"Hendra?" terdengar suara Shendy. "Ndra, cepetan lo ke rumah sakit sekarang juga. Liliyana, Ndra, dia…."
"Liliyana kenapa, Shen?!" Hendra langsung waspada begitu mendengar nama Liliyana.
"Liliyana kritis, Ndra. Sekarang dia di ICU. Cepetan lo kesini sekarang!"
Hendra mencelos, ponsel di tangannya meluncur bebas ke lantai.
*****
AT LEAST YOU STILL HAVE ME
CHAPTER II
Bagaikan kesetanan, Hendra mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Perasaannya kacau balau. Bagaimana bisa Yana mendadak kritis? Sore tadi gadis itu tampak baik-baik saja. Meski kondisinya melemah, setidaknya masih terbilang stabil. Hendra benar-benar tidak menyangka kondisi Yana akan langsung turun drastis seperti itu.
"Gue nggak bakalan bisa maafin diri gue sendiri kalo sampe Yana kenapa-kenapa," gumam Hendra kalut.
Pajero Sport Hendra akhirnya berhenti di rumah sakit tempatnya bekerja. Secepat kilat Hendra berlari menuju ICU.
"Dok!" Shendy menyongsong Hendra.
"Shen, Yana kenapa? Kenapa mendadak jadi begini?" tanya Hendra panik. Napasnya memburu.
"Saya juga kurang tahu Dok. Satu jam yang lalu Liliyana mimisan cukup hebat. Mendadak dia panas tinggi dan pingsan. Kondisinya langsung drop. Dokter Yonathan segera mengambil tindakan dan memindahkan pasien ke ruang ICU," lapor Shendy.
Hendra terhenyak. Dipandanginya sosok Yana yang terbaring lemah di ruang ICU. Beberapa peralatan medis terpasang di tubuhnya. Melihat Yana yang demikian, Hendra benar-benar kacau.
"Dokter Yonathan masih memantau pasien. Sebaiknya Anda segera temui Dokter Yonathan," kata Shendy. Ditepuknya bahu Hendra. "Calm down, Ndra. Tenangin diri lo. Liliyana, dia kuat. Dia pasti bisa survive," bisik Shendy.
Kata-kata Shendy bagaikan percikan embun pagi yang sedikit banyak menyejukkan hati Hendra. Mendengar kata-kata sahabatnya, Hendra merasa memiliki sedikit kekuatan.
"Ya, Shen," Hendra balas berbisik. "Dia pasti bisa survive." Hendra meyakinkan diri. "Oh, ya, Bu Surti mana? Beliau udah tau soal Yana, kan?"
"Udah, kok. Bu Surti sekarang lagi salat Isya, sekalian mau berdoa buat Liliyana katanya," jawab Shendy.
Hendra hanya mengangguk singkat. Dengan langkah gontai ia menemui Yonathan di ruang kerjanya.
****
Hendra melangkah dengan gontai. Hasil diskusinya dengan Yonathan membuat Hendra semakin waswas. Di tengah kegalauan hatinya, mendadak sudut matanya menangkap sosok yang tidak asing.
"Bu Surti."
Wanita paruh baya yang tengah duduk di bangku tak jauh dari ruang ICU itu mendongak begitu mendengar Hendra memanggilnya.
"Dokter Hendra."
Hendra duduk di sebelah Surti. Hendra bisa melihat dengan jelas sisa-sisa air mata di wajah Surti.
"Non Yana, Dok," Surti terisak. Diusapnya air mata dengan lengan baju.
Hendra menyodorkan selembar tisu. "Pake tisu ini aja, Bu," kata Hendra.
"Makasih, Dokter," sahut Surti seraya mengambil tisu tersebut. Surti mengusap air matanya perlahan, tapi air matanya justru semakin deras berjatuhan. "Non Yana, Dokter. Kenapa Non Yana jadi begini?" isak Surti. "Tadi sore Non Yana baik-baik aja, Dok. Kenapa sekarang dia jadi begini?"
"Kondisi Yana memburuk, Bu," kata Hendra dengan berat hati. "Kondisinya yang tiba-tiba menurun seperti ini memang cukup mengagetkan."
Surti kembali mengusap air matanya. "Dokter, sekarang saya nggak bisa nunda-nunda lagi. Tuan Beno harus segera tau kondisi Non Yana. Kondisi Non Yana mulai gawat. Besok Tuan pulang dari London. Dokter bisa ketemu sama Tuan Beno besok sore."
Hendra mengangguk. "Kita memang harus bergerak cepat. Jangan menunda-nunda lagi."
"Maaf Dok, soal operasi cangkok sumsum tulang, Non Yana pasti sembuh lewat operasi itu, kan?"
Hendra menghela napas yang terasa berat. Berat rasanya memberitahu Surti tentang segala kemungkinan yang akan timbul akibat operasi cangkok sumsum tulang belakang itu.
"Saya…, tidak bisa menjamin itu, Bu." Suara Hendra tercekat. "Operasi itu beresiko besar."
Surti terbelalak. "Maksud Dokter?"
