webnovel

RABU DAN SELASA

Happy Reading *** Namanya Rabu Sore Hari, seorang pelukis jalanan yang 'katanya' sangat pemalas, tidak punya gairah hidup sama sekali dan selalu kelaparan. Kelebihannya satu, sangat percaya diri dan cerewet. Note : Kelaparan disini memang si pelukis kita ini malas sekali kalau disuruh makan— kalau sudah benar-benar lapar baru kelabakan ke tempat lukis untuk bekerja. Rabu selalu menyebut tempat itu, Jalan Art Place— dimana semua seniman jalanan yang tak punya profesi tetap berkumpul disitu. … Namanya Selasa Langit Malam, seorang Model Papan Atas Internasional yang 'lagi' mengalami nasib sial. Note : sial disini memang si model cantik kita ini baru saja mengalami kecelakaan serius. Selasa sebelum mengalami kecelakaan, ia selalu bermimpi bisa berjalan di runway— di seluruh perhelatan akbar Fashion Show dunia. Taraaaa … salah satu mimpi itu tercapai namun, bentuk dari kesuksesan mimpinya itu harus dibalas dengan kelumpuhan kakinya. No!! Disaat Selasa kehilangan harapannya, disitulah muncul sebuah harapan baru, yaitu Rabu Sore Hari— pria antah berantah yang super cerewet dan tidak tahu datang darimana dan iya… Itu semua adalah pertemuan yang tidak di sengaja! Iya, semua diawali dengan pertemuan seperti itu. Kalau tidak sengaja, mereka tidak akan bertemu. Yang jadi pertanyaannya… Apakah dibalik pertemuan yang tidak sengaja itu ada perasaan yang spesial diantara keduanya? Jika mereka punya perasaan spesial, apakah mereka bisa menjadi pasangan sempurna dan saling melengkapi? Dan, apakah mereka berdua bisa saling memberi dukungan supaya kehidupan mereka berdua bisa lebih baik lagi? Apakah Rabu bisa berubah menjadi orang yang tidak pemalas dan selalu giat bekerja supaya bisa menjadi Pelukis Profesional yang bisa mengadakan Pameran Tunggalnya sendiri? Apakah Selasa bisa mengembalikan lagi rasa percaya dirinya untuk bisa merasakan kembali kakinya melangkah di runway dengan segala keterbatasannya? Yukk… ikuti kisah receh perjalanan Rabu dan Selasa. Si Pelukis Jalanan yang pemalas dan super cerewet dan Si Model Papan Atas yang kehilangan kepercayaan dirinya. Follow sosial media saya… Instagram : @galuhlinan ... Cover by CANVA *** Salam Galuh

Galuhlinanti · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
35 Chs

IKUT DENGAN RABU

16/4/22

Happy Reading

***

"Jangan bawa aku kesana?!" Selasa berteriak panik.

"Woy ... woy, santai," kata Rabu. Berjalan kedepan dan duduk di hadapan Selasa. "Aku hanya ingin menolongmu. Kalau tidak dibawa kekantor polisi, bagaimana—"

Selasa dengan cepat memotong ucapan Rabu. "Ka-kalau kau me-membawaku keka-kantor po-polisi, itu sama saja dengan kau menyerahkanku kepada me-mereka. Aku tidak mau bertemu me-mereka lagi, selamanya!!"

"Heuh? Mereka? Siapa?" tanya Rabu kebingungan. Dahinya sampai mengernyit dalam. Sepertinya Selasa sangat takut pada orang yang dikatakan 'mereka'. 

"B-bukan siapa-siapa," kata Selasa. "Po-pokoknya a-aku ti-tidak mau dibawa kemanapun. Titik!"

"Lalu aku harus memulangkanmu kemana, hem?" Rabu mengusak-asik rambutnya dengan frustrasi. "Aku tidak tahu siapa kau, aku tidak tahu dimana rumahmu dan aku—"

"A-aku tidak mau pulang, Ra-Rabu!!" Selasa lagi-lagi memotong ucapan Rabu. 

"Oh ... aku tahu!" Rabu berdiri. "Atau kubawa saja kau ke rumah sakit jiwa dekat sini?"

