webnovel

Queen Candy

Atharazka Xeno Arisadi, seorang lelaki tengil dan pecicilan itu seperti tidak punya ketakutan atas apapun, kecuali satu hal: menyatakan perasaannya pada Queen Candy Titania. Semula Azka berpikir, hubungan pertemanannya dengan Candy adalah zona paling nyaman bagi mereka berdua. Namun, pada akhirnya, Azka menyadari, zona nyaman tidak selamanya aman. Adalah Devano Walker Orizon, seorang pujangga sejuta pesona yang berhasil meluluhkan hati Candy, sekaligus merebut Candy dari genggaman Azka. Apakah Azka akan melepaskan Candy begitu saja? Atau mungkinkah Azka mengungkapkan perasaannya selama ini ia simpan rapat-rapat? Sebuah cerita klasik bertajuk roman picisan yang berjudul Queen Candy akan mengajak kamu menyelami kisah pelik cinta segitiga yang diselimuti rona merah jambu di putih abu-abu.

MerahJambu_00 · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
296 Chs

Pantai Sore Hari

Azka memasuki sebuah warteg bersama Candy. Candy tampak mendengus kesal karena Azka hanya membawanya ke tempat yang seperti itu.

"Kalau mau makan banyak dan murah, cuman di sini tempatnya," ujar Azka pada Candy. Lantas ia memesan masing-masing sepiring nasi dan lauk untuk mereka berdua. Tidak lupa juga Azka memesan segelas teh manis untuk menambah nikmatnya santapan sore itu.

"Ka, lo sebenarnya ngapain sih di tempat yang tadi?" Candy kembali mengajukan pertanyaan yang sama. Ia masih penasaran dengan basecamp Azka dan teman-temannya.

"Cuman nongkrong doang, Can. Biasalah, namanya juga tongkrongan cowok," jawab Azka.

"Teman tongkrongan lo anak sekolah lain ya?" tanya Candy lagi.

Azka menggeleng. "Mereka udah pada tamat SMA semua. Ada yang sedang kuliah, ada juga yang cuman nganggur doang," jelas Azka.

Candy mengernyitkan dahi. "Pergaulan lo nggak jelas banget deh," dengusnya.

Azka langsung mendelik. "Emangnya pertemanan lo dengan geng cewek-cewek lo itu udah yang paling benar hah?" balas Azka.

"Yaa seenggaknya identitas dan status teman-teman gua jelas." Candy membela diri.

Seiring dengan itu, pesanan mereka pun datang.

"Apanya yang jelas. Di luarnya doang sok akrab, dalam hati saling iri kan kalian?" cetus Azka kemudian.

Terang saja hal itu membuat telinga Candy panas. "Apa maksud lo ngomong gitu?" protesnya.

Sambil mengunyah makanan di mulutnya, Azka berkata, "Gua denger kok lo tadi ribut sama Bianka dan teman-teman lo yang lainnya."

Candy mendengus kesal. "Ribut-ribut kecil dalam suatu hubungan pertemanan itu wajar, Ka. Ujung-ujungnya juga baikan lagi," terang Candy.

"Terserah lo deh." Azka mengibaskan tangannya.

Ekor mata Candy masih melirik laki-laki yang duduk di sebelahnya. Ia kembali teringat akan sesuatu. "Lo beneran nggak ada niatan apa-apa ngasih hadiah kayak tadi pagi ke Yumna, Ka?" lirihnya.

Azka balas mendelik pada Candy sembari mengernyitkan dahi. "Kenapa sih lo nanya itu mulu dari tadi? Cemburu?" balasnya.

"Enggaklah!" bantah Candy sembari mengalihkan pandangannya. "Gimana pun Yumna kan juga teman gua. Ya, gua nggak rela aja kalau lo PHP-in dia." Candy akhirnya menemukan sebuah alibi yang lumayan tepat.

"Lo aja kali yang berpikir begitu. Yumnanya aja nggak ada masalah tuh," celutuk Azka.

"Dia baper sama sikap lo itu, Azka!" jelas Candy.

Kembali Azka mendelik pada Candy. "Lo tahu darimana kalau dia baper sama gua? Emang dia pernah bilang?"

Candy menelan ludah. "Enggak, sih," lirih gadis manis itu. "Tapi kan gua cewek, sebagai sesama cewek gua bisa ngerti lah. Tatapannya ke lo aja beda," terang Candy.

Azka justru tersenyum mendengar hal itu. "Ternyata lo perhatian juga ya ke gua, sampai-sampai merhatiin tatapan orang-orang ke gua segala," cetus Azka.

"Ih, apa sih. GR amat lo!" Candy kembali mendengus dan lebih memilih menghabiskan makanan di piringnya.

Setengah jam kemudian mereka pun keluar dari warteg itu. Azka melirik jam tangannya. "Baru jam lima nih, mantai bentar yok!" ajak Azka.

Giliran Candy yang mendelik pada laki-laki itu.

***

Candy membuka sepatunya, membiarkan telapak kakinya bersentuhan langsung dengan pasir putih pantai. Gadis itu berlari menyusuri bibir pantai, membiarkan kaki putihnya disapu oleh buih-buih ombak. Ia seperti kembali menjadi anak-anak lagi.

