2/3/22
Happy Reading
***
Dua minggu setelah keributan di rumah sakit— tempat dimana seharusnya Selasa mendapat perawatan intensif untuk memulihkan kesehatan kakinya justru tempat itu lah yang sukses membuat mental Selasa tertekan hingga mengalami trauma yang berkepanjangan.
Walau sudah diberitahu Senin setiap hari jika rumahnya ini sangat aman dari para wartawan-wartawan gila itu— Selasa tetap tidak mau keluar rumah.
Tidak mau keluar rumah pokoknya, titik!
Jangankan keluar rumah, untuk berjemur di taman belakang saja ia tidak mau. Ia tetap memilih berdiam diri di kamarnya, karena menurutnya kamar ini adalah tempat yang paling aman untuk melindungi dirinya dari kejaran wartawan-wartawan yang terus saja menuntutnya untuk berbicara ini itu.
Dan, jauh didalam pikiran dan penglihatan Selasa— wartawan-wartawan gila yang sukses membuatnya mengalami trauma untuk bertemu orang— mereka sangat lebih dari kawanan Zombie gila yang ingin menyerang dan memakannya.
Aghhh, pokoknya mereka sungguh sangat menakutkan, mengerikan dan menjijikan.
Apalagi ia ingat betul, wajah salah satu wartawan wanita yang getol sekali menanyainya waktu itu.
Pertanyaan yang diajukan bukan tipe pertanyaan kritis seputar kecelakaannya, tapi pertanyaan yang diajukannya cukup membuat mentalnya jatuh ke dasar jurang yang paling dalam.
Hatinya sangat sakit saat mendapat pertanyaan-pertanyaan yang sangat memojokkannya itu.
Apalagi waktu dirumah sakit pun, ia jelas sekali bisa melihat gerak bibir dari beberapa masyarakat umum yang ikut menonton dan menyambutnya keluar dari rumah sakit.
Bukan ucapan semangat akan kesembuhannya yang dikatakan untuknya, namun saat itu mereka semua menyumpah serapahinya dan mengatakan sesuatu hal yang sangat mengerikan.
"Dasar pembunuh!"
"Karirmu sudah hancur!"
"Kau tidak akan bisa kemana-mana!"
"Mati saja kau!
"Kau tak pantas lagi untuk hidup!"
"Dasar penjahat!"
"Dasar serakah!"
"Cantik-cantik pembunuh!"
"Akhlak nol!"
"Dasar tukang iri!"
"Aku akan mengejarmu!"
"Aku akan melecehkanmu!"
"Lihat saja nanti!"
Tidak … tidak!
Selama dua minggu ini bayang-bayang akan gerak bibir orang-orang itu selalu muncul dalam setiap ingatannya.
Dan, sekarang pun ia merasakan jika bibir-bibir itu masih terus saja menyumpahinya— mengatakannya tepat di depan wajahnya ini— sampai-sampai ia bisa merasakan percikan air liur imajiner yang membasahi wajahnya.
Hagghhh!!
Selasa menutup matanya rapat-rapat.
"Pergi!!!" teriaknya ketakutan.
Kepalanya menggeleng kuat untuk menghindari hajaran gerakan bibir itu.
"Berhenti!!" teriaknya lagi semakin gila.
Kelopak matanya semakin erat menutup. Ia tidak ingin terus menerus melihat gerak bibir orang-orang yang telah membuatnya menjadi ketakutan seperti ini.
"Aku bukan pembunuh!!"
Kedua tangannya secara refleks mengibas-ngibas apa saja yang ada di depannya.
"Aku bukan orang yang kalian maksud! Aku bukan dia! Bukan!! Pasti tuduhan itu bukan ditujukan untukku. Bukan … bukan!! Itu bukan aku!!"
Sekujur tubuhnya gemetar. Keringat deras membasahi seluruh tubuhnya yang mendadak tidak bisa digerakkan lagi, hanya kedua tangannya yang masih aktif bergerak.
