webnovel

Sesuatu dalam gelap

Kamar yang gelap. Diruang apartemen kelas menengah dipinggiran Jakarta, seorang pria duapuluh enam tahun terbaring diranjangnya dengan gelisah. Dia terus berganti posisi, menggerang dan berkeringat. Sampai akhirnya dia terbangun dengan penuh kekagetan.

Indra yang terlatih membuat pria itu tau, ada orang lain diruanganya.

"Klak!"

Setelah menyalakan lampu disamping ranjang. Pria itu langsung melompat kesamping ranjang. Karena melihat seorang pria diujung Ranjangnya.

"Kehidupan yang sulit!" Ucap pria di-Ujung Ranjang.

Memasang kuda-kuda, mengeraskan tinju dan lenganya. Pria duapuluh enam tahun itu siap untuk mengusir tamunya.

"Aku samasekali bukan ancaman." Ungkap pria di-ujung Ranjang.

Tentusaja pria duapuluh enam tahun itu tidak berfikir demikian. Aura yang dikeluarkan tamunya itu, sudah memenuhi ruangan dan membuat udara terasa pekat.

Pria di-ujung ranjang meletakan Botol kaca sebesar ibujari ke-atas kasur. Ada benda hitam sebesar biji kapuk didalamnya.

"Hasta, kau tau bagaimana mereka memperlakukan orang sepertimu. Tapi bersamaku, kau akan mendapatkan hak mu. Kejayaanmu. Warisanmu."

"Noda?!" Gumam Hasta.

"Noda." Jawab pria di-ujung Ranjang. Lalu melanjutkan. "Biarkan dirimu menuju kepuncak kejayaanmu. Lewati batas yang mereka tentukan. Kau akan terkejut dengan bakatmu."

"Lalu menjadi budak legelapan?" Balas Hasta.

"Lebih seperti sekutu."

"Yang benarsaja. Maksudmu sekutu yang menghamba."

"Perang akan terjadi, kami akan memenangkanya. Dan kau mungkin bisa menjadi salahsatu raja."

"Kenapa aku?" Tanya Hasta.

"Karena yang kau pantas."

Pria diujung ranjang lalu melemparkan sebuah amplop. "Buktikan kesetiaanmu. Dan kami akan berada dibelakangmu."

"Dan kau. Siapa dirimu?"

"Aku hanya seorang pembawa berita." Pria itu berjalan menuju sisi gelap sambil berkata. "Kau tau kata sandinya."

Saat pria itu menghilang, terdengar bisik yang menggema diruangan. "Lampahhh....!"

Hasta segera membuka amplop dan menemukan surat undang untuk menghadiri penghormatan orang mati, sekaligus penobatan Pangeran Alam Rhasa.

***

Ratya tidak benar-benar berfikir bahwa Utha sedang tidur. Dia barusaja ditampar oleh Utha, saat menyentuh gadis itu untuk memperbaiki posisi tubuhnya.

Guncangan dikereta membuat Utha jatuh bersandar keRatya. Awalnya Ratya memang cukup bahagia. Tapi tubuh kurus kering Ratya yang lama tidak berolahraga, merasa tubuh Utha terlalu berat untuk dia tanggung. Lagipula posisi jatuh Utha benar-benar tidak tepat. Kepala Utha jatuh bersandar dibawah ketiak Ratya, dan berat tubuhnya mendorong Ratya kejendela.

Tidak bisa memanggil dan tidak bisa menyentuh. Ratya Menggoyang-goyangkan tubuhnya untuk mengganggu Utha. Tapi gadis itu masih begitu nyaman dan tidak bergerak. Mungkin pingsan.

Ratya kembali berusaha menyentuh Utha. Setidaknya dia ingin memposisikan kepala Utha dipundaknya. Tapi sebelum Ratya sempat menyentuh pundak Utha, gadis itu sudah lebih dulu menampar wajah Ratya. Ratya hanya bisa menahan perih dan mengusap bekas tamparan Utha, sambil menahan diri untuk tidak berkata-kata. Dia tidak ingin menjadi objek kemarahan Utha, karena merusak perjalanan itu.

Ratya samasekali tidak tau, seberapa hebat wanita itu. Tapi mengingat begitu mudahnya Utha menggendong dirinya, gadis itu pasti bisa membanting dirinya tanpa kesulitan.

