webnovel

Regret (Kriminal)

Setiap orang memiliki kisah yang belum terselesaikan. Tapi tidak semua dari kisah itu berujung penyesalan. -------------------------------- Seandainya aku tidak memilih dan menikah dengan pria lain apa tragedi ini akan terjadi? Seandainya aku tidak pindah ke kota ini, apa tragedi ini tepat akan terjadi?

NurNur · Horror
Sin suficientes valoraciones
36 Chs

• Tiga Puluh Tiga.

Setelah ditinggal dua pemiliknya, rumah yang sebelumnya berdiri angkuh kini terlihat kesepian.

Keduanya sampai ketika Bu Ruri sedang berkemas. Ia akan pindah dari rumah yang sudah ditempatinya bekerja selama lebih dari 4 tahun.

Sejak KDRT yang menimpa Balqis muncul ke permukaan, hubungan keluarga Balqis dan mertuanya memburuk. Orang tua Balqis tidak akan pernah mengizinkan anak mereka kembali. Di lain pihak, mertua Balqis merasa dikhianati.

Bu Ruri tengah menyiapkan teh ketika mereka mengobrol di ruang makan. Bu Ruri juga bilang setelah pindah, ia akan tinggal bersama anaknya.

"Sekali lagi tolong diingat-ingat, barangkali dari keterangan Ibu pada hari itu ada yang terlewat." Al menjadi yang berbicara. "Sebelum Pak Huda ditemukan tewas, apa ada yang aneh atau berbeda dari Ibu Balqis?"

"Ibu? Bukannya Nurul pelakunya?" Bu Ruri bertanya polos.

"Kami masih menyelidiki, jadi tolong diingat-ingat."

Bu Ruri menurut. Keningnya berkerut dalam. Ia berusaha keras mengingat semua yang terjadi hari itu. Ia membandingkannya dengan hari-hari sebelumnya.

Bu Ruri bergumam sendiri. Memulai ingatannya ketika ia bangun tidur. Ketika mandi. Ketika mengambil daftar belanja yang sudah ia siapkan sejak semalam. Ketika akhirnya keluar dari rumah untuk berbelanja. Bu Ruri melewatkan bagian berbelanja di pasar karena ia tahu bagian itu sama sekali tidak berkaitan.

Sejak bangun sampai pergi ke pasar, Bu Ruri sama sekali belum melihat nyonyanya. Karena biasanya pun seperti itu. Balqis mulai turun sekitar pukul 6 pagi.

Saat pulang dari pasar, Bu Ruri melihat Balqis dan Nurul sedang memotong-motong sayuran terakhir dari kulkas. Nurul dengan antusias bercerita mengenai pekerjaan membuat kue di tempatnya kursus.

Bu Ruri tiba-tiba berhenti.

"Aneh?" Bu Ruri mengingat-ingat lagi. "Ada! Hari itu Ibu turun masih memakai piama dengan rambut diurai. Biasanya kalau Ibu turun atau ke dapur pasti sudah mandi, sudah rapi." Bu Ruri berhasil mengingat sesuatu yang baru.

Al mengalihkan pandangnya pada Zeroun. Pria itu sedang melipat tangan di depan dada. Menatap ujung sepatunya. Kerutan muncul di antara alisnya yang nyaris menyatu.

"Kapan Balqis mulai menghentikan usaha-usahanya untuk lepas dari Huda?" Zeroun bertanya tapi tatapannya masih berakhir pada ujung sepatunya. Kerutan masih muncul di antara alisnya.

"Dua tahun lalu," kata Al mengingat keterangan yang pernah Adam sampaikan. "Setelah berhasil selamat dari usaha bunuh diri terakhirnya."

"Kapan Nurul mulai bekerja?" tanya Zeroun lagi.

Al butuh waktu lebih lama untuk mengingat pekerjaannya sendiri dibanding mengingat kata-kata Adam. "Dua tahun lalu. Kira-kira enam bulan setelah Balqis keluar dari rumah sakit..." Al terdiam. Ia mulai menyadari sesuatu.

"Kapan kita bisa bertemu teman-teman Balqis?" Zeroun mengangkat pandangnya.

"Saya akan menelepon lagi dan bertanya apa bisa bertemu sekarang," jawab Al seraya mengambil ponselnya.