Kaku!
Aku kenapa lagi?
Aghh!!
"Selasa … berhati-hatilah. Aku akan menculik dan memperkosamu."
Arghh!
Tidak!
Tidak!
"Nona Selasa … bagaimana jika Anda ditahan dalam keadaan lumpuh seperti ini?"
"Nona Selasa … apakah Anda sudah siap untuk masuk bui?"
"Nona Selasa …."
"Nona Selasa …."
Arghh, hiks!
Suara itu lagi … kenapa mereka tidak pernah lelah mengejarku!!
Hentikan, kumohon!
Pergi!!
Aku sangat lelah!!
Kedua tangannya yang sejak tadi digunakan untuk menepis angin kini digunakan untuk menutup kedua telinganya dengan erat saat mendengar dengungan dan desisan suara wartawan-wartawan itu lagi.
"Arghh, cukup, hentikan! Hentikan!"
"Pergi semuanya! Pergi!!"
Dug!
Jantungnya serasa berhenti …
Brukh!
Kya!!
Selasa berteriak kaget, refleks kedua matanya terbuka panik saat kursi rodanya tiba-tiba saja seperti membentur sebuah dinding.
Benturannya sangat kuat dan begitu keras, ia bisa mendengar sedikit runtuhan semen di belakang sana.
Selasa hampir jatuh tersuruk tadi namun dengan cepat kedua tangannya langsung berpegangan pada pegangan kursi rodanya.
Hah … hah … hah!
Napasnya memburu ketakutan dan begitu cemas, menerka-nerka untuk semua yang terjadi barusan.
Gelap!
Ini sangat gelap!!
Selasa sama sekali tidak bisa melihat apapun di depan sana.
Aku buta?
Aku tidak buta, kan?
Selasa memegang kedua matanya dengan cemas, ia membuka lebar-lebar kelopak matanya supaya bisa melihat lagi dengan jelas.
"Argh, aku buta. Aku buta …." Selasa menangisi nasibnya.
Semua ini sungguh sangat menyiksa fisik dan batinnya. Belum permasalahan lumpuhnya selesai kini ia juga harus menjadi wanita buta.
Ia sama sekali tidak bisa melihat apa-apa.
Bugh!
Bam!
Argh!!
Selasa berteriak lagi, kali ini ia benar-benar terkejut karena tubuhnya tiba-tiba saja seperti dilempar ke tempat yang empuk.
Deg!
Detik berikutnya …
Selasa seperti bisa mendengar suara daun yang bergesekan dengan angin.
Matanya kali ini benar-benar terbuka tapi … ia bisa melihat keremangan cahaya.
Lho?
Selasa benar-benar linglung dengan semua keadaan ini.
Tubuhnya tiba-tiba saja terlentang pasrah dengan kedua tangan masing-masing meremas sprei dengan kepanikan yang berlebihan.
"Aku dimana?" Selasa memutar bola matanya kekanan kiri, matanya menyipit lalu melebar— ingin mencari petunjuk akan keberadaannya sekarang.
"Apakah aku diculik?" Selasa menjadi panik seketika. "Tidak mungkin," lanjutnya mencoba menenangkan diri.
"Tidak mungkin aku diculik! Mereka semua tidak akan bisa menculikku dengan mudah!"
"Mi-minggu dan Senin selalu meyakinkan hal itu padaku. Iya … aku harus percaya pada mereka berdua."
Ditengah kepanikan dan histeria hatinya yang hancur, Selasa masih mencoba untuk berpikiran positif.
Kuk … kuk … kuk!
Kepak … kepak … kepak!
Deg!
Itu suara burung!
"Jangan-jangan aku disekap di tengah hutan?"
Selasa mencoba mendudukan dirinya dengan susah payah. Perutnya sangat mual dan begitu begah karena masih bisa merasakan efek siksaan yang baru saja didapatkannya.