Hendra menelan ludah. "Maksud saya, meskipun operasi berjalan lancar, bisa terjadi hal-hal yang tak diinginkan pasca operasi. Misalnya saja timbul graft versus host disease (GVHD), di mana sumsum tulang yang baru menghasilkan sel-sel aktif yang secara imunologi menyerang sel-sel pasien. Penyakit itu timbul akibat reaksi penolakan tubuh terhadap cangkok sumsum baru yang berasal dari donor. Selain itu, bisa juga terjadi infeksi, perdarahan dan kontaminasi virus."
Surti ternganga, tidak menyangka kalau operasi cangkok sumsum tulang belakang belum tentu bisa menjamin kesembuhan Yana.
Hendra memperhatikan Surti yang nampak syok berat. "Bu, kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Tuhan-lah yang menentukan. Saya yakin, selama kita mau berusaha dan berdoa, masih ada harapan," Hendra mencoba menghibur Surti. "Saya akan berusaha membantu Liliyana sekuat tenaga saya."
Surti hanya termangu-mangu mendengarkan kata-kata Hendra. Perlahan-lahan, ditatapnya dokter muda itu. "Dokter," panggil Surti.
"Ya?"
"Saya inget apa yang Dokter bilang minggu lalu, kalo Dokter ingin sekali bantú Non Yana. Saya bisa ngerasain kalo Dokter bener-bener perhatian sama Non Yana. Dokter peduli sama Non Yana. Non Yana beruntung punya dokter seperti Dokter Hendra ini," kata Surti dengan tulus.
Hendra mau tak mau terharu juga mendengar kata-kata Surti. Ia tersenyum tipis. "Saya hanya menjalankan kewajiban saya sebagai dokter, Bu," Hendra merendah. "Buat saya, kebahagiaan terbesar itu adalah melihat pasien saya sembuh dari penyakitnya. Untuk itu, saya berharap bisa terus membantu pasien saya untuk sembuh, selama saya masih mampu."
'Dan selama Tuhan masih memberikan waktu buat gue', Hendra menambahkan dalam hati.
Surti tersenyum. "Mudah-mudahan, mudah-mudahan Allah berkenan menyembuhkan Non Yana melalui Dokter Hendra," kata Surti sungguh-sungguh. "Mudah-mudahan."
Hendra tersenyum. Ia baru akan mengamini kata-kata Surti ketika mendadak kepalanya terasa berdenyut-denyut. Keringat dinginnya mulai keluar. Radar tubuh Hendra segera menangkap sinyal berbahaya.
"B-Bu Surti, s-saya permisi dulu….," kata Hendra sedikit gemetar. Susah payah ia berdiri dan melangkahkan kaki menjauhi Surti yang agaknya tidak mencium gelagat aneh dari Hendra.
Hendra bersusah payah menahan rasa sakit di kepalanya yang semakin menghebat.
'Tuhan, tolong berikan hamba-Mu ini kekuatan dan tambahan waktu!'
****
Beno Natsir, diluar dugaan ternyata terlihat jauh lebih muda dari usianya yang menginjak 50 tahun. Tubuhnya tinggi tegap, pembawaannya tenang dan kharismatik. Setelannya yang necis menambah nilai plus. Namun sosok gagah yang membuat orang segan itu seakan kehilangan kekuatannya begitu membaca isi amplop yang dibawa Hendra.
Wajah Beno yang semula terlihat tenang mendadak berubah pias. Matanya terbelalak menatap Hendra yang tetap tenang. Hendra bisa melihat ketakutan di sorot mata Beno. Pengusaha gagah dan kharismatik itu kini tidak terlihat seperti pria paruh baya yang tangguh dan disegani. Beno Natsir saat ini tidak lebih dari sosok ayah yang syok atas nasib putrinya.
Atmosfer coffee shop tempat mereka bertemu mendadak berubah tegang bagi keduanya.
"I-ini…..," Beno tercekat, tangannya gemetaran memegang sejumlah berkas yang menjadi isi dari amplop besar pemberian Hendra.
Hendra menatap Beno dengan penuh pengertian. "Ya. Putri Anda, Liliyana Natsir, mengidap leukemia jenis limfosistik kronis . Sekarang masuk stadium IV," kata Hendra hati-hati.
Amplop dan kertas di tangan Beno meluncur bebas ke meja. Jelas sekali kalau ia syok berat. "L-leukemia? S-stadium IV?" Beno seakan tak percaya. Mendengar kata 'leukemia' dan 'stadium IV', di benaknya langsung muncul satu kata: kematian.
"Mana…., mana mungkin?" Beno meneguk ludah, tampak gugup. "Putri saya, dia… Dia sangat sehat. Dia jago olahraga. Pintar berenang, basket, bulutangkis. Dia sangat sehat. Mana mungkin dia…."
"Dia divonis mengidap leukemia sejak setengah tahun yang lalu, tapi baru dua bulan ini menjadi pasien saya," Hendra menjelaskan. "Sudah hampir tiga minggu dia dirawat di rumah sakit tempat saya bekerja, setelah berkali-kali kambuh selama di rumah."
"S-setengah tahun yang lalu?" Lagi-lagi Beno terbelalak. "Yana, dia…."