Setelah berhasil membuat kesepakatan, Al kembali pada Zeroun.

"Sebelum kami pergi, apa ada yang mau Ibu sampaikan?" Zeroun bertanya langsung pada Bu Ruri.

Bu Ruri ragu-ragu, ia menatap Zeroun. Seperti akan berbicara tapi kalimatnya tertahan di ujung bibir. Meski keduanya menunggu, tetap tidak ada satu pun kalimat yang Bu Ruri ucapkan.

Zahra yang Al hubungi setuju mereka bertemu. Karena Nanda satu-satunya yang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya sebelum jam selesai, mereka sepakat bertemu di kantin sekolah tempat Nanda mengajar.

Nanda adalah pengajar di salah satu Sekolah Dasar Negeri.

Saat sampai, Zahra sudah terlihat di tempat pertemuan mereka. Bersama Nanda, keduanya menunggu dengan cemas. Penuh tanya.

Al menanyakan beberapa pertanyaan mengenai kekerasan rumah tangga yang menimpa Balqis. Apa mereka memerhatikan perbedaan pada sikap Balqis. Apa mereka melihat tanda-tanda itu. Apa mereka pernah curiga.

Jawaban yang Zahra dan Nanda berikan memiliki satu titik persamaan. Reuni. Semua terasa dan mulai terlihat saat acara reuni.

"Sikapnya memang kelihatan berbeda. Selama acara ekspresinya sering murung," jelas Zahra. "Aku dan Nanda sempat menginap di rumahnya semalam. Selama di dalam rumah, Balqis terus memakai pakaian tertutup. Baju lengan panjang, celana atau rok panjang. Selama bersih-bersih selesai reuni, Balqis juga enggak pernah menggulung lengan bajunya."

"Waktu kita gelitiki, sama waktu Aya tepuk bahunya, Balqis juga kelihatan kesakitan," Nanda menambahkan.

"Siapa yang mengusulkan acara reuni?" Kali ini Zeroun yang bertanya.

"Balqis," jawab Nanda.

"Dan kita baru tahu kalau Huda melarang Balqis datang ke reuni. Kegiatan Balqis dibatasi karena Huda takut luka-luka di badan Balqis diketahui orang lain. Jadi pulang dari acara, Balqis dihukum," tambah Zahra dengan nada bicara penuh rasa bersalah.

Seharusnya tanda-tanda yang hari itu Balqis perlihatkan cukup untuk membuat Zahra lebih peka. Untuk memaksa Balqis bicara. Untuk tidak mengukur-ulur waktu dan menunggu terlalu lama. Karena ketika akhirnya Balqis berbicara, segalanya telah berubah kacau.

"Suami melarang tapi bersikeras datang. Bahkan jadi pencetus acara?" Zeroun berbicara untuk dirinya sendiri.

"Memang apa yang salah?!" Zahra menyalak. Tidak suka mendengar nada bicara Zeroun.

"Naif." Zeroun berkata sembari membuang muka.

"Apa?!" Zahra menyalak semakin nyaring.

Zeroun menarik kursinya menjauh. Mengasihani telinganya yang terpapar polusi. Baru kali ini ia bertemu wanita yang berteriak sekeras dan secempreng Zahra meski tidak dalam kondisi bahaya.

Nanda memohon pada Zahra untuk tenang. Untuk tidak berteriak-teriak. Sementara Al melakukan hal yang sama pada Zeroun. Meminta Zeroun untuk tidak memulai ataupun memancing pertengkaran.

"Hubungi Balqis, bilang kita akan ke tempatnya." Zeroun membalas kata-kata Al dengan titah.

"Kalian mau apa?!" Zahra berubah defensif. Seperti ada pikiran temannya akan diam-diam diculik dan dihilangkan dari muka bumi. Atau... tiba-tiba ditangkap. Dua-duanya sama buruknya.

"Hanya menanyakan beberapa pertanyaan. Jangan khawatir!" Al menjawab dengan cepat. Tidak ingin pikiran-pikiran buruk Zahra mempengaruhi emosinya.

"Kalau begitu aku ikut!" Zahra memutuskan.

"Aku juga!" Nanda menimpali cepat.

"Bukannya kamu bilang enggak bisa pergi dari lingkungan sekolah sebelum jam belajar selesai?" Zahra memprotes Nanda yang plin-plan.