"Mengharap apel dipuncak pohon. Tapi malah jatuh, tertimpa tangga. Dan terjepit tanpa bisa menjerit."

Mungkin kata-kata itulah yang cukup tepat untuk menggambarkan ke-adaan Ratya. Seperti yang dia pikirkan.

Ratya menggelengkan kepala, melihat situasi dirinya. Dan tanpa sengaja dia melihat ke sosok putih didepanya. Tentusaja sosok itu langsung membalas tatapan Ratya, didepan wajah.

Ratya mungkin sudah terbiasa melihat sosok menakutkan itu, tapi dia masih tidak tau harus melakukan apa. Normalnya Ratya akan mengangguk ramah sambil nyengir, saat beradu pandang dengan seseorang. Tapi keadaan itu samasekali tidak normal. Dan akhirnya Ratya hanya menelan ludah dengan keras. Lalu melihat keluar jendela.

"TUNGGU!" Teriakan tiba-tiba muncul dari samping Ratya.

Ratya seratus persen yakin, teriakan yang membuat dirinya terperanjat berasal dari Utha. Sebab itu, tanpa sadar dia berseru. "Thaa!"

Tiba-tiba seisi gerbong, mungkin malah seisi kereta sudah berdiri disekitar Ratya dan Utha. Pemandangan itu membuat Ratya kembali ketakutan dan tidak tau harus berbuat apa. Dan akhirnya Ratya menepuk-nepuk pipi Utha untuk membangunkan gadis itu. Meskipun kemudian dirinya harus menerima tamparan demi temparan diwajahnya.

Kereta yang sedang melaju tiba-tiba berhenti. Tapi seperti difilm-film kartun, saat kereta tiba-tiba berhenti, Ratya dan seisi gerbong samasekali tidak terguncang.

Dan sebelum Ratya sempat berfikir apa yang mungkin terjadi kepada dirinya. Entah bagaimana dia dan Utha sudah berada dipintu kereta. Lalu kemudian dilempar keluar.

Utha dan Ratyapun jatuh ditanah berumput.

Ratya langsung berdiri dengan lututnya dan menyaksikan kereta itu melaju, menjauh dan menghilang.

"Adegan yang benar benar tidak logis!" Pikir Ratya. Lalu merentangkan tangan dan menjatuhkan tubuh keatas tanah.

Dengan penuh rasa syukur Ratya memeluk tanah, sambil bergumam. "Owh, tanah. Senang melihatmu lagi. Aku benar-benar merindukanmu."

Ratya menggumamkan kata-kata itu dengan penuh kebahagiaan. Dia tidak peduli meski pemandangan disekitarnya adalah semak dan hutan gelap yang jauh dari perkampungan.

Berbeda dengan Ratya yang diusir dengan penuh syukur dan rasa bahagia. Utha yang jatuh ketanah langsung melompat berdiri dan memasang kuda-kuda. Kesadaranya masih belum begitu pulih. Dengan linglung Utha melihat aksi gila Ratya yang tidak normal, dan menyaksikan pemandangan sekitarnya yang malah membuat dia menjadi bingung.

Utha sadar bahwa sesuatu tidak tepat, tapi dia tidak tau apa yang salah. Akhirnya dia hanya melangkah tidak jelas, sambil terus berfikir.

Utha baru menyadari keberadaan dirinya, setelah melangkah cukup lama dan memutar ingatan terakhirnya. Dia ingat bahwa sebelumnya dirinya sedang berada diKereta Netral menuju Jakarta Kota. Dan melihat pemandangan sekitar tempatnya sedang berada, Uthapun sadar bahwa dirinya berada ditempat yang tidak seharusnya.

Itu adalah kalipertama Utha diusir dari Kereta Netral. Biasanya perjalananya selalu aman, cepat dan lancar. Tentusaja dalam perjalanan lancar itu tidak ada Ratya. Sosok yang langsung Utha lihat sebagai kejanggalan dan sumber dari masalah. Utha enggan memikirkan, bagaimana dirinya bisa terlempar ketempat itu.

Utha langsung membusungkan dada dan melangkah kearah Ratya, membawa amarah yang menyala merah.