"Saya bisa memahami perasaan Anda," Hendra memotong. "Saya harap Anda bisa tegar. Waktu kita tidak banyak. Sel-sel kanker putri Anda semakin menyebar. Selama ini putri Anda menolak minum obat antikanker dan menolak kemoterapi, sehingga kondisinya terus menurun."
Beno tercekat. Rasanya sulit untuk menerima kenyataan kalau ternyata Liliyana mengidap leukemia. Pria itu meremas-remas tangannya, tampak sangat terpukul. "Putri saya, dimana dia sekarang? Yana, Yana ada dimana?"
"Mohon tenangkan diri Anda, Pak. Putri Anda…., sedang koma sejak kemarin malam. Sekarang dia ada di ICU," jawab Hendra pelan.
Dunia Beno bak runtuh mendengar putrinya koma. Hatinya langsung mencelos. "Koma?" Beno menatap Hendra dengan masygul. "Koma?"
Hendra mengangguk. "Ya."
Beno berdiri. "Sekarang juga saya harus melihat putri saya!"
Hendra ikut berdiri. "Pak, mohon tenang dulu. Saya tahu Bapak sangat terpukul dan cemas, tapi mohon tenangkan diri Anda. Masih ada satu hal penting yang harus saya sampaikan."
"Putri saya koma! Saya harus melihat keadaan dia sekarang!" pekik Beno. Pengunjung coffee shop yang lain spontan menoleh ke arah mereka, tapi Beno dan Hendra tak peduli. "Dia satu-satunya anak saya yang masih hidup! Saya tidak bisa kehilangan dia!"
"Saya mengerti, Pak. Saya mengerti sekali. Tapi tolong beri saya waktu untuk bicara. Ini mengenai pengobatan untuk Liliyana," bujuk Hendra dengan sabar.
"Pengobatan?"
"Ya," Hendra menganggukkan kepalanya. "Mohon Anda tenang dan dengarkan penjelasan saya sebentar."
Beno kembali duduk, diikuti Hendra. "Tolong beritahu saya," kata Beno tajam. "Pengobatan apa yang bisa diberikan pada anak saya supaya dia bisa sembuh?"
"Selama ini, sebagian besar pasien leukemia mengikuti kemoterapi untuk menyembuhkan kanker, tapi kemoterapi ini belum tentu efektif. Setiap pasien menunjukkan reaksi berbeda-beda terhadap kemoterapi, tergantung kondisi kanker yang mereka derita," jawab Hendra. "Dan putri Anda, kecil kemungkinan untuk sembuh dengan kemoterapi."
"Bagaimana dengan cangkok sumsum tulang?" tanya Beno. "Saya pernah dengar kalau operasi itu bisa digunakan untuk mengobati kanker."
"Itulah yang ingin saya diskusikan dengan Anda, Pak Beno," kata Hendra. "Operasi cangkok atau transplantasi sumsum tulang belakang mungkin bisa menjadi alternatif untuk menyembuhkan Liliyana."
Beno seakan melihat secercah harapan. "Kalau begitu tunggu apa lagi, Dokter? Kalau memang itu yang terbaik, tolong segera lakukan!"
"Tidak semudah itu, Pak," kata Hendra. "Yana butuh sumsum tulang yang cocok dengan sumsum tulangnya. Sumsum bisa diambil dari sumsum tulang Yana sendiri, juga bisa dari donor yang cocok."
"Kalau begitu tunggu apa lagi? Segera lakukan operasi itu!" Beno mulai tak sabar.
"Masalahnya adalah, hasil pemeriksaan menunjukkan sel induk Yana tidak cukup sehat, sehingga tidak memungkinkan untuk menggunakan sumsum Yana sendiri. Kita harus mencari donor sumsum yang cocok. Mungkin salah satu anggota keluarga Yana memiliki sumsum yang cocok dengan Yana," jelas Hendra.
"Saya siap menjadi donor," kata Beno cepat. "Saya ayah kandungnya, sudah pasti sumsum saya cocok dengan sumsum anak saya!"
"Mungkin ya, mungkin juga tidak," kata Hendra, membuat Beno mendelik. "Tidak semua ayah memiliki kecocokan sumsum dengan anaknya. Bisa jadi, sumsum ibu atau saudara kandungnya-lah yang cocok untuk si anak," Hendra menambahkan dengan penuh arti.
"Sumsum ibunya?" Beno tercekat. Wajahnya semakin pucat pasi.
****
Hendra tergopoh-gopoh memasuki ruang ICU. Baru saja ia mendapatkan laporan kalau Yana mulai sadar. Hendra sangat gembira bercampur lega begitu melihat Yana sadar dan berhasil melewati masa kritisnya setelah koma selama tiga hari tiga malam. Tiga hari yang terasa seperti tiga abad bagi Hendra.
Yana terlihat sangat pucat dan lemah, tapi masih bisa tersenyum melihat Hendra. Hendra balas tersenyum. Meski wajah Hendra tertutup masker, Yana bisa melihat senyum di mata dokternya itu, dan entah kenapa itu membuatnya merasa lebih baik.