Salah satu tangannya yang gemetaran digunakannya untuk mengelap keringat di dahi, hidung dan mengusap-usap bibirnya yang getar-getar juga.
Mata indahnya lagi-lagi mengerjap kebingungan. Ia benar-benar tidak tahu ada dimana sekarang.
Tapi? Eh?
Ada yang salah.
Selasa menggigit sudut bibirnya dengan cemas. "Tempat ini tidak asing untukku. Aku tidak diculik tapi …."
Selasa mencoba mencari petunjuk lagi, ia memutar bola matanya kekiri dan disana ia bisa melihat seberkas cahaya mengintip dari sela-sela gorden.
"Ahhhh, bodohnya aku." Selasa menghela napas amat berat. "Mimpi lagi ternyata," gumamnya memukul kepalanya yang jadi pelupa ini.
Mata indahnya yang cekung memutar lagi, menyakinkan sekali lagi untuk melihat sekitaran ruangan yang gelap ini.
"Ini kamarku sendiri. Aku tidak jadi diculik." Selasa tertawa getir.
Jarak pandangnya memang terbatas, karena memang kamarnya ini sangatlah gelap.
Coba kalau gorden itu tidak terbuka sedikit tadi, pasti Selasa akan mengira jika benar-benar menjadi wanita buta dalam waktu semalam.
Ia sengaja menutup rapat-rapat gorden kamarnya yang salah satu dinding kamarnya berdinding full kaca— seperti di ruang utama mansionnya ini.
Tujuannya satu saat dinding kaca itu minta ditutupnya rapat-rapat … supaya tidak ada yang mencuri lihat dan mengawasinya terus menerus.
Jujur, Selasa sangat takut kalau nantinya ada yang diam-diam mengambil fotonya lagi, menyebarkannya di berbagai media sosial lalu di edit seenaknya, dan setelahnya mereka membuat artikel buruk lagi tentang dirinya.
Hal itu pasti akan membuat namanya semakin buruk dimata masyarakat luas.
Minggu dan Senin, orang terdekatnya akan terkena masalah lagi dan mereka semua tidak akan ada habisnya membully dan melecehkan mereka berdua lagi dengan kata-kata kotor— karena selalu membelanya— wanita yang dianggap sebagian orang sebagai wanita pembunuh darah dingin!
Hahaha, pegang pisau saja tidak bisa. Ini malah mendapat julukkan yang begitu menjatuhkan harga dirinya.
"Hah …." Selasa membuang napasnya, melonggarkan dadanya yang sedikit sesak.
Setelah dirasa bisa bernapas dengan baik, ia mencoba menggeser tubuhnya ke samping, memegang kedua kakinya, berusaha untuk menurunkan kakinya yang cantik ini ke lantai.
Agak susah memang, tapi ia harus terbiasa melakukan sendiri.
Tidak boleh manja!
Kursi roda yang ada di samping ranjangnya, ia putar untuk dihadapkan ke arahnya, dan dengan susah payah menggunakan banyak tenaganya, ia mencoba mendudukan diri di kursi rodanya.
Oleng sedikit …
"Kau bisa, Sel!!" Selasa menyemangati dirinya sendiri. "Kau tidak perlu bantuan siapa-siapa lagi, ok. Kau pasti bisa."
Kursi rodanya agak mundur satu dorongan tapi sebelum kursi itu menjauh …
Bregh!
Akhirnya Selasa bisa mendaratkan pantatnya yang tidak cantik lagi di dudukan kursi roda.
"Hahahahah!" Selasa tertawa menghinakan dirinya sendiri. "Hah! Kau tidak boleh menangis, ok! Kau kuat, Sel."
Selasa menjalankan kursi rodanya menuju ke arah dinding kaca yang tertutup gorden.
Tangannya terulur ingin membuka sedikit gorden itu tapi …
***
Salam
Galuh