Ratya melihat Utha melangkah kehadapanya kemudian berjongkok. Tentusaja Ratya hanya mengira-ngira, karena tempat itu terlalu gelap untuk mata Ratya. Jikapun itu adalah sesuatu yang menyamar sebagai Utha, Ratya tidak akan curiga, karena seharusnya tidak ada orang lain disana. Meskipun secara sadar Ratya melihat bayangan gelap itu, tampak lebih pendek dari Utha. Tinggi bayangan itu hanya sekitar seratus tigapuluh senti.

"Apa yang kau lakukan?" Tanya sosok didepan Ratya. Suaranya terdengar seperti seorang gadis kecil yang kekanakan.

Ratya langsung bangkit dan berdiri waspada. Dia lalu mengamati tempat dari Utha palsu sempat berada. Tapi Ratya tidak melihat apapun ditempat itu. Ratya sangat yakin bahwa suara yang dia dengar bukanlah suata Utha. Dan dia sangat yakin bahwa dirinya cukup sadar untuk tidak bermimpi.

Dalam ketegangan dan pencarian kebenaran, tiba-tiba sebuah tangan mencengkram bagian belakang lehernya. Seketika itu Ratya langsung berusaha berlari.

"JANGAN KABUR!" Teriak Utha. Lalu dia berseru. "Kau tau apa yang baru kau lakukan?!"

Mendengar suara bernada kesal dan sedikit mengancam dari arah belakang, Ratya merasa sangat lega dan bahagia. Dia bahkan ingin memeluk Utha dan berterimakasih.

Merasa dirinya tidak ditanggapi, Utha membentak. "Ratya!"

"Apa sa-." Merasa salah bicara, Ratyapun langsung memperbaikinya. "Ada apa?"

Ratya berusaha menegok ke Utha yang berada dibelakangnya. Tapi tangan Utha mencekramnya dengan kuat, hingga dia hanya bisa menengok selurus bahu.

Utha kembali bertanya. "Apa kau tau apa yang barusaja kau lakukan?!"

"Dia marah!" Pikir Ratya.

"Apa kau ingat saat berteriak, TUNGGU!" Ucap Ratya, memberi penekanan pada kata terakhinya.

Utha seperti barusaja menabarak dinding, dia terhentak. Sebelumya dia merasa cukup bodoh karena butuh waktu cukup lama untuk menyadari bahwa dirinya sudah diusir dari Kereta Netral. Dan disitu dia barusadar, 'seharusnya hanya orang yang bicara yang diusir dari kereta Netral'. Itu berarti dirinya sempat bicara.

Menyadari hal itu, Uthapun mengira Ratya terlalu takut ditinggal sendiri, sehingga memilih ikut untuk diusir. Utha merasa geli memikirkan hal itu. Dia ingin tertawa, tapi hanya sekilas tersenyum, menelan ludah dan kembali serius.

"Maaf aku salahpaham." Ucap Utha, melepaskan cekramanya. Lalu menjelaskan keadaan dirinya. "Memeriksa selusin lemari berkas selama tiga hari untuk menemukan beberapa catatan bukti, benar-benar membuatku gila. Aku bahkan tidak sempat tidur. Dan bagian tergila dari hal itu akan terjadi pagi nanti. Jika aku tidak datang kesidang, semuanya akan sia-sia."

Ratya tidak benar-benar tau apa yang dia katakan. Entah berusaha memberi harapan atau malah bertanya "Kita tunggu kereta selanjutnya."

Utha ingin tertawa, mendengar icapan Ratya. menurut Utha, itu adalah hal yang sangat lucu. Mengharap dan menunggu sesuatu yang jelas-jelas tidak akan datang. Lagipula kereta tidak bergenti disembarang tempat. Dia tidak paham bagaimana Ratya berfikir.

Utha segera melihat sekitar tempatnya, lalu melihat jam dan mengeluh. "Kita bahkan baru setengah jalan."

Ratya sangat penasaran, bagaimana Utha bisa melihat dalam keadaan segelap itu. Seperti bagaimana gadis itu bertarung tanpa pencahayaan didalam kereta. Tapi belum sempat Ratya bertanya, Utha lebih dulu bicara.

"Kita harus mencari tempat lapang. Dan sebaiknya kau bersiap."

"Bersiap untuk apa? Apa ada pertunjukan horor lain? Dan kita tidak boleh bicara lagi"

"Tidak, tapi untuk guncangan. Kali ini kita bisa mengobrol." Sesaat utha berhenti. Dia tersenyum lalu melanjutkan ucapanya. "Jika kau bisa melakukanya."