"Ini darurat, jadi beda. Aku mau negosiasi dulu sama Kepala Sekolah. Awas kalian pergi tanpa aku!" ancam Nanda sebelum berlari ke ruang kepala sekolah.

Zeroun menatap Al, memberi sinyal untuk tidak membawa dua orang yang merepotkan. Al hanya mengangkat kedua bahunya. Lagi pula siapa yang bisa melarang Zahra. Nanda pun sudah telanjur pergi meminta izin.

Zeroun kehilangan semangat. Ia masih harus bersabar mendengar suara bising Zahra.

"Kalau begitu saya telepon Balqis dulu."

Sebelum pergi ke tempat yang sedikit jauh untuk menelepon, Al memerhatikan Zeroun dan Zahra dengan hawatir. Al pernah melihat Zahra berkelahi dengan anak laki-laki sewaktu di sekolah dan itu pemandangan yang mengerikan. Walau Zeroun bukan tipe yang mudah ditindas, tetap saja Zahra bukan lawan yang bisa dianggap remeh.

Zeroun dan Zahra saling membuang muka, saling membelakangi. Bagus! Tidak akan terjadi apa-apa.

"Halo!"

Mendengar suara Balqis, perasaan Al kembali berantakan. Di telepon, ia tidak mengatakan dengan detail alasan ingin bertemu. Al yakin Balqis pasti bisa menebaknya. Al tidak banyak bicara. Terlalu sibuk menata perasaannya. Ia bahkan lupa mengatakan keikutsertaan Zahra dan Nanda.

Selama ini Adam yang bertugas untuk mengumpulkan informasi mengenai Balqis. Kini, ketika Al sendiri yang harus turun tangan, rasanya canggung. Benar-benar tidak profesional. Hatinya benar-benar berantakan. Perasaannya kacau. Al ingin segera mengakhiri ini. Mengakhiri keragu-raguannya.

Lalu, bagaimana dengan Balqis. Apa yang dirasakan wanita itu saat ini. Apa yang memenuhi pikiran-pikirannya. Apa yang menjadi bebannya. Apa ia masih bisa tenang. Masih berpura-pura. Seberapa banyak wanita itu berubah menjadi tidak sama lagi dengan apa yang selama ini Al pikirkan.

Al terus bertanya. Semakin bertanya-tanya.

=\%*[]{}<>&…§^~|¥€£$.,?!'"@:;_-#()/+'

Mereka bertemu di rumah orang tua Balqis. Seperti biasa, siang sampai sore kedua orang tuanya sibuk di kebun. Melihat Al datang, senyum Balqis masih tampak ramah. Masih manis. Hanya matanya yang berbeda. Masih digelayuti duka dan kesedihan.

Sebelumnya Al tidak pernah memerhatikan Balqis begitu detail. Kali ini, Al tidak ingin melewatkan apa pun. Bahkan seandainya bisa, ingin rasanya ia menembus hati wanita itu. Ingin ia tahu segalanya tanpa bertanya. Ingin mengerti pilihan yang diambilnya.

Balqis tidak terkejut melihat Al datang bersama Zeroun. Ia tahu pasti untuk apa pertemuan mereka. Setelah Nurul mengaku sebagai pelaku, polisi melakukan penyelidikan lebih agresif dari sebelumnya. Yang mengejutkan adalah Zahra dan Nanda juga datang bersama Al dan Zeroun.

"Kalian datang juga?" tanya Balqis pada Zahra dan Nanda.

"Al, kamu sengaja enggak bilang kalau kita juga ikut?" tanya Zahra. Nadanya lebih terdengar seperti Al melakukan sesuatu yang curang.

Al mengangguk malu-malu, tidak mungkin ia bilang kalau lupa. Benar-benar tidak profesional.

"Kita datang untuk mendukungmu. Jangan takut sama mereka!" Zahra berbicara pada Balqis. Ia mengambil tempat di sisi kanan, sementara Nanda di sisi lainnya.

"Kalian masuk dulu, biar saya buatkan minum." Balqis mempersilakan semua orang yang datang untuk masuk dan duduk di ruang tamu.

"Tidak perlu repot-repot," Zeroun menyahut. "Kami ingin bisa secepatnya mengkonfirmasi beberapa hal dengan Anda."

"Kenapa? Takut diracun?" sengit Zahra.

