webnovel

Macet Pembawa Petaka

Nina sudah merasa gelisah, akibat kemacetan kota belum juga teratasi. Ia berkali-kali melihat jam tangannya. Sudah terlambat setengah jam, pasti andre marah lagi padanya. Tapi dia tak bisa bergerak, membunyikan Klakson meminta jalan pun bukan ide yang bagus. Dalam bulan ini saja, latihan empat kali, Nina tiga kali kena damprat. Alasannya sama karena macet! Pernah sesekali ia coba untuk berangkat satu jam lebih awal. Tapi, tetap saja ia datang terlambat dan Andre marah.

Sangat menjengkelkan dan tidak punya perasaan. Padahal jauh-jauh ia datang hanya ingin bertemu pria keren itu. Latihan band hanyalah satu cara agar ia punya waktu untuk menemuinya. Kencan? Andre sibuk. Pria berwajah tampan tersebut memiliki segudang kegiatan di sekolah. Ketua OSIS, anak band, dan masih banyak lagi. Tahun ini saja dia mendapat juara yang mewakili sekolah. Pokoknya banyak kelebihan yang membuat banyak siswi tertarik dan jatuh hati padanya. Ada kebanggaan lain kalau kebetulan jalan bareng Andre. Banyak wanita yang menegurnya. Banyak guru yang senang kepadanya. Bahkan, kadang Nina melihat Andre berdiskusi membahas sebuah buku di perpustakaan.

Persis seperti yang diduga, Andre sudah melotot di depan tempat latihan band tersebut. Sambil bertolak pinggang siap untuk memarahi Nina. Lokasi tempat latihan band mereka berada di salah satu studio dekat sekolah. Karena sekolah tidak mengizinkan untuk latihan sampai terlalu larut. Sehingga membuat Andre dan rekan-rekannya menyewa sebuah studio untuk dijadikan tempat latihan.

"Lu selalu bikin kacau Nina!"

"Maaf," kata Nina sembari menyembunyikan wajahnya.

"Itu melulu yang bisa Lu ucapin. Bosan juga gua dengernya," kata Andre kesal.

Matanya melotot. Nina hanya bisa menunduk menyembunyikan wajahnya. Ia sudah berusaha datang lebih awal, tapi keadaan seolah tak berpihak padanya. Dia selalu terjebak dalam kemacetan kota.

"Aku kejebak macet. Aku sudah berusaha datang lebih awal," ujar Nina mencoba menjelaskan kepada Andre.

"Ah! Klasik! Namanya kota pasti macet! Kalau lu niat lu seharusnya bisa atasi itu. Ini bukan sekali dua kalinya macet lu jadiin alasan! Sejak Lu dilahirkan dulu, namanya kota besar pasti identik dengan macet. Udah tau rumah jauh, bukannya belajar dari pengalaman. Malah nyalahin macet terus!"

Ocehan Andre membuat telinga Nina panas. Meski yang dia ocehkan adalah hal yang benar. Rumahnya memang jauh, tapi dia tidak pernah belajar mencari cara agar tidak terjebak kemacetan. Dia akan selalu terlambat datang ke kampus atau ke lokasi latihan jika tak segera berbenah.

"Aku sudah mencoba beberapa kali untuk berangkat lebih awal. Namun, tetap saja aku terjebak macet hingga tak bergerak. Lantas aku harus bagaimana?"

"Berusaha, dong! Lu kan punya otak."

"Aku sudah berusaha datang lebih awal."

Nina sudah tidak tahan terus mendengar ocehan kekesalan Andre. Berulang-kali ia jelaskan situasinya tapi Andre tetap tidak mau tahu.

"Orang yang selalu mengulang kesalahan adalah orang yang bodoh dan tidak mau berusaha. Sekali-kali jadi orang mikir dong, biar lebih menghargai yang lain."

Suara Andre meninggi. Membuat wajah Nina merah. Ada beberapa orang yang melihat Nina dimarahi Andre. Memang ia salah, tetapi apa yang dilakukan Andre membuat Nina merasa malu. Tidak seharusnya dia memperlakukan Nina seperti itu.

"Sudah kubilang, Aku sudah berusaha keras untuk tidak terlambat, tetapi setiap ada jadwal latihan selalu saja ada kemacetan, dan kadang lebih parah."

"Naik ojek dong, kan tidak setiap hari!"

"Ndre, maafkan aku."

