"Syifa, rupanya kamu di sini. Saya sudah mencarimu ke mana-mana. Sekarang, kamu tidak akan bisa pergi lagi, Manis. Kamu ingat, kan? Saya sudah membayarmu mahal kemarin dengan perjanjian kontrak booking satu minggu. Dan malam ini, waktunya kita bersenang-senang lagi. Saya sudah tidak sabar."
Syifa terbelalak, bisa-bisanya dia harus berhadapan dengan lelaki sialan yang ada di hadapannya ini. Albert---lelaki yang juga termasuk salah satu pelanggan Syifa. Namun, bedanya, dia adalah langganan sekaligus mantan kekasih Syifa. Dia juga kerap membayar berkali-kali lipat dari bayaran normal yang biasa Syifa terima.
Percaya saja, kalau Syifa ketika menjadi kekasih Albert itu bukan karena berlandaskan cinta, melainkan, dia hanya ingin hartanya saja. Namun, itu dahulu, ketika kehidupan Syifa masih sangat menderita dan penuh kekurangan. Bahkan, hal itu juga sudah diketahui Albert, tetapi lelaki itu masa bodo dengan alasan Syifa yang hanya menginginkan hartanya saja, bukan dirinya.
Albert benar-benar jatuh hati dengan Syifa. Bahkan, meski sudah menjadi mantan, dia selalu berusaha agar tetap bisa bersama Syifa.
Siapa juga yang tidak mengenal seorang Khawla Asyifa. Perempuan berparas cantik dan manis dengan polesan make up natural yang menambah kesan berbeda. Terlebih lagi postur tubuhnya yang nyaris sempurna. Tidak jarang para lelaki hidung belang menelan saliva tatkala melihat penampilan Syifa.
"Saya sangat merindukanmu, Syifa," desah Albert.
"CK! Lelaki ini lagi," gumam Syifa.
Albert terlihat sangat mabuk, buktinya dia berjalan terlihat sempoyongan dengan kedua tangan yang terentang, berusaha untuk menghalangi jalan Syifa.
"Jangan halangi saya!" Syifa langsung melayangkan tas berisinya tepat mengenai kepala lelaki itu. Terdengar erangan di mulutnya.
"Rupanya kamu mau main-main sama saya, Manis? Atau saya akan melucuti pakaianmu sekarang juga!" gertak Albert. Bahkan raut wajahnya sudah seperti serigala yang akan menerkam mangsanya.
Di jalanan yang sepi ini nyaris membuat Syifa percuma jika berteriak untuk meminta pertolongan. Syifa merutuki dirinya, kalau saja tadi dia tidak keluar malam untuk ke rumah sahabatnya, pasti dia tidak akan bertemu dengan lelaki sialan ini.
Sudah terhitung dua hari Syifa mengurung diri agar tidak kembali berada di tempat yang nyaris membuatnya melakukan hal-hal yang terlarang. Syifa sudah lelah dengan kehidupannya, meski dirinya telah bergelimang harta, tetapi sama sekali hal itu tidak ada artinya.
Syifa bahkan perlahan mulai tersadarkan, perempuan seolah dianggap barang di mata lelaki semacam ini. Habis manis, sepah dibuang. Hanya untuk memuaskan nafsu sesaat saja. Dan perihal uang bayaran, seolah sebagai pacuan harga diri perempuan.
"Jangan sentuh saya!" pekik Syifa. Umpatan demi umpatan bahkan Syifa keluarkan ketika Albert menyentuh pundak Syifa. Tanpa menunggu lama lagi, Syifa langsung menendang di bagian organ vital Albert. Dia kemudian berlari, tanpa sekali pun memedulikan teriakan Albert yang merutuki dan berteriak memanggilnya.
"Woi, saya akan mengejarmu!"
Syifa menoleh sejenak. Kedua matanya membelalak, bisa-bisanya Albert sudah bersiap mengejar dirinya menggunakan mobil pribadinya.
"Saya akan menangkapmu dan melucuti semua pakaianmu!" ancam Albert dengan intonasi tinggi.
Bergegas, Syifa melepas high heels-nya dan berlari sekuat tenaga. Dia bahkan tidak memedulikan jarak yang dia tempuh sudah berapa kilo meter sekarang. Untung saja Syifa dahulu ketika masih berada di panti, kerap mengikuti lomba lari dan menjadi juara. Jadi, saat ini Syifa masih mempunyai bekal untuk mengamalkannya.
Keringat Syifa berjatuhan membasahi pelipis keningnya. Belum lagi lehernya yang sudah deras dengan keringat di sana. Meski begitu, Syifa semakin menambah kecepatan lari, hingga rasanya dia sudah tak kuasa menahan beban di tubuhnya.
Syifa menyerah. Dia berhenti tepat di belakang pohon besar seraya mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
"Sialan," gerutu Syifa.
Setelah napasnya sudah lumayan normal kembali, kedua matanya menyapu sekitar. Dia tidak tahu, tempat apa yang dia datangi saat ini.