Ratya sangat malas saat harus mendengar ancaman dari bibir tipis Utha yang menawan. Tapi dia cukup tenang, karena setidaknya nanti dia bisa bebas berteriak dan menjerit.

Tidak ingin menjadi penghalang dari Utha untuk menyelesaikan pekerjaan. Ratya akan mengikut kemana Utha pergi. Dan berusaha untuk tidak terlalu membebani gadis lelah itu.

"Jangan sampai tertinggal." Ucap Utha. Dan melangkah untuk keluar dari tempat itu.

Berjalan mengikuti Utha, Ratya menengok kebekas Utha palsu sempat terlihat. Dia hampir melupakan hal itu. Dan mungkin lebih baik dirinya memang tidak mengingatnya untuk sementara. Hanya terus mengikuti Utha dan berusaha untuk tetap dekat.

"Tha, bagaimana kau bisa melihat jam, dalam keadaan segelap ini?" Ratya berusaha membuat obrolan ditengah sunyi.

"Aku bisa melihat dalam gelap dengan sangat jelas. Sama seperti saat dibawah cahaya."

"Bagaimana itu terjadi?"

Utha menyempatkan berhenti dan menengok keRatya. "Mungkin tidak tepat untuk membicaraknya disini. Terlalu banyak telinga."

Mendengar itu, Ratya yang mengikuti Utha mendaki bukit pohon pinus, langsung melihat kesekitar.

"Mimpi buruk belum selesai." pikir Ratya.

Semakin mendekati puncak, Ratya kembali bertanya. "Kenapa kita butuh tempat yang luas?"

"Untuk pendaratan dan lepas landas."

Ratya berusaha mencerna ucapan Ratya. Dan pesawat menjadi hal pertama yang dia tangkap.

"Pesawat?"

"Bukan." Jawab Utha. Lalu menambahkan. "Sesuatu yang akan membuatmu terkesima."

"Yaa, aku sudah terkesima melihat stasiun lama dan kereta Uap."

"Percayalah, kau tidak akan melihat pemandangan yang memyeramkan."

"Untukku atau untukmu?"

Sekali lagi Utha menyempatkan diri untuk berhenti. "Untuk kita. Ka-." Dia ingin melanjutkan kalimat itu, tapi memilih melanjutkan langkah.

Setelah beberapa saat, kedua orang itu sampai ditanah lapang yang cukup luas. Ratya mengira tempat itu adalah area kemping. Dia tidak tau bagaimana Utha bisa menemukan tempat itu dalam sekali jalan dan tanpa tersesat.

"Jangan menggangguku!" Seru Utha.

Ratya baru membuka mulut untuk membela diri atau mempertanyakan hal itu. Tapi dia segera bungkam, karena melihat Utha sedang memulai ritual.

Ditengah tanah lapang itu, Utha berdiri tegak dengan tangan disamping dan memejamkan mata. Lalu dia mulai bergumam sambil menggerakan tangan untuk bersedekap.

Ratya yang berdiri tidak begitu jauh dari Utha, mencoba mencuri dengar. Tapi meskipun Ratya bisa mendengar ucapan Utha dengan cukup jelas. Dia samasekali tidak bisa mengingat apapun, walau hanya satu kata.

Setelah bersedekap sempurna, menunduk dan kembali diam. Utha lalu menghentakan kaki kanan ketanah beberapa kali. Dan kembali diam.

Setengah menit kemudian Utha kembali bicara. Lebih terdengar seperti sedang menjawab seseorang.

"Benar." Ucap Utha. Lalu, "Iya, Utha Satriyani." "Paragagak." "Dua." "Ikuti suaraku."

Ratya mendengar dialog itu sebagai dialog yang aneh. Dan dia menangkap kata yang menarik minatnya, 'Para Gagak'.

Setelah Utha kembali diam. Ratya kemudian melihat kelangit. Pemandangan langit dari tempat itu benar-benar indah. Angkasa seperti membuka gerbangnya untuk memanjakan mata manusia.

Terpesona dengan pemandangan lagit. Ratya kemudian menatap kepunggung Utha.

"Tidak begitu buruk." Bisik Ratya. Melihat situasi didepanya.