tempat eksklusif atau semacam kartu ATM yang sekali gesek dapat mobil kali ya.
"Kalau ada sesuatu kamu bisa menghubungi aku, kalau ada masalah yang membuatmu tidak bisa menghubungi aku, kamu bisa tunjukan saja lambang di kartu ini, "
Woah, oke. Ina rasa cukup terjawab pertanyannya. Yang pasti jangan sembarangan menggunakan kartu ini.
Setelah itu mereka berpisah dan Ina segera kembali pulang.
...
Besoknya, setelah sarapan. Mira datang untuk main, mereka banyak menghabiskan waktu bersama di kamar Ina. Namun Mira tidak bisa berlama-lama karena harus membantu pamannya di ladang. Alih-alih sekitar jam 10 Mira mau pamit untuk pulang.
Ina mengantar Mira sampai kedepan, saat itu di rumah Ina kedatangan tamu. ayahnya sedang berbincang dengan pak RT, Kak Kemal dan Kak Mil.
"Lho, nduk (lho, Nak.)," Pak RT melihat Ina. "Wes mulih to, kok ga mampir nang omah (udah pulang ya, kenapa tidak mampir ke rumah saya)." Sahut pak RT.
Ina dan Mira menghampiri ruang tamu terbuka di teras itu dan memberi salam pada Pak RT, Kak Kemal dan Kak Mil.
"Nggih, baru pulang jadi setidaknya mau karantina mandiri dulu hehe." jawab Ina secara asal.
"Halah, alesan. Nanti mampir yo, iki lho Afif nanyain kabarmu terus, kok gada kabar selama pandemi. (alasan ah, nanti mampir ya, ini si Afif tanya kabar mu terus, kenapa tidak ada kabar selama pandemi)."
Diikuti tawa kecil dari kedua pihak. "Haha, oiya? Afif udah semester berapa Pak?"
"Yoo, tahun depan wisuda. Engkok ta kongkon Afif nemui kamu yo. (yaa, tahun depan wisuda. nanti kubilang Afif biar menemui kamu ya)"
Mira menyahut, "ciee, itu lho, lampu hijau."
"Ehem" ayah Ina memecah perbincangan penuh bercanda itu. Pak RT memang suka menjodoh-jodohkan anak orang, dan untuk kalangan seperti Ina Mira dkk memang sudah biasa, tapi Ayah Ina selalu menganggap serius semua hal. "Ini lho ada tamu," menoleh kearah kak Kemal dan Kak Mil yag sedari tadi tenang.
"Oo iki yo, wes kenalan? (oh iya, sudah kenalan?)" Ayah Ina menepuk siku pak RT, "he? Oh iyo, pacar e Ina yo? (apa? ah iya, pacarnya Ina ya?)"
Serius dan beribu-ribu rius, Ina merasa suasana menjadi berat walau memang mulut pak RT asal trabas ditambah bercanda.
Kak Kemal masih senyum saja sambil menundukan pandangannya. Seolah tidak ada usaha untuk membantah.
"Dokter Kemal kenalan saya," sahut Ina dengan pelan. Membuat Mira dan Pak RT makin penasaran dan ingin bertanya gimana cara ketemunya namun Ayah Ina dengan baik mengalihkan topik.
Mira pamit dan Ina akan kembali masuk ke rumah, namun dihentikan oleh pak RT yang mana diskusi empat orang itu masih berlanjut.
"Ada apaa pakk...? Tanya Ina dengan perasaan ingin segera keluar dari situasi ini. Walau terbiasa dengan bercandanya Pak RT namun setidaknya jangan ketika ada orang yang sudah banyak membantu Ina lah. Kan canggung yak, apalagi Ina pernah bersikap tegas dengannya. Aduh, tercampur dah dalam 1 perasaan itu.
"Kok gitu sih jawabnya, sini lho" tukas pak RT, ayah Ina tenang tenang saja menyeduh kopinya. Padahal harusnya ia tahu, Ina sedang dipermainkan disini. Ina datang menghampiri meja mereka. "Kamu temani tamunya lihat-lihat tanah sebelah pak Ridho bisa ya?"
Kenapa bukan dengan pak RT dan atau ayah Ina?
"Ee, gimana?"
"Jadi, aku habis ini mau ke kantor dulu ambil dokumen, ayahmu mau jemput ke rumah Pak Yahya dulu. Kamu temani pak direktur sini ke tanahnya dulu ya, nanti kami nyusul."
Ugh, ingin sekali Ina menolak namun melihat pesona seseorang berjas serba gelap itu membuat Ina dalam mode iya-baiklah-apa boleh buat.
Akhirnya ketiga kelompok berpisah di pertigaan, kak Mil memilih ikut bersama Pak RT karena ada beberapa yang ingin diurus sekalian di kantor desa. Entah apa dan bagaimana, Ina berakhir bersama Kak Kemal.
Mereka berjalan menyusuri jalan, Ina didepan dan kak Kemal mengikutinya di belakang. Selama beberapa menit berjalan, tidak ada yang memulai percakapan.
Ina tidak tahu apa yang bisa dijadikan topik untuk pembicaraan, di sisi lain ia terus menekan dirinya agar menghindari interaksi dengan lawan jenis. Apalagi disini Ina bermaksud menjaga diri.
Pelihara rasa malu, pelihara rasa malu, begitu pikiran Ina. Bukankah kak Kemal islam? Berarti paham ini kan ya? Begitu pula pikiran Ina mengulang dan memastikan sikap diam saat ini benar.
...
Dan benar saja, sampai di tanah tujuan. Sama sekali tidak ada perbincangan yang dimulai.