Namun, Syifa sejenak melihat ke segala arah, dia bisa memastikan kalau lelaki sialan itu sudah jauh darinya. Lagipula, dia sudah merasa cukup jauh berlari.
Entah mendapat dorongan dari mana, kedua kaki Syifa kembali melangkah, tepatnya memasuki sebuah gerbang yang tengah terbuka. Di halaman sana ada sebuah kayu yang bertuliskan kaligrafi 'Pesantren Al-Huda'.
Syifa mengedarkan pandangannya, rupanya dia sedang berada di lingkungan asing yang beratasnamakan pesantren. Di halaman kiri sana, terlihat banyak sekali para lelaki berbagai macam usia yang sedang melakukan olahraga malam. Olahraga silat.
Sesaat, Syifa menoleh ke arah kanan, di jarak yang lumayan jauh darinya. Matanya menyipit saat membaca sebuah tulisan berpapan kayu yang ada di dalam sebuah pagar kayu.
"Asrama putri?" Syifa bermonolog seorang diri.
"Assalamu'alaikum."
Sontak, Syifa terkejut dan menoleh ke arah sumber suara. Didapatinya seorang lelaki dengan pakaian serba hitam diiringi dengan sabuk hijau melilit di pinggangnya tengah berdiri di jarak yang hanya kisaran dua langkah saja.
"S-siapa kamu?" tanya Syifa terkejut. Jangan sampai lelaki di hadapannya ini sama seperti Albert.
"Hei, Syifa, ternyata kita ketemu lagi."
Ke sekian kalinya Syifa terkejut dan langsung menoleh. Kedua matanya nyaris membelalak, bahkan kedua bola matanya hampir saja mau keluar mendapati Albert yang melangkah sempoyongan mendekati dirinya.
"Saya akan membuatmu berlutut kepada saya!"
Degup jantung Syifa bertalu hebat. Tanpa berpikir panjang, dia langsung mengambil langkah dan bersembunyi di balik lelaki asing tadi. "Siapa pun kamu, tolong selamatkan saya," ucap Syifa. Dia mencengkeram erat ujung pakaian yang dikenakan lelaki itu, kemudian perlahan melepaskannya lagi.
Sedang lelaki itu berujar istigfar, pelan, seraya memejam. Dia kemudian menghadap ke arah lelaki berbadan tegap yang ada di hadapannya ini.
"Jangan banyak bicara! Serahkan perempuan itu ke saya! Dia sudah saya bayar mahal!"
"Apakah begini cara anda memperlakukan seorang perempuan?" Lelaki itu bertanya santai kepada Albert.
"Banyak cocot!"
Tanpa ba-bi-bu, Albert langsung melayangkan satu bogeman mentah menuju pipi kiri lelaki itu. Namun, karena lelaki itu sudah terlebih dahulu memahami tak-tik Albert, dia dengan cekatan menahan dan malah memberikan serangan tepat mengenai perut Albert.
"Argh, sialan!"
Lelaki asing itu menyunggingkan senyum ketika melihat rintihan Albert yang tengah memegangi perutnya.
"Sebenarnya saya tidak mau melakukannya, tapi karena kamu yang memancingnya, maka saya minta maaf. Silahkan pergi."
Dengan logat kesantaian di atas rata-rata, lelaki itu menggerakkan tangan mengarah ke gerbang yang terbuka. Mengode agar Albert yang masih merintih dengan menatapnya tajam itu segera pergi dari pesantren ini.
"Segera pergi, atau mereka akan turut menyerangmu?" ucap lelaki itu sembari menatap ke arah para santriwan yang masih sibuk latihan. Untungnya di sana masih ada pelatih yang memantau dan tetap menjaga kefokusan mereka.
Albert berdecak sembari mengumpat berulang kali.
"Ingat, Syifa. Urusan kita belum kelar. Saya akan menemuimu dan menagih sepenuhnya hak yang belum kamu tuntaskan!"
"Dan kamu lelaki sok pahlawan." Albert menunjuk ke arah lelaki yang ada di hadapannya dengan penuh penekanan. "Kamu belum mengenal siapa saya. Saya pastikan kamu akan menyesal karena sudah ikut campur dan tidak memberikan perempuan itu kepada saya!"
Albert langsung melangkah sempoyongan dengan penuh kekesalan memasuki mobilnya. Mesin mobil yang sedari tadi masih dia nyalakan membuatnya kini tinggal melajukannya saja.
Saat melihat mobil Albert yang mulai menjauh dan menghilang dari pesantren, perlahan, Syifa kembali keluar dari tempat persembunyiannya. Dia berdiri tepat di samping lelaki yang masih belum dikenalnya ini.
Syifa menghela napas, lega. Dia sejenak membungkuk seraya memakai kembali high heels berwarna putihnya.
Lelaki asing tadi sama sekali tidak memerhatikan Syifa, dia mengalihkan pandang ke arah lain, lebih tepatnya ke arah santriwan yang masih fokus dengan gerakan kelanjutan.
"Terima kasih sudah menyelamatkan saya. Siapa namamu?"