"Itu juga jangan!!" teriak Selasa— yang jadi ikut-ikutan frustrasi. "Ka-kalau kau membawaku kesana berarti kau sama saja dengan me-mereka. Aku kabur dari mereka juga ka-karena ma-masalah ini. Me-mereka mau membawaku ke rumah sakit jiwa, padahal aku tidak gila, Rabuu!!" 

"Mereka lagi! Mereka lagi!!" Rabu mendengus. "Apa karena kau cacat seperti ini jadi mereka mau membawamu ke rumah sakit jiwa."

Selasa tidak menjawab. Hatinya benar-benar sakit untuk segala sesuatunya.

"Siapa mereka yang sudah berani melakukan itu padamu, hah? Siapa? Aku akan mendatanginya?!"

Selasa tetap diam saja. "Kalau kau mendatangi Minggu dan Senin, itu sama saja dengan kau menyerahkanku pada mereka. Percuma aku kabur sampai sejauh ini," ucapnya dalam hati.

"Oke, maumu apa sekarang?" tanya Rabu. 

"Tinggalkan aku saja," kata Selasa, tidak sungguh-sungguh. Padahal baru sehari bersama Rabu tapi ia sudah merasa aman dengan pria ini. "Aku bisa hidup sendiri. Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku lagi."

"Oke!" Rabu berseru. Menyisir rambutnya ke belakang dengan perasaan jengkel. Pikirnya, sifat keras kepala Selasa untuknya itu sudah hilang. 

"Dasar, susah diatur!" gerutunya dalam hati. "Bisa tidak sih! Daripada menyuruhku meninggalkanmu katakanlah kau ingin tinggal bersamaku. Aku akan dengan senang hati membawamu tinggal bersamaku."

Hish!!

"Yaa, kau pergilah. Aku juga akan pergi dari sini," kata Selasa, menatap mata Rabu dengan sungguh-sungguh.

"Okea, baiklah!! Aku akan meninggalkanmu!"  Rabu berseru kesal. Ia mengambil semua peralatan yang ada di pangkuan Selasa— menentengnya ditangan kanan kirinya.

Setelah itu ...

"Selamat tinggal!" Rabu berbalik badan ….

Grab!

Rabu mengeratkan giginya, ia menatap mata Sabtu dengan tajam. "Apa?!" tanyanya dengan nada menantang. Ia tidak bisa menepiskan tangan Sabtu yang menahan dadanya.

"Rabu." Sabtu dengan sabar menahan Rabu. "Sabar," ucapnya dengan penuh kelembutan.

Sabtu tidak tahu duduk permasalahannya tapi pada saat mereka berdebat tadi suaranya cukup nyaring. Kebetulan ia baru saja kembali dari toilet jadi bisa mendengar perdebatan Rabu dan Selasa tipis-tipis.

"Maaf aku jadi ikut campur seperti ini," kata Sabtu mencoba meredakan suasana. Ia melihat ke arah wanita itu yang sedang menundukkan kepalanya. "Kau yang membawa wanita itu bersamamu dan sekarang kau mau meninggalkannya. Kau tega melakukan hal seperti itu pada wanita yang cacat?"

Rabu mengerutkan hidungnya, ia mendecih sebal. Bisa-bisanya disaat seperti ini, nada suara Sabtu seperti penceramah handal.

"Kau bisa lihat penampilan wanita itu, kan? Dia sangat kelelahan dan kau pun pasti sangat lelah, benar?"

Rabu tidak menjawab, napasnya yang berantakan masih belum bisa kembali normal.

"Kau sudah membawanya sampai sejauh ini—"

"Terus aku juga yang harus merawatnya? Gitu, maksudnya?" tanya Rabu tidak suka. "Mengurus hidupku sendiri saja aku tidak sanggup terus aku harus mengurus hidup orang lain, mana cacat lagi, huh!"

Hidung Selasa kembang kempis menahan marah. Entah kenapa kalau Rabu yang mengatakan tentang kecacatannya, rasa sakit hatinya sampai keubun-ubun.

"Terus aku yang harus mengurusnya?" tanya Sabtu.

