"Kamu serius? Beneran tidak ada yang luka, kan?" Ning Khanza masih terus memastikan perihal kondisi Syifa, ketika keduanya sudah memasuki gerbang asrama putri.
Syifa hanya tersenyum seraya mengangguk. Segitu khawatirnya mereka terhadap kondisi Syifa. Perempuan yang kodratnya bukan termasuk bagian dari mereka, begitu pikir Syifa.
"Kalau ada apa-apa, jangan sungkan buat bilang ke saya," ucap Ning Khanza.
Syifa mengangguk. Keduanya kini masuk ke dalam asrama putri. Suasana tidak terlalu sepi, seperti halnya biasa, masih ada beberapa santriwati yang belum tertidur.
"Mbak Syifa sudah balik, syukurlah." Syaroh berujar seraya menyambut kedatangan Syifa dengan begitu hangat. Diikuti dengan beberapa santriwati lainnya yang kini turut mendekat ke posisi Syifa. Mereka begitu senang mendapati kehadiran Syifa kembali ke asrama.
"Tadi pesantren gempar, loh, Mbak. Syaroh turut khawatir pas tau Mbak Syifa belum balik di pesantren. Apalagi malam-malam begini, Mbak," celoteh Syaroh dan mendapat anggukan persetujuan dari teman-temannya.
"Oh, ya?" Syifa tertarik menyahuti ucapan Syaroh.
"Wah, biang masalahnya udah datang, nih. Saya kira udah aman karena saya pikir dia tidak kembali ke pesantren." Sindi yang baru saja keluar dari kamar mandi nyaris membuat banyak pasang mata menatap ke arahnya. Terutama Ning Khanza, wanita itu turut heran dengan tingkah laku Sindi terhadap Syifa.
"Lebih baik Mbak Sindi tidur, deh, daripada bikin masalah," sahut Syaroh. "Karena sejatinya tidurnya Mbak Sindi itu bikin damai, sedangkan kalau Mbak Sindi belum tidur kayak gini malah bisa-bisa bikin suasana menjadi rusuh dan ramai. Lagipula sudah malam, Mbak," sambung Syaroh lagi.
Para santriwati yang turut mendengarnya pun sebagian menahan tawa, tetapi sebagian lagi lebih fokus kegiatan mereka, murajaah misalnya, atau sudah lebih memilih diam saja di tempat tidur mereka.
Sindy membelalak seraya menatap tajam ke arah Syaroh. Bisa-bisanya bocah itu membuatnya malu kali ini.
"Sudah! Ini sudah malam, sebaiknya kita istirahat." Ning Khanza mulai bersuara dan mendapat persetujuan dari yang lainnya.
Syifa, perempuan itu hanya patuh saja seraya beranjak menuju tempat tidurnya berada. Sejenak, dia melepas pashminanya dan mulai merebahkan tubuh di kasur. Matanya enggan untuk dia pejamkan, padahal para santriwati lainnya sudah berhamburan menuju alam mimpi mereka masing-masing. Lampu asrama juga sudah dimatikan.
Syifa kembali bangkit, mengubah posisinya menjadi duduk. Dia teringat sesuatu. Spontan, tangannya tergerak menuju lemari pakaiannya berada.
Bersamaan dengan lemari yang terbuka, di sana sudah menampakkan sebuah benda berwarna hijau yang terlipat rapi di sana. Perlahan, kedua tangannya terulur mengambil benda itu.
"Syifa? Sedang apa? Tidak tidur?"
Suara dari seseorang nyaris membuatnya menoleh spontan. Dia menghela napas, ketika mengetahui Ning Khanza yang menanyai dirinya.
"Sebentar lagi, Ning." Syifa menyahuti.
Ning Khanza mengangguk. Dia tidak banyak mengeluarkan tanya perihal kegiatan apa yang tengah dilakukan Syifa.
"Baik, kalau begitu saya tidur duluan, ya? Kamu jangan malam-malam tidurnya. Biar nanti tidak telat jadwal sholat malam," sahut Ning Khanza.
Syifa mengangguk dan tersenyum di tengah gelapnya asrama.
Setelah itu, dia kembali melanjutkan aktivitasnya, mengambil benda berwarna hijau tadi yang belum sempat dia ambil dengan sempurna.
Kedua sudut bibirnya nyaris tertarik membentuk senyuman. Bahkan, Syifa perlahan mencium benda itu. Aroma khas pewangi yang dia tuangkan ketika mencuci. Bahkan, Syifa juga sempat menyemprotkan parfum favoritnya di sana.
"Gara-gara ngurusin Albert, jadi lupa ngembaliin sabuk milik Gus Arfan," gumam Syifa. Dia masih setia tersenyum menatap benda yang ada di tangannya.
"Bagaimana kalau sejauh ini dia membutuhkannya, tetapi segan bilang kepada saya?" Syifa bermonolog seorang diri. Mengingat Gus Arfan yang begitu menjaga pandangan dan juga cara komunikasi kepada lawan jenis.