Ina berhenti didepan lahan kosong penuh rerumputan setinggi pundak itu. Ia sudah mengantar tamunya dan seharusnya pergi. Namun Ina tampak tidak segan untuk meninggalkannya sendiri.
Apa kata ayah dan pak RT jika tahu Ina meninggalkan tamu nya sendirian.
Pemuda yang Ina rasa mulai dikenal dengan baik itu sedang berjalan di sekitar tanah namun tidak sampai jauh dari posisi Ina berdiri.
Jika Ina boleh gosip dalam hati, Kak Kemal sebatas berjalan tidak lebih 5 langkah dari posisinya. Setelah itu ia berbalik dan berjalan kearah sebaliknya. Begitu terus, hingga titik dimana Ina merasa kak Kemal mondar-mandir didepan Ina.
"Ada apa dok?" Akhirnya Ina yang memulai perbincangan. Sebenarnya ingin menanyakan sedang apa, namun ia rasa itu kurang sopan. Apalagi yang punya urusan disini adalah pihak kak kemal dan pak RT, justru Ina pihak luar yang tidak tahu apa-apa.
"Oh," Kak Kemal kembali ke posisi dimana ia berdiri di depan Ina dengan kepalanya sedikit menunduk sehingga tatapannya ke bawah. Namun kak Kemal masih memasang senyum yang lembut. "Maaf, kamu engga kembali ke rumah?"
Oh itu, mau sekali. Tapi...
"Masa' iya saya ninggalin dokter sendiri disini," jawab Ina. "Nanti apa kata Pak RT kalau dokter saya tinggal." Sahutnya dengan cepat, agar tidak terjadi salah paham. "Oh iya, soal tadi. Maaf, pak RT memang suka bercanda seperti itu ke kaum muda kayak kita Dok,"
"Iya, saya paham. Beliau orang yang lucu, pantas sudah lima kali terpilih sebagai ketua RT disini."
Ina tertawa kecil, bahkan berapa kali Pak RT terpilih terus pun Kak Kemal tahu. Ngomong-ngomong siapa yang menceritakan? Pak RT tidak pernah sekalipun membanggakan kedudukan apalagi narsis, sedangkan ayahnya cenderung pasif untuk memulai perbincangan.
"Iya, begitulah. Sejak SMA lebih parah Dok, saya cuman diantar pulang sama Afif, Pak RT langsung buat bahan bercandaan soal kami, orangnya mah gitu, suka jodohin anak muda ala ala bercanda. Sampai sekarang pun, yang dibawa soal Afif ta--" Lanjut Ina karena merasa suasana canggung diantara mereka mulai meleleh.
...
Atau tidak?
Ina baru kali pertamanya melihat raut wajah itu. Selama ini ia mengenal kak Kemal sebagai seseorang yang murah senyum, bahkan ketika diskusi dengan ayah dan pak RT, kak Kemal terkesan sopan dan menyenangkan untuk diajak diskusi.
Kali ini ia merasa, seharusnya...
Pemuda yang memakai setelan serba gelap itu melangkah ke depan. Memperkecil jarak diantara mereka.
...Ina tidak melanjutkan cerita tadi...
Ketika jarak mereka hanya setengah lengan, Ina bisa merasakan hembusan nafas yang tenang dari atas. Kak Kemal memang tinggi. Jika dibandingkan mungkin tinggi Ina setara dengan pundak Kak Kemal.
"Uh.. dok?"
Belum selesai akan bertanya ada apa untuk kedua kalinya pada pemuda itu, tiba-tiba sebuah tangan menarik tubuh Ina. Genggamannya bertumpu pada pundak Ina.
Jika saja keseimbangan Ina tidak bagus, mungkin ia sudah mendekap ke pelukan-- oke intinya Ina selamat dari kenyataan potongan cuplikan drama, sinetron, film, animasi, dan semacamnya.
Kaki kanan Ina menjadi tumpuan agar tidak terlalu mendekat pada Kak Kemal. Sehingga bisa dibilang Ina menjadi pihak yang bertahan disini.
Mengetahui Ina dalam posisi Guard, Kak Kemal segera melepaskan tangannya dan berkata, "maaf, kamu berdiri dekat dengan selokan. Saya rasa berbahaya tadi,"
...
Yaampun, iyakah?
Ina menoleh ke belakang dengan cepat dan mendapati kaki satunya berada di ujung batas antara tanah dengan selokan di sebelah.
"Wah," Ina segera berpindah ke samping dan menjauhi selokan. "Maaf, saya tidak bermaksud buruk, tadi--"
Namun Kak Kemal memotongnya lagi, "kamu enggak salah. Seharusnya tadi aku bilang saja kalau kamu berdiri dekat dengan selokan."
Sejujurnya Ina kehabisan kata-kata, sehingga kali ini pun suasana canggung dan diam terjadi lagi karena tidak tahu harus berbincang apa.
Ngomong-ngomong kenapa lama sekali sih ayah dan Pak RT, batin Ina.
Kali ini Kak Kemal yang memecah rasa canggung yang entah sudah ke berapa kalinya itu.
"Maaf, aku berusaha untuk menjaga pandangan dan sebagainya. Justru sepertinya aku masih perlu belajar tentang Islam."
...
???
"Ee, gimana?" Sudah menjadi kebiasaan jika Ina tidak paham atau ingin menolak sesuatu ia memulai dengan kalimat itu.
Masih dengan pandangan yang tertunduk, "lain kali, kalau kamu rasa aku tidak bisa menjaga pandangan dan sikap. Pukul saja aku," tambahnya.
Oke, Ina siap melakukannya tapi ada bagian yang perlu diperjelas disini.
"...Dokter?"
"Ya?"
"Muallaf?"
"Mulai awal bulan Mei kemarin."
...
Siang itu Ina terpeleset ke selokan.
...