"Kamu hebat." Hendra mengacungkan kedua ibu jarinya. "Sekarang kamu percaya kalo kamu kuat, 'kan? Kamu udah berhasil melewati masa kritis kamu."
Raut wajah Yana sedikit berubah. Ia menggelengkan kepala. Melihat itu, Hendra menghela napas. Ditepuknya bahu Yana. "Galadriel sedih gara-gara kamu koma, tiga hari ini dia jadi nggak ada temennya. Setiap hari dia berdoa supaya kamu sembuh. Untung kamu masih bisa bangun lagi. Kalo nggak, entah gimana nasib Riel. Dia pasti sedih banget."
Ekspresi Yana berubah mendengar nama Galadriel disebut. Sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu, tapi ditahan Hendra.
"Riel pasti bakal seneng banget ngeliat kamu udah sadar. Kamu harus cepet pulih, biar bisa secepatnya balik ke kamar kamu dan main-main lagi sama Riel. Kamu mau, 'kan?"
Yana tidak menggeleng, tapi juga tidak mengangguk. Dia hanya diam, tatapan matanya menerawang ke langit-langit ruang ICU.
"Kalo sampai sore ini kondisi kamu stabil, sore ini juga kamu bisa dipindahkan ke kamar kamu," kata Hendra. "Pastinya kamu nggak mau lama-lama di ICU, 'kan?"
Yana menatap Hendra sekilas, lalu kembali menerawang. Hendra membiarkan Yana bermain-main dengan pikirannya sendiri. Diperiksanya kondisi Yana dengan saksama, lalu Hendra pamit keluar.
Di luar ICU, tampak Bi Surti sudah menunggu Hendra. Buru-buru ia menghampiri Hendra. "Gimana kondisi Non Yana, Dok?"
Hendra melepas maskernya. Ia tersenyum tipis. "Yana udah nggak apa-apa, Bu. Masa kritisnya sudah lewat. Untuk sementara, kita bisa bernapas lega," jawab Hendra.
"Alhamdulillah ya Allah," Surti mengucap syukur. "Boleh saya jenguk Non Yana, Dok?"
"Boleh," kata Hendra. "Silakan, pasti Liliyana seneng liat Bu Surti."
Surti tersenyum, namun tiba-tiba ia seperti teringat sesuatu. Raut wajahnya berubah serius. "Anu, Dok. Tuan Beno, beliau sedang nunggu Dokter Hendra."
Hendra mengangguk. "Kalau begitu saya akan segera menemui beliau. Saya pamit dulu, Bu. Mari," pamit Hendra. Ia bergegas menuju ruang kerjanya.
Beno sudah menunggu Hendra. Wajahnya tampak pucat. Hendra segera mengajaknya masuk.
"Bagaimana keadaan putri saya, Dokter?" tanya Beno harap-harap cemas.
Hendra tersenyum. "Anda jangan khawatir. Putri Anda sudah sadar, masa kritisnya sudah lewat. Kondisinya mulai stabil. Untuk sementara kita bisa bernapas lega."
Ketegangan di wajah Beno seketika mengendur. Ayah Liliyana itu terlihat lega. "Syukurlah," gumam Beno lega. "Syukurlah."
"Ya. Tuhan masih memberikan kita harapan untuk membantu Yana sembuh," kata Hendra. "Untuk itu, kita langsung saja membicarakan masalah operasi cangkok tulang sumsum untuk Yana ya, Pak?"
"Ya, ya, Dokter Hendra," Beno buru-buru menyahut. "Saya sudah memikirkan masak-masak. Meski operasi cangkok sumsum itu cukup beresiko, jika itu memang pengobatan paling manjur, lebih baik kita mencobanya untuk Yana. Saya sudah siap menjalani tes HLA, Dok."
"Bagaimana dengan ibu dari Liliyana? Apa beliau sudah siap mengikuti tes HLA untuk mengetahui apa sumsumnya cocok dengan Yana atau tidak?" tanya Hendra cepat, membuat Beno terperangah. Hendra tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mencecar Beno. "Tidak menutup kemungkinan kalau sumsum yang cocok untuk Yana adalah sumsum ibunya. Jadi kenapa Anda tidak sekalian mengajak Nyonya Beno melakukan tes HLA untuk mengetahui sumsum siapa yang cocok?"
Beno pias. Pria itu tampak gugup, membuat Hendra semakin penasaran, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Beno dan ibu Liliyana.
"Kenapa, Pak? Apa ibu Liliyana tidak bersedia mendonorkan sumsumnya untuk Liliyana?" desak Hendra. "Sebagai seorang ibu, tentu beliau rela mendonorkan sumsumnya untuk Yana, 'kan?"
Beno menghela napas. Ditatapnya Hendra dengan kalut. "Istri saya…. Dia, sudah lama meninggalkan saya dan Liliyana," kata Beno dengan berat hati. "Sudah sangat lama."
Hendra tersentak mendengar penjelasan Beno. Ditatapnya Beno terus-menerus, berharap pria itu bersedia menceritakan lebih banyak perihal ibu Yana.