"Lebih baik besok saya kembalikan saja," sambungnya lagi. Kedua sudut bibirnya masih setia melengkung membentuk senyuman, meski benda berwarna hijau itu sudah dia letakkan kembali di tempat asal.
Syifa mengembuskan napas. Dia kembali menutup pintu lemari dan sejenak menatap sekitar.
Sepi. Para santriwati mungkin sudah menjelajah di alam mimpi.
Bergegas, Syifa kembali menuju tempat tidurnya seraya menyusul para santriwati lainnya. Dia memejam, hingga terlelap begitu saja.
***
Lantunan murajaah pagi ini melantun memenuhi area asrama putri. Memang, hari ini adalah jadwal setoran yang di mana langsung bertatap muka dengan Kiai Faizan. Syifa tidak turut mengikuti seperti halnya santriwati lainnya, dia hanya mendengar setelah itu kembali beranjak menuju lemarinya.
Seperti niatannya semalam, Syifa ingin mengembalikan sabuk kepada sang pemiliknya.
Perlahan, dia membuka lemari khas kayu dan mulai mengambil benda berwarna hijau itu di sana. Setelah menutupnya kembali, bergegas, Syifa keluar asrama.
Di halaman asrama, kedua mata gadis itu mencari Gus Arfan. Lelaki itu tidak kunjung menunjukkan batang hitungnya di halaman asrama putra sana.
Syifa menyipitkan mata. Barangkali penglihatannya susah menggapai jarak jauh. Namun, tetap saja. Justru yang dilihatnya bukan lagi Gus Arfan, melainkan Bagas. Lelaki itu terlihat mondar-mandir dengan membawa mushaf Al-Qur'an kecil seraya memejam. Mulutnya pun terlihat komat-kamit seolah tengah membaca bacaan. Sesekali dia berhenti dan membuka mata guna kembali melihat Al-Qur'an yang tengah dipegangnya, setelah itu, dia kembali mondar-mandir disertai mulutnya yang komat-kamit seperti sedia kala.
"Bagas sedang murajaah atau hafalan?" Syifa bertanya seorang diri, "Tapi, tidak ada salahnya juga bertanya dengannya," sambungnya lagi.
Tanpa banyak bermonolog, Syifa bergegas menuju tujuan, dia berhenti tepat di halaman asrama putra. Syifa juga mengingat peraturan yang berlaku di pesantren Al-Huda. Di mana para santriwati tidak diperbolehkan berada di asrama putra, terkecuali ada keadaan darurat yang memaksanya ke sana, begitupun sebaliknya.
Bahkan, jika mereka bercengkrama hal penting, harus berada di halaman atau tempat yang terbuka, salah satunya selain karena peraturan, juga agar terhindar dari fitnah yang tidak diinginkan.
"Bagas!" Syifa melambaikan tangan.
Bagas yang merasa namanya dipanggil pun nyaris menghentikan aktivitasnya seraya memicingkan mata, menatap ke arah Syifa. Dia sejenak menunjuk dirinya sendiri, "Manggil saya, Mbak?" tanyanya.
Syifa mengangguk. Dia menggerakkan tangan, mengode agar Bagas mendekat ke posisinya.
Sejenak, Bagas celingak-celinguk melihat sekelilingnya. Di halaman asrama putra hanya ada dirinya. Syams juga berada di teras asrama, sibuk menutup mata, murajaah, tanpa ada yang mengganggunya.
Bagas segera mengakhiri bacaannya dan bergegas menuju posisi Syifa berada.
"Ada apa, Mbak Syifa?" tanya Bagas.
"Em, saya nyari Gus Arfan. Apakah kamu melihatnya? Tadi saya melihat kamu berada di halaman asrama, jadi saya memanggilmu untuk menanyakan itu," terang Syifa.
Bagas sejenak terdiam, setelah itu langsung terkekeh, "Acie, nyari gus kita, nih, ternyata," goda Bagas.
Syifa mengangkat sebelah alisnya, "Saya mau mengembalikan ini."
Bagas mengikuti arah pandang Syifa. Lelaki itu mengernyit sejenak, "Milik Gus Arfan?" tanyanya.
Syifa mengangguk, "Ini sabuk yang waktu awal saya masuk ke pesantren, dia meminjamkannya untuk menutupi kedua pundak saya yang terbuka kala itu."
Bagas manggut-manggut, "Sebentar, Mbak, saya panggilkan Gus Arfan dulu," ucap Bagas. Lelaki itu bergegas masuk ke dalam asrama. Mencari keberadaan gusnya di sana.
Syifa menunggu di halaman asrama putra. Degup jantung perempuan itu tiba-tiba berdetak kencang. Syifa sejenak memegang dadanya, "Kenapa tiba-tiba grogi seperti ini," gumamnya.