"Kalau Anda haus, silakan buat minum sendiri. Jangan mengganggu!" balas Zeroun.

Tahu Zahra akan menyalak, Nanda buru-buru membungkam mulut Zahra. Juga memaksanya duduk dengan tenang.

Zahra mendelik tajam pada Zeroun. Siap menggigitnya saat itu juga.

Zeroun maju selangkah, mendekat ke arah Balqis. Dengan refleks secepat kilat, Zahra kembali berdiri. Ia berada di antara Balqis dan Zeroun. Sebelah tangannya direntangkan untuk melindungi. Defensif.

"Mau apa?!" kata Zahra dengan nada menantang. Zeroun tidak menjawab. Hanya menatap tajam ke arah Zahra, yang sama-sama saling melotot.

"Enggak apa-apa." Balqis berbicara pada Zahra. Ia menurunkan tangan Zahra yang masih direntangkan untuk mengamankannya.

"Kata-katanya memang menyebalkan. Tapi sebenarnya Zeroun bukan orang jahat, jadi jangan khawatir," Al menambahkan.

"Siapa yang tahu isi hati orang!" sengit Zahra. Sifat defensifnya sudah berkurang, tapi tetap tidak rela harus berada jauh dari Balqis.

"Karena kalian buru-buru, kita mulai saja." Balqis masih bersikap ramah. Masih sama menyenangkannya mendengar suara lembut wanita itu. "Silakan duduk!"

"Tentu." Zeroun duduk di sofa panjang. "Karena seseorang yang bukan pelakunya sudah mendekam sepanjang malam di kantor polisi."

"Nurul bukan pelakunya?!" Zahra menimpali terkejut.

Nanda juga terkejut. Tapi Nanda lebih terkejut lagi mendengar suara Zahra yang tiba-tiba histeris.

Zeroun melirik dingin ke arah Zahra. Merasa tidak suka. Terganggu. Kehadiran Zahra selalu membuat fokusnya pecah. Suaranya berisik. Selalu ikut berbicara dan menanggapi meski tidak diminta. Zeroun benar-benar tidak tahan. Jika di kantor, Zeroun pasti sudah mengusir Zahra ribuan kali. Atau mengurungnya dalam sebuah ruangan kedap suara.

Nanda, meski bukan orang yang dilihat Zeroun tetap merasa ngeri. Sekelilingnya seperti menjelma menjadi gurun es yang teramat dingin. Ia berbisik pada Zahra untuk mengingatkannya. Untuk tidak banyak bicara. Untuk tidak ikut campur. Untuk menjaga sikapnya agar tidak kurang ajar dan lebih tenang.

"Begini," Al mengambil alih sebagai pembicara "Meskipun Nurul sudah membuat pengakuan, kami masih melakukan penyelidikan. Selama kami dari pihak kepolisian belum mengumumkan apa pun kepada media, artinya apa pun yang telah beredar dan yang Nurul katakan adalah sepihak dari Nurul dan bukan dari hasil penyelidikan."

Terdengar sangat berbeda ketika Al yang berbicara. Begitu tenang, dengan kata-kata yang tertata dengan baik. Sama sekali tidak membuat Zahra terprovokasi. Informasi yang disampaikan pun bisa ditangkap dengan baik.

Sangat bertolak belakang ketika Zeroun yang berbicara. Bahkan jika itu dengan kalimat yang sama, tanda titik, dan koma yang juga sama. Satu kata saja yang keluar, Zahra pasti akan langsung bereaksi dan membalas.

Alasan itulah yang membuat Al selalu menjadi orang yang berbicara jika ia dan Zeroun bertugas mengumpulkan informasi. Al hafal watak Zeroun dan bagaimana cara pria itu berbicara. Rekan yang sudah sering bekerja sama saja masih belum terbiasa, bagaimana dengan orang lain.

"Kali ini biarkan saya yang berbicara." Zeroun berbicara pada Al, tapi tatapannya tertuju pada Balqis.

Al merasa khawatir tapi tidak mengatakan apa pun. Ia hanya bisa mengandalkan Zeroun saat ini. Karena hatinya sendiri masih tidak menentu.

"Bisa kita mulai?" Zeroun bertanya pada Balqis.

Balqis mengangguk. Melebarkan senyumnya. Masih terlihat ramah