"Sudah lama sekali kami tidak berkomunikasi," cerita Beno. "Yana sama saja. Sudah terlalu lama putus kontak dengan ibunya."
"Apa Bapak tidak bisa mengupayakan bagaimana caranya menemui ibunya Liliyana dan meminta beliau datang mengikuti tes HLA?" tanya Hendra lagi.
Beno tampak mulai frustasi. "Saya belum siap untuk bertemu lagi dengan istri saya itu," kata Beno kalut. "Sudah bertahun-tahun berlalu. Sudah terlalu lama kami putus kontak."
"Saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangga Anda, Pak Beno, tapi untuk saat ini saya hanya bisa meminta Anda dan ibunya Liliyana bersedia mengesampingkan masalah rumah tangga untuk sementara dan bekerja sama membantu kesembuhan Liliyana," kata Hendra. "Menurut hemat saya, kehadiran ibu dari Yana tidak hanya bermanfaat untuk tes HLA saja, tapi juga demi membangkitkan semangat hidup Liliyana lagi."
Beno tersentak. "Maksud Dokter?"
Hendra menghela napas sejenak. Perlahan-lahan, Hendra menceritakan sikap Liliyana selama menjadi pasiennya. Hendra menceritakan bagaimana Liliyana selalu bersikap dingin, keras kepala dan menolak segala jenis pengobatan lantaran ia tak ingin sembuh. Hendra juga menceritakan soal Yana yang terkesan bosan hidup karena kurang kasih sayang dari kedua orangtuanya, yang membuat Yana tidak punya semangat juang untuk melawan penyakitnya. Penuturan Hendra membuat Beno terhenyak. Pengusaha properti yang sukses itu tampak terpukul. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Kasihan anak itu," kata Beno dengan suara tercekat. "Selama ini, saya memperlakukannya dengan sangat buruk. Saya tidak pernah mengajaknya bicara. Saya tidak pernah mempedulikan dia. Saya hanya penuhi semua kebutuhan materinya, tapi tidak dengan kasih sayang. Saya…., saya bukannya membenci anak itu. Hanya saja dia terlalu mirip dengan ibunya, membuat saya tidak tahan. Dia selalu mengingatkan saya pada ibunya. Akhirnya saya selalu menghindari dia. Kami seperti orang asing. Saya tahu saya terlalu kejam. Saya…, saya…" Beno kesulitan melanjutkan kata-katanya. Ayah Liliyana itu tampak sangat frustasi.
"Anda menyesal?" tebak Hendra.
"Ya, ya," Beno mengangguk-angguk. "Saya sangat menyesal. Saya tidak menyangka, anak saya bernasib seburuk ini. Seharusnya Tuhan memberikan penyakit itu untuk saya, bukan untuk Liliyana."
Hendra mau tak mau tersentuh juga melihat ekspresi Beno. Ia merasa inilah saat yang tepat untuk mengetuk pintu hati ayah Liliyana. "Mungkin reuni keluarga bisa menjadi motivasi untuk Yana," kata Hendra. "Siapa tahu setelah melihat ayah dan ibunya berkumpul lagi, Yana kembali memiliki semangat hidup dan mau menjalani operasi."
Beno diam, tak tahu bagaimana caranya menjawab Hendra.
Hendra menghela napas. "Sebagai dokter yang merawat Liliyana, saya juga akan berusaha membantu memotivasi putri Anda untuk sembuh. Saya harap Anda bersedia melaksanakan saran saya untuk membawa ibunya kembali. Almarhumah ibu saya pernah mengatakan, obat yang paling manjur di dunia adalah kasih sayang seorang ibu. Saya percaya itu dan saya percaya kasih sayang ibunya bisa memberikan dampak positif untuk Yana," ujar Hendra sungguh-sungguh.
Beno tercenung. Kata demi kata yang diucapkan Hendra merasuk ke dasar hatinya. Di benaknya kembali muncul bayangan seorang wanita yang bertahun-tahun seakan menghilang dari kehidupannya. Wanita yang sangat mirip dengan Liliyana.
Ibu Liliyana.
*****
"Dokter Hendra!"
Seperti biasanya, Galadriel yang tengah duduk-duduk sambil menggambar di taman rumah sakit langsung menyongsong Hendra dan bergelayut manja pada dokter muda itu. Seperti biasanya juga, Hendra tertawa-tawa sambil menggendong Galadriel. Tawa Hendra mendadak lenyap begitu melihat Liliyana duduk melamun di bangku taman.
Hendra memperhatikan Liliyana dengan saksama. Gadis itu terlihat semakin kurus. Sorot matanya yang hampa membuat Liliyana tampak menyedihkan, membuat Hendra ikut sedih.
"Riel, Kak Yana kenapa?" bisik Hendra pada Galadriel yang masih bertengger di punggungnya.
"Riel juga nggak tau, Dokter. Kayaknya Kak Yana lagi sedih," jawab Riel polos.
"Ehm, Riel, kamu turun dulu, ya. Dokter mau ngomong sebentar sama Kak Yana," kata Hendra.
Galadriel menurut. Anak itu turun dari gendongan Hendra dan kembali menekuni buku gambarnya. Hendra bergegas menghampiri Yana.