"Alah! Selalu begitu. Aku bosan mendengar kata maaf darimu. Selalu itu yang keluar dari mulutmu. Tidak kah kau mau berusaha untuk tidak datang terlambat? Sekali saja dicoba. Kalau terlambat lagi dan terus terlambat itu namanya dungu, tidak mencari akal. Nginep di rumah teman kek, atau apa kek, sehingga bisa ikut latihan tanpa harus terlambat lagi."

"Iya."

"Jangan kayak kerbau dungu, dong!"

"Kamu keterlaluan, Ndre!"

"Kamu dungu!"

"Cukup!" Nina sakit hati dan menangis.

"Kenapa? Memang benar. Kamu selalu mengulang kesalahan seperti kerbau, datang dan pergi tanpa ada inisiatif, sekedar ikut latihan saja."

"Jaga ucapan kamu Andre!" Nina terisak, berontak tak terima.

"Aku selalu menghargai waktu. Kalau kamu sok aktif, sok pintar, sok rajin, padahal kamu ini tidak lebih hanya seorang gadis pemalas yang selalu mengulang kesalahan."

"Apa hak kamu mencaci maki Aku seperti ini Ndre!"

"Aku yang memimpin kegiatan ini. Kalo kamu sudah memutuskan untuk bergabung maka hargaila waktuku dan anak-anak lain yang sudah menunggu!"

"Aku datang bahkan untuk bertemu denganmu Ndre."

"Jadi tidak untuk latihan?"

Nina benar-benar sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Telinganya sudah panas. Ia sudah tak tahan lantas meninggalkan tempat itu. Nina setengah berlari melewati anak tangga. Tidak ada yang melewati tangga pada saat itu. Membuatnya bisa menumpahkan segala kesedihannya. Terduduk pada anak tangga sambil menangis sesenggukan.

Hati Nina kesal. Sesungguhnya Andre benar, tapi kenapa ia begitu kasar. Dia tidak terima dengan cara Andre menegurnya. Semua orang berbuat kesalahan dalam hidup mereka. Tapi Andre seolah tidak punya cara lain untuk memberikan teguran kepada Nina selain dengan cara yang kasar. Padahal, Nina sudah berjuang sebisa mungkin tepat waktu. Meski selalu gagal.

Dalam kesunyian Nina terisak. Tak mengeluarkan suara tapi cukup menggambarkan kesedihannya yang terduduk di tangga. Mengingat tujuan awal dia masuk ke dalam band tersebut karena sebab Andre yang mengajaknya. Tapi bukannya mendapat perlakuan yang menyenangkan sebagai undangan yang diinginkan bergabung, dia justru diperlakukan layaknya sampah.

Nina sebenarnya ingin keluar dari Band karena berbagai alasan. Salah satunya faktor dirinya yang kerap dimarahi oleh kedua orang tuanya akibat berlatih band yang bisa berlangsung sampai malam. Padahal di sisi lain, Nina juga takut untuk pulang sendiri jika hari sudah malam. Semuanya rela ia tanggung demi bisa tetap hadir latihan bersama band nya. Sesuatu yang tak pernah dilihat oleh Andre sebagai sebuah perjuangan.

Jika saja orang yang mengatakan hal kasar padanya orang lain mungkin Nina tidak terlalu memikirkannya sampai mengenai perasaannya. Tapi Andre berbeda, dia istimewa baginya. Sehingga ketika dirinya diperlakukan secara tidak baik oleh Andre seolah-olah dirinya merasakan sakit yang teramat sangat. Membuat dirinya tersakiti setiap mengingat ucapan Andre padanya. Ketika dalam kesedihannya, tiba-tiba ada yang memanggil namanya.

"Nina?" Sebuah suara memanggilnya.

Seperti ragu-ragu. Nina tersentak. Mengira yang datang menghampiri adalah Andre. Namun ketika ia menoleh, ternyata lelaki lain. Lelaki satu angkatan tapi beda jurusan dengannya. Lelaki yang ketika MOS dulu menjadi yang terbaik di waktu itu, mendekat sembari tersenyum.

"Randi?"

"Ya, aku. Kenapa kamu menangis di sini?"

"Aku sedang sedih aja Randi."

"Iya, kenapa sedih? Kenapa di sini?:

"Huhft." Nina menghela nafas.

"Nina, ini kampus yang besar di sini sepi. Kita ke warung di depan saja, yuk, ngobrol di sana."

Ajak Randi dengan halus. Nina menghapus air matanya.