Candy berbalik badan dan melambai-lambai pada Azka yang masih berdiri di dekat perahu tua. "Ka, fotoin gua dong!" serunya.

Azka tersenyum melihat raut sumringah di wajah gadis itu. "Bocah banget," gumamnya sembari mengeluarkan ponsel. "Pose yang bener!" Azka mulai melangkah mendekati Candy.

Candy pun sigap mengambil posisi, bersiap untuk berpose semenarik mungkin.

Cekrekk! Cekrekk!

"Ganti gaya!" perintah Azka.

Cekrek! Cekrek!

"Ganti gaya!" perintah Azka lagi.

"Ganti gaya mulu. Bagus nggak sih?" Candy mulai menyangsikan kemampuan Azka. "Sini gua mau lihat dulu hasil fotonya," ujar Candy sembari mejangkau ponsel yang ada di tangan Azka.

"Bagus, kok. Ntar aja lihatnya. Itu mataharinya lagi bagus," terang Azka sambil mengangkat ponsel itu tinggi-tinggi agar tidak dapat dijangkau oleh Candy.

Namun, pada akhirnya Candy tetap bisa merebut ponsel itu dari Azka setelah tanpa ragu ia mendekap Azka, membuat Azka tak bisa melakukan apa-apa lagi.

Candy terbelalak. "Kok vidio sih?" protesnya.

Azka tertawa puas, sembari berlari kembali ke perahu tua tadi.

"Azka!" Candy mengejar laki-laki itu.

"Eh, lo lihat dong di galeri tadi, udah gua fotoin, banyak banget," ucap Azka.

Candy pun membongkar galeri ponsel Azka dan betapa tersentaknya ia menemukan beragam potret dirinya di sana. Tidak hanya potret hari itu saja, namun potret dari tahun-tahun terdahulu. Entah kapan Azka merekam semua hal itu tanpa sepengetahuan Candy.

Candy terenyuh dan menatap Azka. "Lo koleksi foto-foto gua, Ka?" lirih Candy.

Azka baru tersadarkan. Laki-laki itu pun bergegas merebut ponselnya kembali. "Nggak usah GR juga lo!" sinisnya.

"Siapa juga yang GR," bantah Candy.

Bersusah payah dua remaja itu menepis perasaan salah tingkah yang tiba-tiba menyergap.

"Anyway, hasil foto lo bagus. Lo berbakat jadi fotografer handal," ucap Candy kemudian.

Ekor mata Azka kembali bergerak pada gadis manis itu. Seumur hidupnya, baru Candy-lah yang mengatakan bahwa ia berbakat.

Candy menatap Azka. "Ka, gua gengsi banget ngomong ini. Tapi, makasih banyak, ya, lo selalu bisa bikin gua senang lagi, walaupun seburuk apapun suasana hati gua," lirih Candy lagi. "Ya, walaupun lo juga yang sering bikin suasana hati gua buruk," lanjutnya.

Azka tertawa kecil. "Lo ngomong gitu biar apa, sih? Biar gua beliin es krim?"

"Nah, iya, lo masih punya hutang es krim sama gua," ucap Candy.

Azka tergelak. Candy pun turut tersenyum. Tidak ada alasan untuk tidak tersenyum di sore yang indah itu.

Mereka berdua duduk di atas pasir putih itu sambil menatap matahari yang hendak mencumbu laut.

"Lo ngebayangin apa, Ka?" tanya Candy tiba-tiba.

"Gua ngebayangin kata-kata lo tadi. Kalau suatu saat gua beneran jadi fotografer terkenal, kira-kira bagusnya gua bikin studio dimana ya," balas Azka.

"Di dekat lapangan SD aja. Depannya kan ada tukang batagor yang enak banget," cetus Candy asal.

Azka mendengus. "Masa gua bikin studio foto di antara toko kelontong gitu. Yang bener aja dong elo," balas Azka. Candy tergelak.

"Eh, anyway, kayaknya gua lebih bakat ngegames daripada motret deh," ujar Azka lagi.

"Bakat ngegames apaan? Lo aja main congklak sama gua kalah terus," bantah Candy.

"Main congklak sama main game online itu beda, Oneng!" semprot Azka.

"Apa bedanya. Sama-sama permainan juga." Candy tetap tidak mau kalah.

Azka akhirnya mengalah juga. Enggan berdebat dengan perempuan itu. "Kalau lo lagi ngebayangin apa, Can?" ujar Azka kemudian.

"Gua lagi ngebayangin masa depan. Sepuluh tahun lagi dari sekarang gua akan menikah. Gua ngebayangin jadi pengantin paling cantik sejagat dengan pangeran impian gua. Trus dua puluh tahun lagi, gua akan main di pantai ini, bareng anak-anak gua. Lucu banget pasti." Candy tersenyum sendiri dengan imajinasinya itu.

Sementara Azka tercenung mendengarnya. Entah kenapa, ia begitu ingin mewujudkan impian Candy yang sederhana itu.