"Jangan ngelamun, nanti kesambet," tegur Hendra yang duduk menjejeri Yana.
Yana terkejut. Tatapannya beralih pada Hendra. "Dokter Hendra."
Hendra tersenyum. "Mikirin apa sampe ngelamun kayak gitu? Kasian tuh Galadriel, dicuekin," kata Hendra dengan santai.
Yana menatap dokternya itu lurus-lurus, membuat Hendra merasa dag dig dug tak karuan.
"Papa saya," jawab Yana datar, ekspresinya hampa.
Ekspresi Hendra berubah. "Papa kamu? Papa kamu kenapa?"
"Papa minta saya ikut operasi cangkok sumsum tulang belakang," jawab Yana lagi.
Hendra mengawasi ekspresi Yana. "Terus? Kamu setuju?"
Yana mendadak tersenyum sinis. Matanya berkilat-kilat. "Setuju? Buat apa? Operasi nggak akan ada gunanya. Lebih baik saya mati."
Lagi dan lagi. Ekspresi yang sama, nada bicara yang sama. Khas Liliyana.
"Papa kamu pengen kamu sembuh," kata Hendra hati-hati. "Orangtua mana yang tega ngeliat anaknya sakit keras?"
Liliyana mencibir. "Orangtua saya," sergah Yana. "Papa, dia cuma ingin saya tetap hidup buat mastiin kerajaan bisnisnya punya penerus. Mama saya, mungkin udah lupa kalo dia pernah melahirkan saya ke dunia ini. Buat apa saya tetap hidup demi mereka?"
Hendra bisa merasakan kegetiran Liliyana. Ingin rasanya Hendra memeluk tubuh ringkih Liliyana, berharap bisa membuatnya lebih tegar sedikit. "Apa kamu nggak mau bertahan hidup demi diri kamu sendiri? Memangnya kamu nggak mau meraih cita-cita kamu, menemukan jodoh kamu, menikah, punya anak, punya cucu, hidup bahagia sampai tua?" tanya Hendra.
Liliyana mengernyit. Hendra kembali meneruskan bicara. "Ada banyak orang yang ingin kamu sembuh dan bahagia. Apa kamu nggak sadar?"
"Saya nggak ngerti maksud Dokter," kata Liliyana. "Saya udah terlalu capek berkhayal tentang masa depan yang cerah dan bahagia. Cita-cita? Cita-cita saya cuma satu. Lepas dari beban hidup yang berat. Cinta? Saya nggak percaya cinta. Papa sama Mama, mereka bilang kalo mereka saling cinta, tapi apa? Nyatanya mereka pisah dan akhirnya jalan sendiri-sendiri. Banyak orang yang ingin saya sembuh dan bahagia? Bullshit. Nggak ada yang peduli sama saya, Dok. Nggak ada. Mereka cuma kasihan sama saya," lanjutnya dengan nada tajam dan dingin.
"Tapi saya peduli," kata Hendra sungguh-sungguh. "Saya peduli sama kamu. Saya mau kamu sembuh dan bahagia. Saya udah cukup ngeliat kamu terpuruk selama ini. Saya nggak mau lagi liat kamu kayak gini, Yan. Saya nggak suka kamu yang seperti ini. Picik, pesimis, individualis. Kalo kamu nggak kena kanker, sifat kamu yang kayak gitu bisa bikin kamu cepet mati gara-gara depresi akut."
Liliyana terbelalak mendengarkan kata-kata Hendra yang tajam. Baru kali ini Hendra bicara padanya dengan nada mengecam seperti itu.
"Picik? Pesimis? Individualis?" Yana mengulangi kata-kata Hendra. Hatinya terasa sakit. Ia tak pernah menyangka Hendra tega mengatakan semua itu. Nyata sekali Liliyana kaget dan terpukul.
Melihat ekspresi Yana, Hendra benar-benar menyesal. Ia sendiri tidak menyangka bakal berkata seperti itu pada Yana. "Maaf," kata Hendra. "Ini pertama kalinya saya bicara sekeras itu ke pasien saya. Maaf, saya nggak bermaksud nyinggung kamu. Saya cuma nggak suka sama cara kamu memandang dunia, Yan. Kamu terlalu picik, menganggap dunia ini terlalu kejam, sampai-sampai kamu nggak berani berjuang demi diri kamu sendiri. Demi kebahagiaan kamu sendiri."
Yana hanya bisa diam. Matanya mulai menghindari Hendra. Kata-kata Hendra agaknya cukup membuat Yana terguncang.
"Kamu lihat Galadriel?" Hendra menunjuk Riel yang tengah duduk di bawah pohon matoa, asyik menggambar. Yana menoleh ke arah Galadriel.
"Dia masih terlalu kecil untuk memahami seberapa besar bahaya kanker," kata Hendra. "Dia kira penyakitnya nggak parah dan bisa sembuh setelah dirawat di rumah sakit, makanya dia nurut ikut kemo, disuntik, minum obat. Dia pengen sembuh. Dia pengen bisa tumbuh dewasa dan meraih cita-citanya. Kamu tau apa cita-cita Galadriel?"