Selasa langsung mendongak, kaget. Pun Rabu langsung berkedip, tidak suka.

"Oke, artinya tidak mau dan tidak boleh," kata Sabtu, hampir tertawa melihat ekspresi Rabu dan Selasa yang artinya sama-sama menolak.

"Siapa bilang tidak boleh?" Rabu berdehem.  "Silahkan saja. Urus dia baik-baik."

"A-aku ma-mau," kata Selasa, setengah hati.

"Okee, baiklah." Sedikit lagi Sabtu akan tertawa. "Kau ikut denganku, nona," ucapnya mau meraih pegangan kursi roda. "Aku disini sampai malam, jadi—"

"Ikut saja denganku." Rabu langsung meletakkan semua peralatan lukisnya dipangkuan Selasa lagi. "Kau kembali lah," ucapnya menyuruh Sabtu kembali bekerja.

"Dan, kau ikut aku pulang," lanjut Rabu berdehem kikuk. "Tapi besok aku akan tetap membawamu ke kantor polisi atau ke rumah sakit jiwa. Paham?!"

Selasa akan memprotes tapi ….

"Yaaa, hati-hati dijalan," kata Sabtu melambaikan tangannya— segera pergi dari situ— jujur, ia sedang berusaha menahan tawanya.

"Yaaa." Rabu pun ikut-ikutan melambaikan tangannya. "Huh, dasar menyebalkan," gumamnya dengan nada sewot— merujuk pada Sabtu.

"Aku memang menyebalkan," kata Selasa mendengus sebal. "Merepotkan dan keras kepala."

"Nah, itu tahu," kata Rabu, mulai gemas sendiri.

"Kenapa kau tetap membawaku pergi bersamamu? Kenapa tidak membiarkanku bersama pria itu?" tanya Selasa. "Terus kenapa juga tidak langsung meninggalkanku saja disini atau dimana gitu? Jadi aku tak selalu merepotkanmu seperti ini!"

"Yaaa! Yaaa!! Didepan sana ada rumah bordil," cerocos Rabu. "Aku akan meninggalkanmu di sana. Jika kau laku aku akan menjualmu. Lumayan uangnya untuk membeli rumah dan kebutuhanku sehari-hari!!"

"Huhhh!" Selasa mendengus. Kalau urusan berdebat, Rabu lah juaranya. "Aku tidak akan laku dijual."

"Mau coba?"

Selasa menggeleng dengan cepat. Rabu itu tipe orang yang nekatan. Kalau semisal, ia dibawa kesana sungguhan, bagaimana?

Matilah, aku!

.

.

.

Sesampainya di kawasan flat Rabu ....

"Siapa, ituu?" 

"Orang gila, ya?"

"Kok di kursi roda sih?"

"Rabuu, dia kok berantakan?!'

Rabu memberikan tatapan tajam pada semua orang yang menanyainya seperti itu. "Diam tidak! Dia bukan orang gila! Dia temanku, oke!!" Ia tetap mendorong kursi roda Selasa hingga masuk kedalam flat.

"T-tinggal di-sini?"

"Ya," jawab Rabu singkat. Ia masih jengkel dengan omongan orang-orang diluar sana yang mengejek Selasa.

"Kau pasti malu, ya?" tanya Selasa pada Rabu yang tiba-tiba saja menghentikan kursi rodanya tepat di ujung tangga.

"Untuk apa juga aku harus malu," kata Rabu sambil menurunkan satu persatu peralatan lukisnya dari pangkuan Selasa. "Aku hanya tidak suka jika ada orang yang mengolok-ngolok wanita yang tidak berdaya seperti mu. Memangnya mereka sesempurna apa, sih?" gerutunya dengan kesal. Menaiki tangga dengan emosi meluap-luap. "Kalau saja …."

"Ra-rabu ma-mau ke-kemana?" tanya Selasa. Berkedip bingung melihat Rabu yang sudah naik tangga dengan tetap mengomel tanpa jeda dan meninggalkannya begitu saja.