Benar juga yang dikatakan Randi. Lagian ini juga malam hari. Tentu saja akan sangat riskan bagi dirinya berada di sini sendirian. Nina kemudian menceritakan masalah tentang Andre kepada Randi. Karena, bagi Nina, Randi sudah seperti sahabat dekatnya. Meski Randi jelas-jelas menyukainya tapi bagi Nina mereka hanya sebatas sahabat.

Dibandingkan Andre, Randi jauh lebih sopan dan halus. Namun, Nina tidak pernah memiliki perasaan lebih jauh dari sahabat.

"Andre orang yang keras, tegas dan memiliki kedisiplinan kuat seperti baja. Sebab, ia ingin menjadi tentara. Ia seniman yang memadukan pengetahuan dan disiplin. Ia juga merupakan wakil ketua OSIS, kayaknya kelak ia bakal jadi orang besar. Kekasarannya mungkin cerminan rasa letih saja. Aku tau benar dia, jarang mau diam, ada saja kegiatan yang dilakukannya. Ia mungkin berharap lebih padamu, tetapi mungkin kamu tidak bisa memberikan yang terbaik sesuai harapannya."

"Aku sudah berusaha Ran."

"Ya, sudahlah, tak ikut kegiatan band juga tidak masalah. Sebaiknya cari kegiatan yang diselenggarakan pagi hari, misalnya olah raga, atau yang lain, tidak harus band."

"Tapi aku suka musik."

"Aku tau, tapi seperti yang aku bilang, suka musik tapi tidak harus ikut band. Banyak penyanyi sukses yang dulu nya tidak ikut kegiatan band. Kamu bisa mencintai musik dengan cara lain seperti halnya bermain biola, piano bahkan gitar.

"Ahh, itu butuh pelatih khusus."

"Aku bisa melatihmu, tanpa harus ke kampus."

"Yang benar?"

"Tentu saja. Kamu bisa datang ke rumah ku atau aku yang datang menemuimu. Rumah kita juga dekat, kita bisa mengatur jadwal latihan kita."

"Kamu serius Rand?" Nina begitu bersemangat.

"Iya, tentu saja. Lagi pula, jarak dari rumahmu dan kampus sangat jauh dan itu sangat beresiko untukmu. Jadi, untuk apa kamu terus mengikuti latihan band yang memang tingkat disiplin pelatihnya saja keras sedangkan kamu butuh pelatih yang halus dan sabar." Randi menjelaskan.

"Iya, aku tidak bisa tepat waktu dan Andre sangat membenci orang yang membuang-buang waktu." Nina terdiam. Ia tertegun. Mendengar ucapan Randi yang halus tulus membantu ia untuk belajar musik tanpa harus pulang tengah malam.

Karena banyak resikonya. Bagaimana jika ia dijambret bahkan diperkosa. Sungguh mengerikan jika dibayangkan. Kini Nina mengikuti langkah Randi menuju kantin dan meninggalkan anak tangga yang sepi itu. Yang terpenting sekarang yang akan menjadi pelatihnya ialah Randi bukan Andre. Walau hatinya sudah naksir berat pada pria keren itu.

Sebetulnya Randi juga termasuk pria yang menarik. Sikapnya lemah lembut. Tutur katanya halus, ia juga bukan termasuk Siswa bodoh. Randi sendiri cukup berprestasi. Dirinya kerap mewakili sekolah untuk ikut perlombaan dan olimpiade. Dia juga pandai bermain gitar. Nina bisa belajar apa saja dengannya. Apa lagi rumah Nina dan Randi satu komplek. Lagipula Randi sendiri bersedia untuk datang ke rumah Nina. Hanya saja yang menjadi pelatihnya sekarang bukan pagi Andre, lelaki yang ia taksir itu.

Kini mereka sampai di kantin. Jam menunjukan pukul delapan malam, biasanya Nina pulang larut malam, jam sepuluh malam hingga sebelas malam. Karena waktunya masih sore mereka memiliki cukup waktu untuk berbincang.

"Kamu mau minum apa, Nin?" Randi mencoba memesankan minuman untuk Nina.

"Air putih saja."

Sambil menunggu minuman datang mereka terus berbincang hangat. Terlebih Nina yang habis menangis sedih. Dirinya mencoba melupakan hal tersebut dengan berbincang bersama Randi. Sekaligus mengatur jadwal untuk mereka mulai latihan bersama. Sampai tiba pesanan yang mereka pesan.