Yana menggeleng.
"Dia pengen jadi dokter," kata Hendra. "Kelak kalo dia tetap hidup dan beranjak dewasa, dia pasti bangga karena bisa ngelawan penyakitnya waktu kecil. Dia bakal lebih menghargai hidup, dia bakal lebih banyak bersyukur dan sadar kalo Tuhan sayang banget sama dia. Dia bakal jadi pribadi yang kuat, optimis, penuh rasa syukur. Buat dia nanti, dunia ini nggak lagi kejam."
"Kamu lebih besar, lebih dewasa, lebih kuat dari Galadriel, tapi kenapa kamu nggak bisa lebih optimis dan tabah daripada Riel? Oke, kamu nggak bahagia karena keluarga kamu, tapi bukan berarti dunia kamu berakhir, kan? Dunia ini terasa kejam karena kamu selalu berpikir negatif. Coba kalo kamu mau berpikir positif dan terbuka, masih banyak hal yang layak untuk diperjuangkan. Masa depan kamu, contohnya. Coba kamu bayangin ini, Yan. Sepuluh tahun kemudian, kamu udah sembuh dari kanker. Kamu jadi motivator buat para pasien kanker. Kamu berbagi cerita, pengalaman, kasih sayang, motivasi sama mereka. Mereka-lah yang jadi keluarga sejati kamu, keluarga yang sama-sama berjuang untuk hidup. Sementara keluarga kamu sendiri, mungkin kamu bisa memperbaiki hubungan papa-mama kamu, dengan cara kamu sendiri, kamu yang lebih dewasa dan bijaksana dari kamu yang sekarang. Apa kamu nggak mau kehidupan yang kayak gitu, Yan?"
Liliyana tercenung mendengar kata-kata dokternya. Kata demi kata yang meluncur dari bibir Hendra terasa seperti tetesan embun di pagi hari yang lembut dan menyejukkan. Yana seakan terhipnotis mendengar kata-kata Hendra. Tanpa sadar, sorot matanya terarah pada wajah teduh milik Hendra.
Hendra yang merasa Yana tengah menatapnya, balas menatap Yana dengan tatapan yang lembut. Ada kelegaan di hati Hendra melihat raut wajah Liliyana yang sudah mulai normal, meski tatapan matanya menyiratkan banyak ekspresi.
"Maaf, bukannya saya sok menggurui," kata Hendra. "Saya cuma berbagi pengalaman."
"Pengalaman?" Yana terbingung-bingung. "Maksud Dokter?"
Hendra tersenyum. "Saya juga pernah terpuruk. Tapi kemudian ada satu orang yang menyadarkan saya, yang akhirnya bisa membuat saya move-on."
"Dokter pernah terpuruk?" Yana tak percaya.
Hendra mengangguk. "Pernah. Waktu itu dunia saya nyaris kiamat. Tapi ternyata Tuhan mengirimkan malaikat kecil yang menyadarkan saya, yang akhirnya membuat saya bisa bangkit lagi."
Yana tercenung. "Malaikat kecil?"
Hendra menghela napas. "Kamu nggak inget apa-apa, Yan?" gumam Hendra, sedikit kecewa.
Yana mengernyit. "Dokter bilang apa?"
Hendra menggeleng. "Nggak, saya nggak bilang apa-apa," jawab Hendra cepat. "Saya cuma mau bilang, kamu layak untuk hidup bahagia, asalkan kamu mau berusaha untuk itu."
Liliyana kembali tercenung. Bahagia, kata yang tak pernah ia pahami maknanya, bahkan hingga usianya mencapai 20 tahun seperti sekarang.
*****
"Iya, Vent. Lima belas menit lagi gue nyampe. Apa? Nggak, nggak usah. Gue bisa kesana sendiri. Don't worry. Oke, bye."
Hendra mematikan telepon. Tatapannya beralih ke jendela ruang kerjanya.
Hujan turun dari langit yang gelap. Hendra mengeluh. Ia paling tidak senang hujan turun disaat ia harus menyetir mobil. Sekarang jam setengah delapan malam. Malam hari di tengah hujan adalah waktu yang paling tidak cocok untuk menyetir.
Hendra menghela napas, lalu bergegas menyambar tas kerjanya dan berjalan cepat meninggalkan ruangan. Dengan langkah cepat, Hendra menyusuri koridor rumah sakit yang sepi dan berhadapan dengan taman rumah sakit. Indera penciuman Hendra menangkap bau tanah yang basah tersiram hujan, bau yang sangat disukainya. Refleks Hendra menoleh ke arah taman.
Mata sipit Hendra terbelalak begitu menangkap sosok yang sangat familiar di tengah taman, sedikit terhalang pohon matoa.
"Liliyana?" Hendra membelalakkan matanya lebar-lebar. Tak salah lagi! Itu Liliyana. Hendra kenal betul postur tubuh, rambut cepak dan cara berdirinya yang khas. Itu Liliyana.