"Eh?" Rabu menghentikan langkahnya, lalu melihat Selasa. Karena terlalu kesal, ia jadi melupakan keadaan fisik Selasa. "Kamarku di lantai 3," tunjuknya dengan dagu. "Kau tunggu disini dulu sebentar. Nanti aku akan menjemputmu, oke?"

Selasa mengangguk dengan kikuk. 

Setelah lima menit, Rabu kembali dengan napas terengah-engah.

"Lama menunggu?" tanyanya kemudian.

Selasa menggeleng. "Ti-tidak ada lift, ya?"

Rabu menggeleng. "Kemari," ucapnya bersiap akan menggendong Selasa.

"Eh!! Anu ...." Selasa dengan cepat menepiskan tangan Rabu. "M-mau apa?" tanyanya panik sendiri.

"Sudah kukatakan kalau kamarku ada di lantai tiga."

"T-terus?"

"Tidak mungkin kau jalan kaki naik ke sana, kan? Atau mau ngesot?" tanya Rabu yang gemas sendiri, melihat bibir Selasa mengkerut kesal. "Terus sampainya kapan?"

"I-iya ta-tapi a-aku—"

"Sstt, jangan banyak protes. Aku masih ada pekerjaan menyelesaikan lukisan Sun," kata Rabu meletakkan salah satu tangannya di bawah kaki Selas, dan tangan lainnya di punggung Selasa. "Oke, siap, satu ... dua ... tiga, hap!" 

Rabu memantapkan posisi gendongannya ala bridal style dan Selasa hanya bisa berkedip-kedip canggung. 

"Kakimu sakit tidak sih?" tanya Rabu basi-basi untuk menghilangkan kegugupannya akan sesuatu. Ia berjalan menaiki tangga dengan hati-hati.

"Ti-tidak." Selasa melingkarkan kedua tangannya dileher Rabu. "Kalau luka yang tadi masih sangat perih."

"Ohh, iya?"

Selasa mengangguk. 

"Oke, nanti aku yang akan mengobati lukamu."

Selasa langsung menggeleng, dia trauma dengan rasa sakitnya. Apalagi kalau Rabu yang mengobati, beh ... rasanya perih-perih menyakitkan.

"Hahah." Rabu hanya bisa tertawa melihat muka panik Selasa.

"Aku berat, ya?" tanya Selasa— yang bisa mendengar suara napas Rabu yang lumayan berantakan dan lagi bulir-bulir keringat mulai terlihat di dahi dan hidung Rabu.

"Iyaa, sangat," kata Rabu. Bohong. Selasa terlalu ringan untuk ukuran wanita yang memiliki tubuh tinggi seperti ini. 

Ah, mana ia bisa merasakan tulang punggung Selasa yang menonjol lagi.

Kira-kira berapa iya berat badan Selasa?

"Istirahat dulu ...." Selasa benar-benar tidak tega melihat wajah Rabu yang kelelahan. "... kalau capek, Rabu." 

"Ini bukan capek karena menggendongmu, Sel." Rabu terkekeh. "Ini capek, karena aku sangatlah ngantuk. Paham, kan? Biasanya kalau orang kurang tidur lelahnya akan tiga kali lipat dari orang yang cukup tidur."

"Heuh? Kau tidak tidur semalam?" tanya Selasa dengan polosnya.

"Tidur." Rabu mendesah lega. 

Selasa mendengus

"Akhirnya sampai juga," kata Rabu jadi merasa senang.

Rabu dengan hati-hati berjalan masuk ke kamarnya, "Maaf agak sedikit berantakan," ucapnya sambil menurunkan sekaligus mendudukan Selasa di atas karpet ala kadarnya. "Kau tunggu disini. Aku akan mengambil kursi rodamu dulu."

"I-iya." Selasa mengangguk.

Setelah Rabu pergi ....

Selasa melihat sekeliling kamar Rabu yang begitu minimalis. Saking minimalisnya, tidak ada sofa, tidak ada ranjang ... astaga, selain itu tidak ada apa-apa disini. 

Yang ada hanya, lukisan-lukisan Rabu yang sedang dipajang dan ada juga lukisan yang sedang dikeringkan dibawah sinar matahari— di balkon.

"Kau heran dengan kamarku, ya?" Rabu

***

Salam 

Galuh