Tanpa memedulikan guyuran hujan yang lumayan deras, Hendra berlari menuju taman setelah mencampakkan tas kerjanya ke lantai. Hendra tak peduli hujan. Ia hanya mengkhawatirkan Liliyana. Membiarkan dirinya basah kuyup di bawah guyuran hujan bisa berdampak buruk bagi kondisinya yang sudah lemah.
"Yana!" seru Hendra sambil berlari menghampiri gadis itu.
Liliyana tersentak. Mendengar namanya dipanggil, refleks ia menoleh. Mata Liliyana terbelalak melihat Hendra berlari ke arahnya diiringi guyuran hujan.
"D-Dokter H-Hendra…." Liliyana menggigil.
Hendra segera mencapai Liliyana. Dikerudunginya kepala gadis itu dengan jas dokternya. Melihat Liliyana menggigil dengan bibir membiru dan sorot mata yang hampa, hati Hendra terasa sakit. Tanpa memedulikan apapun, Hendra menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
Yana terkejut begitu menyadari dirinya ada di dalam pelukan dokternya itu. Pelukan Hendra terasa hangat, meski dokternya itu basah kuyup oleh hujan. Yana merasa tenang dan nyaman berada di dalam pelukan Hendra dan membiarkan Hendra memeluknya erat-erat.
Hendra memeluk Liliyana hampir lima menit, sampai akhirnya ia melepaskan pelukannya. "Kamu ngapain hujan-hujanan di sini? Kalo kamu demam gimana? Kamu bisa makin sakit, Yan! Kamu selalu bikin aku kuatir. Kalo kamu sakit, aku juga sakit Yan! Kamu sedih, aku juga sedih. Kamu ngerti nggak, sih?" Hendra tak bisa menahan diri untuk memarahinya dan tanpa sadar mulai ber-aku-kamu.
Yana tersentak mendengar kata-kata Hendra. "M-maksud Dokter?"
Hendra menatap Liliyana lurus-lurus. "Tolong jangan bikin aku kuatir, Yan," kata Hendra dengan gemetar menahan dingin akibat guyuran hujan. "Jangan kayak gini. Kalo sampai nanti kamu terus kayak gini sementara aku nggak bisa di samping kamu, terus gimana? Gimana kalo nanti aku nggak bisa ada di samping kamu lagi?"
Liliyana tak mengerti kata-kata Hendra. Ia hanya bisa melihat emosi di mata Hendra. Emosi yang bercampur kalut.
"S-saya nggak ngerti apa maksud Dokter," kata Liliyana dengan gemetaran. "Kenapa Dokter harus sebegitu kuatirnya sama saya? Kenapa Dokter harus ada di samping saya? Anda cuma sebatas dokter saya, bukan bodyguard saya. Kenapa Dokter sepertinya susah payah ingin menjaga saya? Saya ini cuma pasien Anda," lanjut Liliyana.
Kata-kata Liliyana membuat Hendra merasa kecewa. Kepalanya mendadak terasa pening.
"Kamu bukan pasien biasa," kata Hendra dengan gigi mengertak. "Kalo bukan karena kamu, mungkin sekarang Hendra Setiawan nggak akan berdiri di depan kamu, Yan."
Yana menatap Hendra dengan bingung. Ia sama sekali tak mengerti maksud Hendra. "Dari tadi saya nggak ngerti apa maksud Dokter," kata Liliyana. "Saya sama sekali nggak paham."
Guyuran hujan semakin deras. Tetes demi tetes air yang mengguyur kepalanya sekarang mulai terasa seperti palu godam yang menghantam keras. Hendra merasakan kepalanya mulai berdenyut-denyut hebat. Refleks ia memegangi kepalanya.
'Tuhan, jangan sekarang!', Hendra menjerit dalam hati. Apa daya, rasa sakit mulai menjajah seluruh bagian kepalanya.
Yana mengernyit melihat Hendra meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya. "Dokter, Dokter kenapa?"
Hendra berusaha menggeleng. Susah payah ia menahan rasa sakitnya. "Kamu coba inget-inget lagi, Yan," Hendra berusaha mempertahankan suaranya dan ekspresi wajahnya agar tetap normal. "Coba inget-inget lagi. Empat belas tahun lalu di Taipei. Remaja cowok yang berkacamata, sendirian, putus asa. Di pinggiran Zhinan Road. Coba inget-inget lagi." Sampai di situ Hendra tak tahan lagi. Ia jatuh terduduk. Rasa sakitnya terlalu menyiksa.
Liliyana kaget. "Dokter!" Liliyana berlutut di hadapan Hendra yang mulai mengerang kesakitan. "Dokter kenapa? Dokter sakit?"
Hendra mendongak. Liliyana kaget setengah mati melihat Hendra pucat pasi, bibirnya membiru.
"Kamu ingat-ingat lagi….. Empat belas tahun…., yang lalu… Taipei," Hendra terbata-bata.
Mendadak dunianya gelap.
TO BE CONTINUED
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!
Creation is hard, cheer me up!
I tagged this book, come and support me with a thumbs up!
Like it ? Add to library!
Have some idea about my story? Comment it and let me know.
semoga suka dengan part yang ini :) jangan lupa beri penghargaan